Harga Beras Masih Tinggi Meski Sudah Panen Raya, Kenapa? Ini Penjelasan Pengamat
Target pemerintah untuk menyerap beras hasil produksi petani dalam negeri melalui Perum BULOG tahun 2025 tengah berjalan
Ironisnya, beras-beras tersebut menumpuk bukan karena tidak ada kebutuhan, melainkan karena kebijakan yang belum tuntas.
"Pemerintah menunda penyaluran bantuan pangan beras yang seharusnya dimulai awal tahun ini," ucapnya.
Alasannya, produksi beras domestik dianggap melimpah. Namun menurut Khudori, perbandingan itu tidak sepenuhnya tepat.
“Produksi 3 bulan awal 2025 memang naik dibanding 2024, tapi itu tidak adil karena 2024 dilanda El Nino. Kalau dibandingkan dengan 2023 yang normal, produksi 2025 justru lebih rendah,” paparnya.
Ia menyebut, produksi beras Januari 2025 hanya 1,24 juta ton dan Februari 2,23 juta ton, padahal konsumsi beras nasional sekitar 2,6 juta ton per bulan. Artinya, Januari-Februari tetap tergolong masa paceklik.
Program SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), yang menjadi salah satu outlet penting distribusi beras BULOG, juga ikut dihentikan. Padahal, pada awal Februari sempat tercatat penyaluran SPHP sebesar 6.287 ton per hari.
“Biasanya, saat paceklik pasar ‘lapar’ beras. Tapi sekarang malah distop,” ujar Khudori.
Penghentian SPHP dan bantuan pangan membuat pasar sepenuhnya dikuasai oleh swasta. Akibatnya, warga miskin dan rentan kehilangan akses terhadap beras murah.
“Mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam. Padahal alasan penghentian karena produksi melimpah sangat tidak tepat,” tambahnya.
Target penyaluran SPHP tahun ini adalah 1,2 juta ton angka yang sama dengan rata-rata dua tahun terakhir. Pada 2023, lanjut dia, Bulog menyalurkan bantuan pangan beras sebesar 1,49 juta ton dan meningkat jadi 1,97 juta ton di 2024. Bantuan tersebut terbukti ampuh meredam gejolak harga dan menjaga stabilitas pasar.
“Dengan cakupan 21,35 juta keluarga, bantuan beras ini memengaruhi keseimbangan harga dari sisi permintaan dan penawaran. Permintaan pasar turun, harga jadi lebih terkendali, bahkan bisa menurun. Inflasi juga ikut stabil,” jelas Khudori.
Masalah mendasarnya, menurut Khudori, Bulog belum memiliki outlet tetap sejak program Raskin digantikan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai).
"Raskin dulu menjadi saluran pasti, dengan distribusi antara 3–3,2 juta ton beras per tahun," tambahnya.
Kini, outlet pengganti seperti SPHP dan bantuan pangan belum dijadikan sistem yang stabil dan berkelanjutan.
“Kalau beras cuma ditumpuk di gudang, buat apa produksinya besar? Apa gunanya buat rakyat?” jelasnya.
Nasib Pengusaha Penggilingan Beras Modal Kecil di Indramayu, Berburu Gabah Dengan Harga Tinggi |
![]() |
---|
Bulog Cirebon Targetkan Salurkan 30 Ribu Ton Beras SPHP Hingga Akhir Tahun 2025 |
![]() |
---|
Di Tengah Isu Mahalnya Harga Beras, di Indramayu Harga Tetap Stabil Tak Ada Kenaikan |
![]() |
---|
Buntut Isu Beras Oplosan Hingga GPM, Omzet Pedagang Beras di Pasar Indramayu Anjlok |
![]() |
---|
Genjot Pendistribusian Beras SPHP di Pasar Indramayu, Bulog: Harga Jual Harus Rp 12.500 Per Kg |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.