Hukumannya Diperberat Mahkamah Agung, Mantan Dirut Perindo Syahril Japarin Mengadu ke Komnas HAM

Ada sejumlah alasan mengapa Syahril Japarin mengadukan apa yang dialaminya ke Komnas HAM.

|
Editor: taufik ismail
tribunnews.com
Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) periode 2016-2017, Syahril Japarin. Ia mengadu ke Komnas HAM karena hukumannya diperberat MA. 

Hukuman Syahril tersebut lebih lama dari putusan pengadilan tingkat pertama dan banding yang hanya memvonisnya 8 tahun penjara.

"Pidana penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," demikian bunyi putusan yang dikutip dari laman resmi MA.

Keterlibatan Syahril dalam korupsi di PT Perindo terendus pada 2021 lalu.

Saat itu, penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Direktur Utama Perum Perindo periode 2016-2017 Syahril Japarin dan Dirut PT Global Prima Santosa Riyanto Utomo sebagai tersangka kasus korupsi.

Permasalahan yang dialami SJ berawal dari kesepakatan yang diambil direksi Perum Perikanan Indonesia/Perindo tahun 2017, saat SJ menjabat sebagai Direktur Utama, untuk menerbitkan surat utang jangka menengah atau yang lazimnya dikenal sebagai Medium Terms Note/MTN guna memenuhi kebutuhan modal usaha untuk mencapai target pendapatan Perum Perindo tahun 2017 yang ditetapkan Menteri BUMN sebesar Rp 1.145.000.000.000 (satu triliun seratus empat puluh lima miliar rupiah)  meningkat 5 (lima) kali lipat lebih tinggi dibanding pendapatan tahun 2016 yaitu Rp 223,000,000,000 (dua ratus duapuluh tiga miliar rupiah).

Penerbitan MTN sejumlah total Rp 200,000,000,000 (dua ratus miliar rupiah) telah dilakukan Direksi Perum Perrin dengan penuh kehati-hatian dengan melibatkan semua unsur terkait dalam manajemen Perum Perindo dan memenuhi semua kaedah yang berlaku umum di Pasar modal dalam hal penerbitan MTN, juga tampak dari lamanya durasi yang dibutuhkan untuk menerbitkan MTN karena baru dapat terealisasi pada 4 Agustus 2017, padahal rencana dimaksud sudah digulirkan sejak Maret 2017.

Sebelum penerbitan telah dilakukan kajian oleh konsultan hukum independen yang menyatakan bahwa semua persetujuan terkait penerbitan MTN sudah terpenuhi sesuai Anggaran Dasar Perum PERINDO, Peraturan Pemerintah No. 09 tahun 2013 pasal 30 ayat (1) huruf c. Menteri BUMN pun telah memberikan persetujuan melalui surat nomor S-385/MBU/06/2018 tanggal 06 Juni 2018 poin 1 yang berbunyi: "d. Menyetujui tindakan direksi menerbitkan Medium Term Notes (MTN) sebesar Rp 200 Milliar dan penggunaannya selama tahun buku 2017".

Selama dalam kendali SJ, dalam masa jabatannya bisnis berjalan dengan baik, bahkan SJ berhasil menaikkan pendapatan perusahaan hampir 3 kali lipat dari 223 Milliar rupiah menjadi 603 Milliar rupiah. 

Sampai akhir masa jabatan SJ tanggal 11 Desember 2017, kegiatan bisnis PERINDO dalam perdagangan ikan yang menggunakan dana MTN berjalan lancar dan terbukti tidak ada hambatan operasional yang menunjukkan adanya kerugian bagi perusahaan.

Namun, setelah masa jabatan SJ berakhir, penerusnya tidak meneruskan pengelolaan perusahaan dengan baik sebagaimana telah SJ contohkan, sehingga mulai akhir Januari 2018, terjadi tunggakan tagihan oleh para mitra yang akhirnya macet sampai kasus ini bergulir di Pengadilan, yang mana mandat pengurusan jalannya perusahaan sudah tidak lagi berada pada SJ.

Sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK tahun 2022 Nomor: 04/LHP/XCI/02/2022 Tanggal 07 Februari 2022 dinyatakan bahwa terjadi Kerugian Negara sebagai akibat macetnya pembayaran oleh para mitra Perum PERINDO atas berbagai transaksi perdagangan ikan yang terjadi mulai tanggal 22 Desember 20217, saat mana SJ telah tidak lagi menjabat sebagai Dirut Perum PERINDO berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK – 277/MBU/12/2017 tanggal 11 Desember 2017.

Dari sinilah permasalahan bermula, Jaksa Penuntut Umum mengabaikan surat persetujuan Menteri BUMN atas penerbitan dan penggunaan dana MTN selama masa jabatan, sehingga SJ dituduh telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Jaksa juga tidak membaca dengan cermat Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK tahun 2022 sehingga mendakwa SJ atas Kerugian negara sebesar Rp 121,481,025,580 dan USD 279,891.50. sehingga PN Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara, ditambah menjadi 10 tahun melalui putusan kasasi.

Putusan tersebut sangat memukul SJ, apalagi LHP Investigatif BPK 2022 yang dijadikan dasar dakwaan dan tuntutan tidak mau diserahkan oleh Jaksa, walau SJ bersama Penasehat Hukumnya telah meminta sejak awal persidangan di PN Jakarta Pusat sampai berakhirnya proses Kasasi, menyebabkan SJ tidak dapat melakukan pembelaan dengan baik dan benar. LHP Investigatif tersebut baru diberikan kepada SJ 6 September 2024 lalu setelah dia bersurat kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dengan menembuskan surat tersebut pada Komisi Kejaksaan, Komisi Informasi Pusat, dan Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Kekecewaanya atas putusan PN, PT dan Kasasi yang telah mengabaikan berbagai fakta persidangan tersebut dituangkan SJ dalam memori Peninjauan Kembali/PK yang telah diserahkan kuasa hukumnya tanggal 24 Desember 2024 lalu ke Mahkamah Agung melalui kantor PN Jakarta Pusat.

Kejanggalan-kejanggalan itu jugalah yang mendorong SJ melalui kuasa hukumnya Girindra Sandino and Partners, melaporkan pelanggaran HAM atas haknya untuk mendapat keadilan kepada Komnas HAM, dia berharap masih ada keadilan di negeri ini dalam proses PK yang telah diajukannya.

Baca juga: MA Tolak PK Terpidana Vina Cirebon, Praktisi Hukum Pertanyakan Keberadaan 3 DPO: Interogasi Rudiana

Artikel ini sudah tayang di laman Tribunnews.com.

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved