Kuliner Majalengka

Sangu Akeul Cigaleuh: Dari Hawu ke Sajian Asli Majalengka, Rasa yang Menyatu dengan Tradisi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Manajer Marketing Sangu Akeul Cigaleuh, Moza Anggraini. Dari Hawu ke Sajian Asli Majalengka, Rasa yang Menyatu dengan Tradisi

 

Laporan Kontributor Adim Mubaroq

TRIBUNCIREBON, MAJALENGKA - Ada aroma yang tak tergantikan dari dapur masa lalu: wangi hawu yang menyatu dengan harumnya nasi pulen, gemeretak ulekan sambal katel, dan bisik-bisik ibu yang sedang “ngakeul” nasi dengan telaten.

Semua itu kini tak hanya hidup dalam ingatan--ia nyata kembali di sebuah sudut Majalengka, di rumah makan bernama Sangu Akeul Cigaleuh.

Warung ini bukan tempat makan biasa. Ia adalah rumah bagi rasa yang nyaris punah, dan jendela yang membuka kembali kenangan tentang cara orang Majalengka menghargai makanan: sederhana, tapi penuh cinta.

Baca juga: 50 Kasus Diselesaikan Tanpa Pengadilan, Polres Majalengka Terapkan Restorative Justice

“Menu utama kami dari makanan khas Majalengka. Ada Pencok Katel, Oncom Cigaleuh, Tahu Samara Talaga, sampai Ampas Kecap,” kata Manajer Marketing, Moza Anggraini.

Menurut Moza, semua bahan berasal dari tanah Majalengka sendiri, dari dapur para ibu, dari kebun, dari pasar rakyat. Dari seluruh sajian, Pencok Katel tetap jadi bintang. Terbuat dari terung kecil yang dicampur sambal kacang dan sedikit perasan jeruk, rasanya mewakili keseharian orang kampung: pedas, jujur, dan membumi.

Tapi belakangan, ada satu menu baru yang ikut menyedot perhatian: Kembang Simet.

“Ini bunga yang dulu sering dipakai orang tua zaman dulu. Dinamakan ‘simet’ karena katanya mirip teksturnya sama belalang. Sekarang justru banyak yang penasaran, sampai antrean nggak kebagian," ungkap Moza sambil tersenyum.

Baca juga: AWAS! Nanti Malam di Cirebon Terasa Lebih Dingin 24 Derajat Celcius, Begini Prediksi Cuaca Hari Ini

Rasa yang Menyatu dengan Tradisi

Keunikan lainnya terletak pada metode memasak yang masih mempertahankan teknik tradisional. Nasi diolah menggunakan hawu dan seeng, bukan peralatan modern seperti rice cooker. Teknik memasak ini dikenal sebagai proses “diakeul”, yang menghasilkan nasi hangat, pulen, dan penuh karakter.

“Inilah salah satu keunikan kami. Rasanya jadi beda karena cara masaknya pun mengikuti tradisi orang tua dulu,” ujar Moza.

Tradisi tak berhenti di dapur. Pengunjung pun disambut dengan brem kaca khas Bantrangsana, tipis, rapuh, dan lumer di lidah, serta segelas teh tawar panas. Gratis. Bukan soal harga, tapi soal rasa dihargai.

Baca juga: Daftar Lengkap 33 Pemain Arema FC untuk Piala Presiden 2025, Singo Edan Usung Misi Pertahankan Gelar

Ruang makannya luas, terbuka, dan sejuk. Di akhir pekan, warung ini bisa menampung hingga 150 orang. Banyak keluarga yang datang bersama: dari kakek hingga cucu. Bukan hanya karena lapar, tapi karena ingin menyatu dalam momen kebersamaan yang jarang.

Harga makanan di sini memang bersahabat: mulai dari Rp8.000 untuk Pencok Katel, sampai sekitar Rp25.000-an untuk Cocobek Ikan. Dan yang lebih penting, tiap rupiah terbayar lunas dengan pengalaman makan yang membawa pulang ke dalam memori.

Halaman
12

Berita Terkini