Kenaikan PBB
Tukang Las di Cirebon Protes Tagihan PBB Naik Drastis: Rumah Saya Dihargai Rp 1,2 Miliar
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon masih menyisakan keluhan dari sejumlah warga.
Penulis: Eki Yulianto | Editor: Mutiara Suci Erlanti
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon masih menyisakan keluhan dari sejumlah warga.
Salah satunya datang dari Yayat Supriadi (45), seorang tukang las yang tinggal di Jalan Raya Ahmad Yani nomor 45, Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk.
Dengan penghasilan harian rata-rata Rp 120.000, Yayat mengaku keberatan setelah tagihan PBB rumahnya melonjak drastis hingga lebih dari lima kali lipat.
Baca juga: Nasib Pilu Korban Kebakaran di Lengkong Bandung, Rumahnya Hancur Hingga Uang Tunai Hangus Terbakar
“Ya soal kenaikan PBB, saya merasa berat sekali ya dengan penghasilan saya sebagai tukang las yang sehari cuman Rp120.000 belum potong uang makan,” ujar Yayat saat kembali dikonfirmasi, Selasa (19/8/2025).
Menurut Yayat, tagihan PBB yang ia terima melalui SPPT naik dari Rp 380 ribu menjadi Rp 2,3 juta.
Setelah ada kebijakan stimulus, tagihan itu memang turun menjadi Rp 1,7 juta, namun tetap dinilainya memberatkan.
“Itu bagi saya yang pekerja buruh lepas harian kan merasa terbebani."
"Saya tinggal di Pegambiran, pinggir bawah jalan layang."
"Pinggir jalan cuma ini bisa muncul Rp 2 juta sekian itu karena NJOP-nya rumah saya dihargain Rp 1,2 miliar,” ucapnya.
Yayat menilai penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Ia mencontohkan, rumah tetangganya yang dijual Rp 700 juta saja hingga kini tidak laku.
“Rumah saya dihargain Rp1,2 miliar, saya bilang ke pegawai BPKBD, silakan bapak yang beli."
"Enggak usah ditambahin embel-embel jual beli lah, sesuai dengan NJOP. Tapi mereka enggak bisa jawab, diam saja,” jelas dia.
Baca juga: Jadwal Badminton Kejuaraan Dunia BWF 2025, Lengkap Dengan Hasil Drawing Wakil Indonesia
Ia menambahkan, kenaikan NJOP di sepanjang Jalan Ahmad Yani dinilai terlalu dipukul rata, tanpa mempertimbangkan kondisi produktivitas lahan.
“Orang kan kalau rumah pinggir jalan katanya produktif, tapi saya enggak produktif. Ada mobil berhenti, mobil lewat malah macet."
"Sedangkan ini dipukul rata dari 3 Berlian sampai ke Terminal, mahal semua,” katanya.
Sampai saat ini, Yayat mengaku belum bisa membayar PBB tersebut.
Selain karena sistem kerjanya harian, ia juga harus memprioritaskan kebutuhan keluarga.
“Kerja kita kan bukan terima duit bulanan, diterima uang mingguan."
"Jadi ya kalau mau bayar yang segitu harus ngumpulin dulu, sedangkan anak ada yang sekolah,” ujarnya.
Diketahui, kenaikan PBB di Kota Cirebon sebelumnya menuai protes dari warga karena disebut mencapai 1.000 persen di beberapa titik.
Pemerintah Kota Cirebon menyebut hal itu akibat penyesuaian NJOP yang sudah belasan tahun tak diperbarui.
Meski demikian, DPRD Kota Cirebon memastikan revisi Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang PBB akan dimasukkan dalam Prolegda 2025, dengan target pengesahan pada September mendatang.
Revisi itu salah satunya menurunkan tarif dasar dari 0,5 persen menjadi maksimal 0,3 persen.
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, juga berjanji akan menurunkan tarif PBB mulai 2026, meski tahun ini pemerintah hanya bisa memberikan diskon pembayaran sebesar 50 persen.
“Kami sedang mengupayakan penurunan tarif yang dikeluhkan masyarakat Kota Cirebon pada tahun 2026 nanti."
"Kalau dipaksakan harus sekarang, nanti merubah semua rancangan APBD,” ucap Edo.
Sementara itu, Paguyuban Pelangi Cirebon meminta pemerintah melibatkan masyarakat sebelum keputusan final disahkan.
“Kami menyambut baik rencana perubahan faktor pengali PBB."
"Tapi jangan tiba-tiba diketok palu tanpa melibatkan masyarakat."
"Kami ingin diajak bicara soal substansi PBB yang logis,” jelas Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.