Petani di Perbatasan Cirebon-Indramayu Rugi Saat Panen, Akademisi UMC Singgung Soal Ego Wilayah

Keluhan petani di wilayah perbatasan Kabupaten Cirebon dan Indramayu soal buruknya infrastruktur pertanian

Penulis: Eki Yulianto | Editor: Mutiara Suci Erlanti
Tribuncirebon.com/Eki Yulianto
PETANI DI PERBATASAN - Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Dr Surnita Sandi Winata buka suara soal petani di wilayah perbatasan Kabupaten Cirebon dan Indramayu 

Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto


TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Keluhan petani di wilayah perbatasan Kabupaten Cirebon dan Indramayu soal buruknya infrastruktur pertanian mendapat sorotan dari kalangan akademisi.


Salah satunya datang dari akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Dr Surnita Sandi Winata yang juga merupakan pelaku usaha di sektor pertanian.


Ia menilai, permasalahan petani di wilayah perbatasan sudah seharusnya ditangani dengan kerja sama antara dua daerah, tanpa mengedepankan ego kewilayahan.


“Diperlukan sinergi yang kuat antara dua pemerintah daerah, yakni Kabupaten Cirebon dan Indramayu."


"Karena pembangunan yang dilakukan di wilayah ini setidaknya dimanfaatkan oleh dua masyarakat kabupaten,” ujar Sandi melalui keterangannya, Selasa (15/4/2025).

Baca juga: Petani Indramayu Semringah Bulog Beli Gabah Hasil Panen Rp 6.500 per Kg


Menurutnya, sejumlah kecamatan di wilayah perbatasan merupakan daerah sentra produksi padi yang berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan nasional, seperti Kecamatan Gegesik, Susukan, Ciwaringin dan Kapetakan.


“Infrastruktur jalan usaha tani yang belum layak akan berdampak besar terhadap biaya operasional produksi."


"Ketika panen tiba, petani malah rugi karena tingginya biaya angkut dan perawatan,” ucapnya.


Sandi juga mendorong agar anggota legislatif, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat yang berasal dari dapil Cirebon dan Indramayu ikut terlibat aktif dalam mencari solusi.


“Bayangkan saja berapa besar biaya yang harus dikeluarkan petani perbatasan untuk angkut hasil panen atau selama masa tanam."


"Belum lagi soal tata gilir air yang juga menjadi persoalan klasik di sana,” jelas dia.


Ia menyayangkan, banyak pembangunan yang diusulkan oleh petani justru terbentur faktor geografis dan kepentingan administratif wilayah.


“Seringkali usulan pembangunan dari petani tidak bisa ditindaklanjuti karena terhambat masalah pengguna manfaat."


"Ini menjadi hambatan utama dalam memenuhi kebutuhan dasar petani perbatasan,” katanya.


Sebelumnya, para petani di Desa Tegal Mulya, Dusun Klampok, Kecamatan Kerangkeng, Kabupaten Indramayu dan Desa Jagapura Lor, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon mengeluhkan buruknya infrastruktur jalan pertanian.


Mereka menilai hal ini menghambat mobilitas dan produktivitas pertanian, terutama saat musim hujan.


“Pembangunan infrastruktur selama ini terkesan hanya mementingkan wilayah administratif masing-masing. Padahal, petani di perbatasan sangat saling bergantung,” ujar Casudi, Sekretaris Paguyuban Rembug Tani.


Senada, Ketua Paguyuban Rembug Tani, Dedi Abas, menambahkan bahwa petani menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak. 


Ia mencontohkan kondisi jalan poros sepanjang lima kilometer yang hanya sebagian telah dibeton.


“Masih ada 2,5 kilometer yang belum dibeton, padahal jalan ini adalah akses utama."


"Ketika hujan, jalan jadi licin dan sulit dilalui kendaraan. Kami juga hanya punya jembatan bambu yang rawan kejahatan,” ucap Dedi.


Atas kondisi ini, Paguyuban Rembug Tani mendesak agar pemerintah eksekutif dan legislatif di dua daerah segera duduk bersama untuk mencari solusi.


“Kami berharap ada perhatian serius agar kesejahteraan petani di perbatasan bisa meningkat,” jelas dia. 

Sumber: Tribun Cirebon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved