Mendikbud Hapus UN

PROTES Emak-emak di Cirebon pada Nadiem Makarim soal Penghapusan UN 2021: Kelamaan, Tahun Depan Dong

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional (UN) pada 2021.

Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Tribunnews.com
Nadiem Makarim 

"Literasi yang dimaksud itu bukan hanya kemampuan membaca ya Bapak dan Ibu. Melainkan kemampuan menganalisa sesuatu bacaan, kemampuan mengerti atau memahami konsep di balik tulisan itu. Itu yang penting," papar Nadiem.

Kemudian, numerasi yang merupakan kemampuan menganalisis angka-angka.

Sehingga penilaian kompetensi minimum nantinya bukan berdasarkan mata pelajaran lagi.

"Tetapi nanti lebih ke penguasaan konten atau materi. Ini tetap berdasarkan kompetensi minimum dan kompetensi dasar yang diperlukan murid-murid untuk bisa belajar apapun materinya," papar dia.

Kemudian terkait survei karakter, akan diadakan untuk menanyakan beberapa penerapan nilai, misalnya toleransi, gotong royong, pemahaman Pancasila dan sebagainya.

Survei karakter ini bertujuan mengetahui kondisi ekosistem sekolah di luar aspek kognitif.

"Survei karakter ini akan menjadi tolak ukur untuk bisa memberikan umpan balik kepada sekolah-sekolah untuk melakukan perubahan. Tujuannya, menciptakan siswa-siswa yang lebih bahagia dan juga lebih kuat asas Pancasila-nya di lingkungan Sekolah, " ungkap Nadiem.

3. Asesmen Pengganti UN Dilakukan di Kelas 4, 8 dan 11

Menurut Nadiem Makarim, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter tidak akan dilakukan tepat sebelum siswa lulus sekolah.

"Pelaksanaan ujian (penilaian kompetensi) tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, misalnya kelas 4, kelas 8 atau kelas 11," ujar dia.

Alasannya, jika dilakukan di tengah-tengah, supaya sistem ini masih bisa memberikan waktu bagi siswa, guru dan sekolah untuk melakukan perbaikan.

"Sehingga sebelum siswa lulus, ada waktu kepada semua elemen pedidikan untuk melakukan perbaikan," tutur Nadiem.

Pertimbangan kedua, asesmen dan survei karakter juga bertujuan menghindari potensi munculnya stres bagi siswa dan orangtua sebagaimana yang terjadi selama penerapan UN.

Sehingga nantinya, karena asesmen kompetensi minumum dan survei karakter dilakukan di tengah jenjang pendidikan, maka tidak bisa diterapkan sebagai rujukan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

"Dengan begitu, tidak lagi menimbulkan stres bagi orangtua dan anak. Karena sifat penilaian ini adalah formatif yang artinya harus berguna bagi guru, sekolah dan individu siswa untuk memperbaiki dirinya," ujar Nadiem.

Pro dan Kontra Menanggapi kebijakan Nadiem ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko-PMK) Muhadjir Effendy menyatakan sepakat jika UN dengan metode yang lama ditiadakan.

"Bagi saya, UN diubah enggak apa-apa. Sebab dulu itu kan adanya UN juga dari perubahan," ujar Muhadjir yang juga hadir di Hotel Bidakara pada Rabu.

Menurut Muhadjir, rencana implementasi ujian kompetensi dasar pengganti UN di kelas 4, kelas 8 maupun kelas 11 baik untuk dilakukan.

"Karena selama ini kan yang menjadi evaluasi sistem UN adalah ketika hasilnya diumumkan, sekolah dan guru tidak bisa lagi memberikan treatment untuk siswa," ungkapnya.

"Maka kalau pengganti UN nanti dilaksanakan di tengah-tengah akan bagus sebab bisa digunakan untuk perbaikan guru maupun sekolah," tambah Muhadjir.

Meski begitu, Muhadjir menyarankan agar sisi rasionalitas dari kebijakan ini bisa dijaga.

Sehingga saat akan diaplikasikan kebijakan tersebut telah benar-benar matang dan bermanfaat bagi semua pihak.

"Termasuk tadi soal evaluasi (kompetensi) yang formatif (di tengah) dan sumatif (di akhir dalam mekanisme pengganti UN) yang sangat teoritis sekali. Enggak ada evaluasi yang formatif saja, juga enggak ada yang sumatif saja. Jadi harus punya fungsi dua ya," tambahnya.

Tanggapan senada juga datang dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi.

Ia menyambut positif gebrakan Mendikbud Nadiem Makarim. Dede berharap penggantian sistem ujian itu segera disosialisasikan.

"Kami menyambut positif, sejauh ini kita menyambut positif dan harapannya dalam waktu satu tahun ke depan ini akan bisa lebih dioptimalkan kembali, metode apa yang akan digunakan. Disosialisasikan," kata Dede di JCC Senayan, Jakarta, Rabu.

Politisi Partai Demokrat itu menilai sistem UN memang sudah usang. Sebab, UN saat ini memaksa sekolah-sekolah tampak sama rata, meski pada kenyataannya tidak demikian.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyambut positif rencana Nadiem Makarim ini. FSGI menyebut, evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan siswa memang harus tetap ada.

"FSGI menyambut positif rencana Mas Nadiem menghapus UN. Tetapi evaluasi terhadap pembelajaran harus tetap ada," ujar Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) FSGI Satriwan Salim melalui keterangan tertulisnya, Rabu.

Calon wakil presiden Jusuf Kalla saat kampanye di Sigli, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, Kamis (5/6/2014).

Jika terpilih bersama Joko Widodo untuk memimpin bangsa ini, JK berjanji akan merealisasikan kesepakatan dalam perjanjian Helsinki yang belum dapat dijalankan.

Sementara itu, pendapat berbeda dikemukakan mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla. Kalla menyatakan, UN masih relevan diterapkan karena menjadi tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia.

"UN masih relevan diterapkan," kata Jusuf Kalla usai menerima penganugerahan doktor honoris causa di bidang penjaminan mutu pendidikan dari Universitas Negeri Padang, Kamis (5/12/2019) lalu.

Jusuf Kalla mengatakan, jika UN dihapuskan, maka pendidikan Indonesia akan kembali seperti sebelum tahun 2003 dimana UN belum diberlakukan.

Pendidikan Indonesia saat itu tidak memiliki standard mutu pendidikan nasional karena kelulusan dipakai rumus dongkrakan. Dengan demikian, hampir semua peserta didik diluluskan.

Dulu, kata dia, ada sistim Ebtanas yang menerapkan cara nilai ganda dan menaikkan nilai bagi yang kurang di daerah.

"Kalau di Jakarta anak dapat nilai 6, mungkin di Mentawai atau Kendari, atau di kampung saya di Bone dapat 4. Lalu dibikinlah semacam teori dan justifikasi untuk mengkatrol nilai 4 itu menjadi 6," kata Jusuf Kalla.

Angka nilainya jadi sama, tetapi isi dan mutunya berbeda. Terjadilah standar ganda, yang jelas mengorbankan masa depan karena yang kurang tetap kurang dan tidak bisa bersaing secara nasional.

"Kalau dibebaskan, tentu kembali ke sebelum tahun 2003," kata Jusuf Kalla.

Sumber: Tribun Cirebon
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved