Mendikbud Hapus UN
PROTES Emak-emak di Cirebon pada Nadiem Makarim soal Penghapusan UN 2021: Kelamaan, Tahun Depan Dong
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional (UN) pada 2021.
Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Ahmad Imam Baehaqi
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional (UN) pada 2021.
//
Karenanya, tahun depan merupakan tahun terakhir pelaksanaan UN bagi para pelajar.
Hal itupun tampaknya mendapat sambutan baik dari sejumlah ibu rumah tangga atau emak-emak di Cirebon.
Namun, Nunung Hidayah (46) justru menyesalkan kenapa penghapusan UN itu tidak dilakukan mulai tahun depan saja.
"Kenapa mesti 2021, enggak tahun depan saja," kata Nunung Hidayah, warga Cangkring, Kelurahan/Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, kepada Tribun Jabar, Jumat (13/12/2019).
Namun, Nunung mengaku menyambut baik dihapuskannya UN meski menyesalkan baru dilakukan pada 2021.
Padahal, menurut dia, Mendikbud RI, Nadiem Makarim, sudah bertugas dari tahun ini sehingga penghapusan UN itu dimulai pada tahun depan.
"Sudah kerja jadi menteri dari sekarang kenapa harus menunggu 2021 untuk mulai menghapus UN," ujar Nunung Hidayah.

Sementara Juju Juhairiyah (48), mengatakan, anaknya yang duduk di kelas IX SMP akan mengikuti UN pada 2020 untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.
Namun, menurut warga Desa/Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, itu, persiapan untuk menghadapi UN sudah dilakukan dari sekarang.
Dari mulai pengayaan di sekolah hingga les tambahan untuk mata pelajaran yang belum dikuasai anaknya dengan baik.
"Belum apa-apa khawatirnya anak saya sudah stres duluan," kata Juju Juhairiyah kepada Tribun Jabar, Jumat (13/12/2019).
Ia mengatakan, tingkat stres tersebut diyakini akan semakin meningkat saat mendekati hari pelaksanaan UN.
Juju mengakui anaknya sangat takut tidak lulus UN meski selama ini nilai yang didapatkannya di sekolah tergolong rata-rata.
Selain itu, tingkat pembelajaran siswa yang bersekolah di daerah dan di perkotaan juga tidaklah sama.
"Ya kan enggak mungkin mereka tes yang diberikan ke siswanya sama, padahal pembelajarannya berbeda," ujar Juju Juhairiyah.
Selain itu, Juju menilai sangat tidak adil jika seorang anak sudah menempuh pendidikan selama tiga tahun di SMP kemudian harus mengulang kembali hanya karena tidak lulus UN.
Padahal, menurut dia, ketidaklulusan dalam UN jelas dipengaruhi oleh banyak faktor.
Dari mulai kondisi siswa yang kurang sehat hingga faktor luar seperti sarana dan prasarana UN yang tidak berfungsi optimal.
Warga Majasem, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, Catur Wulan (39), mengaku sangat senang tentang kebijakan dihapusnya UN.
"Tentu senang sekali mendengarnya, saya tidak stress, dan anak saya juga tidak stress," kata Catur Wulan.
Ia berharap, kebijakan tersebut tidak berubah-ubah karena selama ini suatu kebijakan akan berubah setiap kepemimpinan suatu lembaga berganti.
Menurut Catur, UN tidak bisa dijadikan dasar kelulusan siswa dari mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA.
Pasalnya, mereka telah melewati tahapan jenjang pendidikan yang panjang di sekolah, terutama tingkat SD.
Karenanya, sangat tidak adil jika siswa dinyatakan tidak lulus sekolah hanya karena tidak lulus UN.
"Malah nanti anaknya ngedrop karena malu tidak lulus UN, dan parahnya enggak mau sekolah lagi," ujar Catur Wulan.
Alasan UN Dihapus

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengumumkan empat program pembelajaran nasional yang disebut sebagai kebijakan pendidikan “ Merdeka Belajar".
Pengumuman itu disampaikan Nadiem di depan para kepala dinas pendidikan dan kepala penjamin mutu pendidikan dari seluruh Indonesia, di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
Salah satu poin program "Merdeka Belajar" ini menyasar perubahan mekanisme pelaksanaan ujian nasional ( UN). Nadiem menegaskan, UN dengan metode lama akan dihapuskan dan diganti dengan sistem asesmen atau penilaian baru.
Lantas seperti apa teknis penerapan mekanisme yang baru tersebut? Berikut ini rangkuman penjelasannya sebagaimana pemaparan Nadiem Makarim pada Rabu.
1. UN Terakhir Digelar 2020
Nadiem menegaskan bahwa UN dengan sistem lama, yakni mengerjakan ujian dengan tolok ukur sejumlah mata pelajaran masih akan dilakukan pada 2020.
"Pada 2020 UN akan dilaksanakan seperti tahun sebelumnya. Tapi itu adalah UN terakhir (untuk metode) yang seperti sekarang dilaksanakan," ujar dia.
Untuk selanjutnya, yakni mulai tahun 2021, UN akan diganti dengan metode asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Nadiem mengungkapkan, ada dua alasan yang mendasari penghapusan UN dengan sistem lama.
"Pertama, berdasarkan survei dan diskusi dengan berbagai macam orangtua, siswa, guru dan kepala sekolah juga, materi UN itu terlalu padat sehingga cenderung fokusnya adalah mengajarkan materi dan menghafal materi saja. Bukan menguji kompetensi," kata Nadiem.
Kedua, saat ini UN sudah menjadi beban psikologi bagi banyak sekali siswa, orangtua dan guru.
Sistem UN saat ini hanya menilai satu aspek saja, yakni kognitif.
"Padahal maksud UN (yang sebenarnya) adalah untuk penilaian sistem pendidikan. Yakni sekolahnya, maupun geografi, maupun sistem pendidikannya secara nasional," tutur Nadiem
2. Teknis Metode Baru yang Diberlakukan Mulai 2021
Menurut Nadiem Makarim, metode asesmen kompetensi minimum dan survei karakter mulai diterapkan pada 2021. Dia mejelaskan apa yang dimaksud asesmen kompetensi minimum.
Menurut dia, penilaian ini merujuk kepada dua hal, yakni literasi dan numerasi.
"Literasi yang dimaksud itu bukan hanya kemampuan membaca ya Bapak dan Ibu. Melainkan kemampuan menganalisa sesuatu bacaan, kemampuan mengerti atau memahami konsep di balik tulisan itu. Itu yang penting," papar Nadiem.
Kemudian, numerasi yang merupakan kemampuan menganalisis angka-angka.
Sehingga penilaian kompetensi minimum nantinya bukan berdasarkan mata pelajaran lagi.
"Tetapi nanti lebih ke penguasaan konten atau materi. Ini tetap berdasarkan kompetensi minimum dan kompetensi dasar yang diperlukan murid-murid untuk bisa belajar apapun materinya," papar dia.
Kemudian terkait survei karakter, akan diadakan untuk menanyakan beberapa penerapan nilai, misalnya toleransi, gotong royong, pemahaman Pancasila dan sebagainya.
Survei karakter ini bertujuan mengetahui kondisi ekosistem sekolah di luar aspek kognitif.
"Survei karakter ini akan menjadi tolak ukur untuk bisa memberikan umpan balik kepada sekolah-sekolah untuk melakukan perubahan. Tujuannya, menciptakan siswa-siswa yang lebih bahagia dan juga lebih kuat asas Pancasila-nya di lingkungan Sekolah, " ungkap Nadiem.
3. Asesmen Pengganti UN Dilakukan di Kelas 4, 8 dan 11
Menurut Nadiem Makarim, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter tidak akan dilakukan tepat sebelum siswa lulus sekolah.
"Pelaksanaan ujian (penilaian kompetensi) tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, misalnya kelas 4, kelas 8 atau kelas 11," ujar dia.
Alasannya, jika dilakukan di tengah-tengah, supaya sistem ini masih bisa memberikan waktu bagi siswa, guru dan sekolah untuk melakukan perbaikan.
"Sehingga sebelum siswa lulus, ada waktu kepada semua elemen pedidikan untuk melakukan perbaikan," tutur Nadiem.
Pertimbangan kedua, asesmen dan survei karakter juga bertujuan menghindari potensi munculnya stres bagi siswa dan orangtua sebagaimana yang terjadi selama penerapan UN.
Sehingga nantinya, karena asesmen kompetensi minumum dan survei karakter dilakukan di tengah jenjang pendidikan, maka tidak bisa diterapkan sebagai rujukan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
"Dengan begitu, tidak lagi menimbulkan stres bagi orangtua dan anak. Karena sifat penilaian ini adalah formatif yang artinya harus berguna bagi guru, sekolah dan individu siswa untuk memperbaiki dirinya," ujar Nadiem.
Pro dan Kontra Menanggapi kebijakan Nadiem ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko-PMK) Muhadjir Effendy menyatakan sepakat jika UN dengan metode yang lama ditiadakan.
"Bagi saya, UN diubah enggak apa-apa. Sebab dulu itu kan adanya UN juga dari perubahan," ujar Muhadjir yang juga hadir di Hotel Bidakara pada Rabu.
Menurut Muhadjir, rencana implementasi ujian kompetensi dasar pengganti UN di kelas 4, kelas 8 maupun kelas 11 baik untuk dilakukan.
"Karena selama ini kan yang menjadi evaluasi sistem UN adalah ketika hasilnya diumumkan, sekolah dan guru tidak bisa lagi memberikan treatment untuk siswa," ungkapnya.
"Maka kalau pengganti UN nanti dilaksanakan di tengah-tengah akan bagus sebab bisa digunakan untuk perbaikan guru maupun sekolah," tambah Muhadjir.
Meski begitu, Muhadjir menyarankan agar sisi rasionalitas dari kebijakan ini bisa dijaga.
Sehingga saat akan diaplikasikan kebijakan tersebut telah benar-benar matang dan bermanfaat bagi semua pihak.
"Termasuk tadi soal evaluasi (kompetensi) yang formatif (di tengah) dan sumatif (di akhir dalam mekanisme pengganti UN) yang sangat teoritis sekali. Enggak ada evaluasi yang formatif saja, juga enggak ada yang sumatif saja. Jadi harus punya fungsi dua ya," tambahnya.
Tanggapan senada juga datang dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi.
Ia menyambut positif gebrakan Mendikbud Nadiem Makarim. Dede berharap penggantian sistem ujian itu segera disosialisasikan.
"Kami menyambut positif, sejauh ini kita menyambut positif dan harapannya dalam waktu satu tahun ke depan ini akan bisa lebih dioptimalkan kembali, metode apa yang akan digunakan. Disosialisasikan," kata Dede di JCC Senayan, Jakarta, Rabu.
Politisi Partai Demokrat itu menilai sistem UN memang sudah usang. Sebab, UN saat ini memaksa sekolah-sekolah tampak sama rata, meski pada kenyataannya tidak demikian.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyambut positif rencana Nadiem Makarim ini. FSGI menyebut, evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan siswa memang harus tetap ada.
"FSGI menyambut positif rencana Mas Nadiem menghapus UN. Tetapi evaluasi terhadap pembelajaran harus tetap ada," ujar Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) FSGI Satriwan Salim melalui keterangan tertulisnya, Rabu.
Calon wakil presiden Jusuf Kalla saat kampanye di Sigli, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, Kamis (5/6/2014).
Jika terpilih bersama Joko Widodo untuk memimpin bangsa ini, JK berjanji akan merealisasikan kesepakatan dalam perjanjian Helsinki yang belum dapat dijalankan.
Sementara itu, pendapat berbeda dikemukakan mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla. Kalla menyatakan, UN masih relevan diterapkan karena menjadi tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia.
"UN masih relevan diterapkan," kata Jusuf Kalla usai menerima penganugerahan doktor honoris causa di bidang penjaminan mutu pendidikan dari Universitas Negeri Padang, Kamis (5/12/2019) lalu.
Jusuf Kalla mengatakan, jika UN dihapuskan, maka pendidikan Indonesia akan kembali seperti sebelum tahun 2003 dimana UN belum diberlakukan.
Pendidikan Indonesia saat itu tidak memiliki standard mutu pendidikan nasional karena kelulusan dipakai rumus dongkrakan. Dengan demikian, hampir semua peserta didik diluluskan.
Dulu, kata dia, ada sistim Ebtanas yang menerapkan cara nilai ganda dan menaikkan nilai bagi yang kurang di daerah.
"Kalau di Jakarta anak dapat nilai 6, mungkin di Mentawai atau Kendari, atau di kampung saya di Bone dapat 4. Lalu dibikinlah semacam teori dan justifikasi untuk mengkatrol nilai 4 itu menjadi 6," kata Jusuf Kalla.
Angka nilainya jadi sama, tetapi isi dan mutunya berbeda. Terjadilah standar ganda, yang jelas mengorbankan masa depan karena yang kurang tetap kurang dan tidak bisa bersaing secara nasional.
"Kalau dibebaskan, tentu kembali ke sebelum tahun 2003," kata Jusuf Kalla.