Masih Banyak Anak-anak Tak Lanjut Sekolah, Ini Kata Sekdisdik Indramayu
Partisipasi anak bersekolah di Kabupaten Indramayu masih belum menjangkau keseluruhan kalangan usia.
Penulis: Handhika Rahman | Editor: Muhamad Nandri Prilatama
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Handhika Rahman
TRIBUNCIREBON.COM, INDRAMAYU - Partisipasi anak bersekolah di Kabupaten Indramayu masih belum menjangkau keseluruhan kalangan usia.
Padahal, pemerintah sudah mengupayakan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan program wajib belajar 12 tahun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kabupaten Indramayu, Angka Partisipasi Sekolah (APS) Formal dan Non formal tahun 2018 di Kabupaten Indramayu masih belum maksimal.
Rata-rata APS kelompok umur 7-12 tahun atau jenjang SD, yakni 99,70 persen. Dengan rincian laki-laki sebesar 99,42 persen dan perempuan sebesar 100 persen.
Rata-rata APS kelompok umur 13-15 tahun atau jenjang SMP, yakni 92,88 persen. Dengan rincian laki-laki sebesar 89,44 persen dan perempuan sebesar 96,74 persen.
Rata-rata APS kelompok umur 16-18 tahun atau jenjang SMA, yakni 64,24 persen. Dengan rincian laki-laki sebesar 57,28 persen, perempuan sebesar 71,47 persen.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, Caridin mengatakan, masyarakat Kabupaten Indramayu masih banyak yang hanya lulusan SMP sederajat.

"Alhamdulillah kalau SD sudah baik, kalau SMP memang belum seluruh melanjutkan pendidikan," ujar dia saat ditemui Tribuncirebon.com di ruangannya, Selasa (20/8/2019).
• Ingin Anaknya Tak Putus Sekolah, Samsudin Nekat Jalan Kaki dari Indramayu ke Istana Negara
• KISAH 3 Bersaudara di Boyolali, Ayah Meninggal, Ibu Kabur Dari Rumah, Hingga Putus Sekolah
• Kisah Jodi Bocah Lusuh Yang Bersekolah Dengan Pakaian Kotor, Bupati Kuningan Siap Relokasi Rumahnya
Dirinya berpendapat, alasan masih rendahnya minat masyarakat mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi bukan karena faktor ekonomi.
Menurutnya, faktor sosial yang menjadi penyebab utama anak-anak di Indramayu tidak sekolah. Caridin mengungkapkan banyak orangtua yang memilih bekerja ke luar negeri sebagai buruh Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan membuat pola asuh terhadap anak menjadi kurang.
Selain itu, faktor perceraian orangtua juga menjadi penyebab utama.
"Sebenarnya di kami kalau soal faktor biaya sudah jarang, lebih karena faktor sosial," ujar dia. (*)