Benggol Kayu dan QRIS di Kaki Gunung Ciremai: Ketika Tradisi dan Digitalisasi Menyatu di Bantaragung

“Benggol ini diambil dari sejarah zaman dulu."

“Ide ini lahir dari keinginan untuk menjaga identitas lokal sambil mengenalkan transaksi digital."

Baca juga: Kecelakaan Maut di Cipularang, Sopir Ditabrak Travel Saat Berhenti di Bahu Jalan, Ini Identitasnya

"Karena kami dibina oleh Bank Indonesia, jadi transaksinya juga disinergikan dengan QRIS," ujar Wawan Hermawanto, pengelola sekaligus anggota Pokdarwis Bantaragung.

Dua dunia pun berpadu, antara tradisi ekonomi rakyat dan digitalisasi keuangan modern.

“Ada yang nostalgia karena merasa seperti kembali ke masa sebelum ada uang, tapi sekarang mereka juga bisa pakai QRIS. Jadi dua dunia ketemu di sini,” lanjutnya.

Keunikan itu pula yang menarik Anton dan Angel, pasangan wisatawan asal Jakarta.

“Tahu Pasar Bumi Pakuwon dari media sosial."

Baca juga: Sule Tak Buru-buru Nikah Lagi, Ayah Rizky Febian Santai Urusan Jodoh

"Begitu datang, suasananya bikin kagum. Sawahnya kayak di Bali," kata Anton. 

Bagi mereka, pengalaman menggunakan benggol jadi hal paling berkesan.

“Seakan-akan kita kembali ke masa lampau,” tambah Angel.

Menjelang malam, lampu minyak di panggung kayu mulai menyala.

Alunan gamelan mengiringi tari topeng khas Cirebon yang ditampilkan sanggar-sanggar seni Ciayumajakuning.

Baca juga: Ustaz Yusuf Mansur Buka Jasa Doa, Alfatihah Ditarif 20 Juta Tuai Kririk Pedas Warganet

Anak-anak duduk di bangku kayu, menatap kagum.

“Setiap bulan temanya berbeda, kami kolaborasikan beberapa sanggar biar pengunjung tidak bosan,” jelas Wawan.

Bagi warga, pasar ini bukan sekadar ruang ekonomi, tapi juga panggung budaya yang menghidupkan kembali semangat gotong royong.