Dari Uang Tunai ke QRIS: Jalan Moh Toha Jadi Simbol Digitalisasi UMKM Cirebon

Dari sekitar 140 pedagang yang berjualan di Pujaan Toha, 122 di antaranya telah menggunakan QRIS sebagai kanal pembayaran utama

Penulis: Eki Yulianto | Editor: Mutiara Suci Erlanti
Tribuncirebon.com/Eki Yulianto
GUNAKAN QRIS - Potret keramaian pedagang UMKM di sepanjang Jalan Raya Moh Toha, Kota Cirebon. Dari sekitar 140 pedagang yang berjualan di Pujaan Toha, 122 di antaranya telah menggunakan QRIS sebagai kanal pembayaran utama. 


Deputi Kepala Perwakilan BI Cirebon, Himawan Putranto menyebut, pertumbuhan transaksi digital di kawasan ini meningkat signifikan.


“Kalau bicara pembayaran digital di Ciayumajakuning, alhamdulillah menunjukkan perkembangan positif."


“Data kami, per September 2025 tercatat 8,9 juta transaksi tumbuh 173 persen secara tahunan. Nilainya mencapai 869 miliar rupiah," katanya.


Secara akumulatif, hingga September 2025, volume transaksi mencapai 59,87 juta dengan total nilai sekitar 6,4 triliun rupiah.


Angka yang menunjukkan betapa cepatnya masyarakat beradaptasi.


Lebih jauh, Himawan menjelaskan, bahwa QRIS tidak hanya mempermudah transaksi, tetapi juga membantu sistem pembukuan pedagang kecil.


“Selama ini masalah UMKM adalah manajemen kas. Uang masuk tidak tercatat dengan rapi."


"Dengan QRIS, semuanya otomatis tercatat di rekening bank mereka. Itu jadi portofolio penting kalau nanti mereka mau ajukan kredit,” ujarnya.


Artinya, QRIS bukan sekadar cara baru untuk membayar tapi juga menjadi jembatan bagi para pedagang kecil untuk masuk ke sistem keuangan formal.


Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perdagangan dan Perindustrian (DKUKMPP) Kota Cirebon, Iing Daiman menilai, penerapan QRIS turut membantu pedagang kecil naik kelas.


“Dulu mereka sulit mengakses perbankan karena tidak punya catatan transaksi."


"Sekarang, lewat QRIS, mereka punya data omzet yang bisa dijadikan dasar pengajuan modal usaha,” ujar Iing.


Sementara itu, Pengamat Ekonomi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGJ, Editya Nurdiana melihat, fenomena ini sebagai bentuk transformasi sosial.


“Digitalisasi di sektor informal itu menarik, karena bukan hanya soal teknologi, tapi soal kepercayaan."


"Ketika pedagang mulai percaya uangnya aman di sistem digital, di situlah inklusi keuangan bekerja,” ucap Editya.


Bagi pedagang seperti Anis, mungkin tak terpikir bahwa teknologi yang dulu terasa jauh kini menjadi bagian dari hidupnya.


Ia masih ingat masa-masa harus menyediakan tumpukan uang receh di kaleng bekas roti dan kebingungan mencari kembalian seribu rupiah saat pembeli terburu-buru.


Kini, wajahnya tampak lebih tenang.


Di antara hiruk pikuk pengunjung, ia tak perlu lagi mengutak-atik uang.


Semua tinggal menunggu notifikasi masuk.


“Sekarang malah kalau HP sepi, saya curiga jaringannya yang error,” ujarnya sambil terkekeh.


Perubahan semacam ini mungkin kecil, tetapi bagi para pedagang kaki lima, ini adalah langkah besar.


QRIS memberi mereka bukan hanya efisiensi, tapi juga rasa percaya diri, bahwa mereka pun bisa “naik kelas”.


Cirebon, seperti banyak kota lain, sedang mengalami pergeseran cara pandang terhadap uang.


Generasi Z, yang tumbuh bersama ponsel dan koneksi internet, kini menjadi motor perubahan.


Di Pujaan Toha, anak muda yang datang tidak lagi menenteng dompet tebal.


Mereka cukup membawa ponsel dan kuota. Transaksi pun selesai hanya dengan sentuhan layar.


Menurut Asih, sebagian besar transaksi QRIS berasal dari pelanggan muda.


“Mereka udah terbiasa. Bahkan kadang kalau pedagang gak punya QRIS, mereka pindah ke lapak lain yang bisa scan,” katanya.


Meski begitu, uang tunai belum sepenuhnya hilang.


Beberapa pedagang tua masih enggan beralih sepenuhnya ke digital.


Mereka mengaku takut salah pencet atau khawatir saldo tak masuk.


Namun, Asih optimistis perubahan ini hanya soal waktu.


“Dulu aja awalnya gak ada yang mau pindah ke sini (Jalan Moh Toha). Sekarang malah rebutan tempat. Sama kayak QRIS, nanti juga semua ikut,” ujarnya, pelan.


Dari sisi sosial, kehadiran QRIS juga menghapus batas antara pedagang besar dan kecil. 


Kini, tak ada lagi istilah “lapak tradisional” dan “modern”.


Semua bisa ikut serta dalam ekonomi digital.


Bank Indonesia mencatat, inklusi keuangan di wilayah Ciayumajakuning terus meningkat.


Akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal kini mencapai 88 persen, didorong oleh adopsi QRIS dan layanan digital banking.


Di lapangan, manfaatnya terasa nyata.


Seorang pedagang kopi, misalnya, bisa memantau pendapatan hariannya dari layar ponsel.


Ia tahu berapa transaksi yang masuk, kapan dan dari siapa.


Hal-hal sederhana yang dulu hanya bisa dilakukan oleh pengusaha besar, kini juga dimiliki pedagang kecil di trotoar.


Sekitar pukul sembilan malam, sebagian pedagang mulai menutup lapak.


Beberapa masih melayani pembeli terakhir, sebagian sibuk mengecek saldo transaksi di ponsel masing-masing.


Wajah mereka tampak puas.


Di sudut jalan, Anis menatap papan QR miliknya yang mulai pudar karena sering terkena cipratan minyak.


Ia menepuknya pelan, seolah berterima kasih pada benda kecil itu.


“Lumayan lah, sekarang uang masuknya langsung ke rekening,” katanya pelan.


Tak jauh darinya, anak-anak muda masih bersenda gurau sambil memegang ponsel, mencari makanan berikutnya. 


Mereka adalah potret masa depan, generasi yang hidup tanpa uang tunai, tapi tetap lekat dengan pasar rakyat.


Di tengah kota tua Cirebon yang sarat sejarah, Jalan Moh Toha kini punya kisah baru, yakni kisah tentang adaptasi, keberanian dan perubahan.


Tentang bagaimana teknologi, tanpa kehilangan kehangatan manusia, menjadi bagian dari denyut ekonomi jalanan.

Sumber: Tribun Cirebon
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved