Pemerhati budaya Cirebon, Jajat Sudrajat, mengaku terkejut saat mengetahui nama gedung berubah menjadi Bale Jaya Dewata.
“Loh saya kaget, ini penamaan ini dasarnya apa? Kok tidak ada satu pun orang Cirebon yang diajak bicara?” ujar Jajat saat ditemui wartawan, Kamis (24/4/2025) lalu.
Ia menyayangkan kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses pemberian nama gedung yang memiliki nilai historis tinggi itu.
“Betul, kepemilikannya provinsi. Tapi lokusnya ada di Kota Cirebon loh. Kalau pun Gubernur punya wacana, apa salahnya ngajak bicara? Terlepas dari perwakilan keraton, pegiat budaya, saya pikir agar tidak jadi polemik,” ucapnya.
Jajat juga mempertanyakan relevansi nama Jaya Dewata dengan sejarah lokal.
“Jaya Dewata itu nama muda Prabu Siliwangi. Beliau belum pernah ke Cirebon kok. Kita punya tokoh lokal seperti Panembahan Losari atau Pangeran Sucimanah."
"Cuma mbok ya saat pemberian nama, diajak diskusi. Catat, bukan alih fungsinya, tapi penamaannya,” ucap dia.
Tokoh budaya lainnya, Chaidir Susilaningrat, menilai penamaan gedung dilakukan secara sepihak dan tanpa sosialisasi.
“Penamaan gedung bersejarah semestinya dimusyawarahkan dengan semua stakeholder kebudayaan. Mengingat penamaan gedung itu berkaitan dengan upaya pelestarian warisan budaya bangsa,” kata Chaidir.
Chaidir mengungkapkan, gedung yang dibangun pada 1808 itu memiliki sejarah panjang dan sempat digunakan sebagai markas pasukan Belanda, hingga terakhir difungsikan sebagai Creative Center oleh Gubernur sebelumnya, Ridwan Kamil.
Baca juga: Sosok Subang Larang, Nama yang Diusulkan Budayawan Cirebon Jadi Nama Kantor Gubernur Jabar