Laporan wartawan Tribunjabar.id, Cipta Permana.
TRIBUNCIREBON.COM, BANDUNG - Kasus operasi tangkap tangan ( OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang menimpa Wali Kota Bandung, Yana Mulyana menambah daftar panjang pejabat publik yang tersandung masalah hukum, khususnya jelang digelarnya pesta demokrasi Pemilu.
Pengamat Kebijakan Publik Unpad, Prof. Didin Muhafidin mengatakan, bahwa sangat mahalnya kebutuhan biaya sistem perpolitikan di Indonesia menjadi faktor pemicu pejabat publik, untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum demi memuluskankan targetnya.
Baca juga: BREAKING News, Wali Kota Bandung Yana Mulyana Kena OTT KPK, Ini Dugaan Kasusnya
Dengan kondisi tersebut, maka diyakini hadirnya pihak-pihak yang akan menawarkan bantuan dengan kesepakatan, yang turut mendanai pencalonan seseorang untuk menduduki sebuah jabatan di pemerintahan.
Apabila kesepakatan itu sudah terjadi dan sosok yang diusung berhasil menduduki suatu jabatan, maka pihak-pihak yang ikut mendanai pencalonan tadi diyakini akan meminta timbal balik dari bantuan yang diberikannya.
"Hal ini tentunya akan menjadi situasi sulit, apalagi untuk mengembalikan dana yang diberikan, kecuali dalam bentuk dukungan terwujudnya sebuah kegiatan yang menguntungkan pihak-pihak yang memberikan bantuan tadi," ujarnya saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (15/4/2023).
Selain itu, menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan etika publik, yang dapat membuat pejabat publik dapat terjerumus kepada tindak pidana korupsi, yaitu memudarnya rasa bersalah, menurunnya rasa malu, dan menghilangnya rasa takut.
Memudarnya rasa bersalah, terjadi apabila seseorang sudah tidak lagi merasa bersalah dalam melakukan pelanggaran norma, hukum, dan etika, termasuk mengkhianati amanah publik yang didapatkannya.
"Berkaitan dengan menurunnya rasa malu, kita lihat saat ini banyak pejabat publik yang tersandung hukum, justru tidak lagi menunjukkan ekspresi menyesal dan malu, saat disorot kamera media. Bahkan kini rata-rata koruptor malah cengengesan saat dihadapkan penyidik KPK ke publik dalam gelar konferensi pers," ucapnya.
"Dengan ekspresi seperti itu, para koruptor seolah menilai apa yang mereka lakukan adalah hal umum dan biasa dilakukan oleh pejabat publik. Apalagi dari 500 kabupaten/kota, saat ini 250 diantaranya telah atau pernah menjadi tersangka korupsi, artinya lingkungan di pejabat publik ini memiliki masalah serius," lanjutnya.
Terakhir adalah hilangnya rasa takut. Apabila rasa bersalah pada diri sendiri, kemudian rasa malu kepada keluarga dan publik atau masyarakat. Sedangkan, rasa takut ini kepada hukum yang berlaku.
"Saat ini banyak pejabat publik yang tidak takut akan hukum, karena menilai hukuman bagi koruptor itu kecil, maksimal hanya lima tahun, bahkan ada juga yang hanya dua tahun, dan itu belum dipotong masa remisi. Jadi karena ringannya masa hukuman tersebut membuat tindak pidana korupsi tumbuh subur di negeri ini," ujarnya.
Disinggung terkait upaya pencegahan korupsi yang terus dilakukan selama ini, salah satunya mengubah pola lelang dari manual menjadi elektronik, menurutnya hal itu tidak akan berjalan efektif.
Menurutnya, pola sistem elektronik itu dapat diibaratkan sebagai software, lalu lembaga yang berwenang untuk melakukan lelang tersebut adalah hardware.
Namun Software dan hardware secanggih apapun, tetap saja yang membuat dan menjalankannya adalah brainware atau otak manusia yang membuat dan mengoperasikan sistem tersebut.