Khutbah Idulfitri
Naskah Khubbah Idulfitri 1 Syawal 1446 H, Ciri Seorang Muslim Sukses Menjalankan Ramadan
Sebulan penuh umat Islam menjalani pendidikan di bulan Ramadan. Apa ciri-ciri seorang muslim sukses menjalani Ramadan?
وَعَن ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: "فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ". رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Demikian pula, Idul Fitri kerap dimaknai sebagai “audah ila al-fithrah” atau kembali kepada fitrah dalam arti kesucian. Padahal, secara semantik, Idul Fitri itu artinya adalah “Hari Raya Makan”, karena memang pada hari Idul Fitri umat Islam diharamkan berpuasa. Idul Fitri bukan kembali kepada kesucian, tetapi merayakan kemenangan dan kebahagiaan dengan menikmati kembali makanan dan minuman setelah berpuasa seraya bertakbir, bertahmid, bertasbih, bertahlil, bersilaturrahim, dan saling memaafkan.
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Makna fitrah dalam beberapa ayat dan hadis Nabi SAW menunjukkan arti ‘asal kejadian, potensi dan kecenderungan alami, nature, atau watak kemanusiaan sebagaimana ciptaan atau hasil kreasi Allah. Ibarat komputer atau laptop, fitrah itu adalah “program bawaan” yang sudah diinstal oleh Allah ke dalam diri manusia bersamaan dengan “peniupan ruh-Nya”.
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum/30:30).
Reaktualisasi makna fitrah menjadi sangat relevan, apabila dikaitkan dengan sejumlah hadis yang berkaitan dengan fitrah manusia. Karena, aktualisasi fitrah yang diteladankan Nabi SAW berkaitan erat dengan sunnah dan terkait erat dengan kemaslahatan kemanusiaan. Sejumlah fitrah manusia yang disebutkan dalam hadis menarik dikaji dan dikembangkan dalam konteks kehidupan manusia. Ammar bin Yasir meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
الفطرة عشر: المضمضة والاستنشاق والسواك وقص الشارب وتقليم الأظافر وغسل البراجم ونتف الإبط والانتضاح بالماء والختان والاستحداد
“Fitrah itu ada sepuluh: berkumur, membersihkan hidung, bersiwak, mencukur kumis, memotong kuku, membasuh punggung jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, berkhitan, dan memotong bulu kemaluan.” (HR. Muslim).
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, fitrah kemanusiaan dapat dikategorikan menjadi fitrah beragama (berakidah tauhid), fitrah mencintai kebersihan, fitrah memelihara kesehatan, fitrah mencintai keindahan dan menjaga penampilan estetis, dan fitrah berinteraksi sosial dengan baik dan elegan. Ibn ‘Asyur mengelompokkan fitrah manusia menjadi dua: fithrah jasadiyyah dan fithrah ‘aqliyyah.
Yang pertama adalah fitrah terkait dengan kelaziman fisik manusia, seperti berjalan dengan kaki, bekerja dengan menggunakan tangan; sebaliknya berjalan dengan menggunakan tangan dalam kondisi normal itu melawan fitrah. Sedangkan yang kedua adalah fitrah berpikir rasional, kritis dan kreatif, misalnya mendayagunakan akal untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Menurut Ibn al-Qayyim, fitrah itu sejatinya adalah hanifiyyah, kecenderungan yang lurus dan benar dalam beragama. Jadi, fitrah itu nilai-nilai kemanusiaan legasi Nabi. Mencintai Nabi idealnya dibuktikan dengan meneladani fitrah kemanusiaan yang diajarkan olehnya.
Lalu, bagaimana puasa Ramadhan didesain dan diorientasikan kepada pendidikan fitrah kemanusiaan yang memberi kemaslahatan dan kebaikan bersama? Puasa merupakan ibadah universal, lintas agama, budaya, bangsa, dan masa. Oleh karena itu, pensyariatan puasa dalam Islam dibarengi dengan penyebutan “sebagaimana puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum kalian” (QS al-Baqarah/2: 183). Hal ini menunjukkan bahwa ibadah puasa itu baik dan bernilai kebaikan untuk umat manusia, terutama orang beriman, karena memang yang dipanggil oleh Allah untuk merespon positif perintah berpuasa adalah orang-orang beriman (Ya ayyuha al-ladzina amanu).
Selain bertujuan meraih kualitas takwa yang prima, puasa Ramadhan yang disyariatkan Islam itu berorientasi kepada kebaikan. Setidaknya ada tiga kata “khair” (kebaikan) yang menyertai rangkaian ayat-ayat perintah puasa: “Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah/2:184). Karena puasa Ramadhan itu berorientasi dan bermuara kepada kebaikan personal maupun kebaikan sosial, maka dapat ditegaskan bahwa esensi berpuasa itu merupakan aktualisasi fitrah kemanusiaan. Ramadhan itu ibarat kampus kehidupan. Regulasi dan kurikulum (norma, nilai, kewajiban, anjuran, dan larangan) dalam berpuasa ramadlan itu sarat dengan nilai-nilai Pendidikan fitrah kemanusiaan. Bangun tidur lebih awal untuk santap sahur, shalat subuh berjamah, berdzikir, berdoa, tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga adzan maghrib, tarawih, tadarus Alquran, sedekah, i’tikaf, mengeluarkan zakat mal dan zakat fitri, semuanya adalah fitrah kemanusiaan, apabila diresponi secara positif, dijalani dengan penuh ketulusan dan kesabaran.
Allah Akbar 3X, Allah Maha Besar! Oleh karena fithrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan lain-lain, maka agar fithrah manusia itu tetap terpelihara dengan baik, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai agama dan akhlak karimah, sehingga diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta cakap dalam menyikapi dan menjawab berbagai tantangan kehidupan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.