Sosok
Pieter Sambo Ayah Ferdy Sambo, Jenderal Polisi Bintang 2 yang Pernah Batal Jadi Kapolri
Nama Pieter Sambo menjadi perbincangan setelah kasus yang menimpa sang putra, Irjen Ferdy Sambo menyita perhatian publik.
Dia jadi Kapolda Sumatera Utara (1984-1986) lalu Kapolda Irian Jaya, di masa LB Moerdani jadi panglima TNI yang saat itu, masih membawahi kepolisian.
Dia perwira intelijen yang tahu banyak soal banyak hal strategis di negeri ini.
Ekonomi, keuangan, politik, pemerintahan, hukum, hingga seluk-beluk perbankan negeri.
Dari rangkaian pertemuan itulah, kami selalu cerita lepas, merasa dekat dan sangat terbuka.
Saya menemukan sahabat, kakak, sekaligus orangtua.
Memang beliau seumuran dan segenerasi dengan orangtua saya, kelahiran 1930-an.
Begitu banyak tips and trick bergaul, komunikasi, dan pelajaran nilai hidup yang saya dapat dari beliau.
Suatu sore, dia mengajak saya makan malam di restoran Gelael, Jl Sultan Hasanuddin, Makassar.
Selesai makan, kami berdua jalan di selasar supermarket modern itu menuju parkiran mobil.
Tiba-tiba ada pria berperawakan perwira.
Dia mendekat, lalu memberi hormat resmi.
Si perwita melapor.
“Pak Jend saya bla bla.bla, dulu bekas anak buahnya komandan.”
Tanpa tedeng aling-aling, sang jenderal meninggalkannya dengan respon muka dingin dan tanpa kata-kata satu pun keluar dari mulutnya.
Penasaran, di kabin depan mobil saya bertanya.
“Kenapa bapak cuekin itu?”
Jenderal Pieter Sambo pun merespon.
“Aaah biarkan dia dengan dunianya. Saya ini orang pensiun. Saya tak mau lagi bawa-bawa apa saya dulu. Saya kini mau jadi rakyat biasa. Saya mau jadi temannya Andi Isdar saja,” jawaban itu diikuti tawa panjang.
Dari momen itu, saya mengambil kesimpulan bahwa “Saya ini adalah teman gaulnya untuk menghilangkan post power syndrome penguasa Orde Baru.”
Dia butuh masukan dan wawasan baru dari mahasiswa, aktivis era akhir Orde Baru, namun hanya dengan orang-orang terbatas dan bisa dia percaya.
Itu saya kian pahami saat aksi anarkis demo rasialis SARA mahasiswa dan massa di Kota Makassar.
Saat itu Panglima Kodam VII/Hasanuddin adalah Mayjen TNI Agum Gumelar, yuniornya di militer.
“Sebagai mantan pejabat, saya harus melawan post power syndrom. Saya dulu datang dengan patwal dibuatkan etalase duduk dan dijemput pakai tari-tarian.”
Dari momen transisi Orde Baru ke Orde Reformasi itu jugalah, saya melihat pengaruhnya sebagai jenderal purnawirawan polisi masih kuat dan melekat.
Saat menjabat sebagai komandan di korps Brimob, Kelapa Dua, Kolonel Polisi M Jusuf Manggabarani, datang ke rumahnya di Panakkukang.
Maggabarani yang diterjunkan dari pesawat Hercules dengan motor trail, datang ke rumahnya untuk melaporkan rencana tugas dan pengamanan konflik horizontal di Makassar.
“Saat komandan di Korps Brimob, Manggabarani dan Gorismere itu adalah ajudan saya yang paling berani.”
Setiap pertemuan dia selalu menceritakan kiprah, dan sosok panutan polisi, Jenderal Hoegeng Imam Santoso ( 1921 – 2004).
Kapolri ke-5 (1968-1971) itulah, Pieter Sambo mengaku banyak belajar tentang keteladanan, kesederhanaan, dan nilai-nilai kejujuran polisi.
“Saya bisa pastikan, dia termasuk salah satu jenderal polisi miskin. Karena saat pensiun beliau tidak memiliki harta layaknya seorang jenderal. Padahal beliau pernah dua kali menjadi kapolda.”
Baginya jabatan bukan sarana untuk memperkaya diri.
Hingga pensiun saat perkenalan saya dengan beliau, hanya memiliki satu mobil bekas sedan Peugeot 505.
Ada yang sangat menarik dari seorang Jenderal Pieter Sambo.
Dalam kariernya pernah menimbal ilmu inteljen di KGB Uni Soviet, dan Mossad, tak kalah lagi, LB Moerdani mengirim belajar inteljen di CIA Amerika.
Dia sangat mahir berbahasa Inggris, dan lancar berbahasa Rusia.
Pieter Sambo adalah seorang jenderal cerdas.
Dia lama di Amerika menimba ilmu intelijen, sehingga bahasa Inggris beliau bisa dengan aksen East Coast dan West Coast.
Dalam setiap percakapan kami, ketika menyinggung soal-soal kedinasan di masa lalu, dia selalu mendahului dengan kalimat off the record.
“Oke Isdar, saya sampaikan ini hanya untuk kamu ketahui. Lagian saya sudah pensiun, cukup untuk kamu ketahui.”
Pengalaman paling menarik dalam kedinasannya, adalah saat menjadi perwira di Korps Brimob.
“Dan itulah satu-nya atau pertama kalinya Brimob diterjunkan dalam operasi militer Seroja di Timor Timur….”
Dia juga bercerita dia pernah dipromosi sebagai Kapolri di jamanya.
Saat itu Menhankam Pangab, LB Moerdani.
Surat pengangkatannya sudah ada di meja kerja Jenderal TNI dan siap meneken surat Tugas Sambo sebagai Kapolri.
Tiba-tiba dia mendapat telepon dari Cendana, kediaman Presiden Soeharto.
Batallah dia menjadi Kapolri.
Pak Harto Menunjuk Jenderal Mohammad Sanoesi sebagai Kapolri (1986-1991).
Setelah SK Mohomad Sanoesi diterbitkan, LB Moerdani menghubungi Mayjen Pol Pieter Sambo.
Dari ujung telepon, "Piet Kamu nggak bisa jadi Kapolri, karena kamu dari minoritas" sudahlah... !”
Hidup sederhana dengan keluarga bahagia, Mayor Jenderal (pur) Pol Pieter Sambo dengan Istri seorang dokter anak ditemani dua anak.
Anak sulungnya perempuan, anak keduanya Laki-laki.
Dua anaknya tidak ada mengikuti jejak ayahnya di kepolisian.
Karena tugas, membuat kami jadi sahabat dan teman jarang bersua.
Terakhir pertemuan kami, saat anak kedua saya lahir di rumah sakit Luramay, tahun 2007.
Jenderal kecerdasanmu serta kejujuran mu akan selalu kukenang.(*)