Kasus Herry Wirawan

Korban Herry Wirawan dari Tasikmalaya Belum Mau Bicara, Orang Tua Pun Tak Terima Anaknya Dirudapaksa

Bukan hanya si anak perempuan yang menanggung dampak psikologis akibat aksi guru bejat Herry Wirawan.

Editor: dedy herdiana
ist/tribunjabar
Herry Wirawan, guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya hingga melahirkan 8 bayi. 

Laporan Kontributor Tribun Jabar, Firman Suryaman

TRIBUNCIREBON.COM, TASIKMALAYA - Bukan hanya si anak perempuan yang menanggung dampak psikologis akibat aksi guru bejat Herry Wirawan.

Para orang tua korban rudapaksa itu pun merasakan dampaknya.

Salah satunya terjadi pada orang tua korban asal Tasikmalaya yang masih masih syok dengan kejadian yang menimpa anak perempuan kesayangan mereka.

Bagaimana tidak, korban yang merupakan anak perempuan kesayangan harus menerima kenyataan hidup yang nestapa.

Baca juga: Herry Wirawan Si Kang Cabul Awalnya Hanya Pakai Motor, Tiba-tiba Pakai Mobil Mewah, Kok Bisa?

"Jadi tidak hanya korban yang trauma tapi juga pihak orang tua sebenarnya sangat syok," kata Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto, mengungkapkan, Selasa (14/12).

"Hingga saat ini mereka (orang tua korban, Red) masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa anak kesayangan mereka," ujar Ato.

Hanya saja, menurut Ato, pihak orang tua lebih bisa mengontrol sikap dan perasaan.

Ketua KPAID Kabupaten Tadikmalaya, Ato Rinanto.
Ketua KPAID Kabupaten Tadikmalaya, Ato Rinanto. (TribunJabar.id/Firman Suryaman)

"Berbeda dengan ananda yang menjadi korban, hingga saat ini masih belum mau berbicara dengan orang luar termasuk dari KPAID," ujar Ato.

Padahal keberadaan KPAID untuk melakukan pendampingan akan mengurangi beban psikologis yang harus ditanggung korban.

"Makanya kami terus berupaya, ditengah kesibukan mengurusi kasus lainnya, berupaya agar secepatnya bisa berkomunikasi dengan korban," kata Ato.

Baca juga: Artis Preman Pensiun Ini Murka pada Herry Wirawan, Sebut Wajahnya Babak Belur Itu Baru Pemanasan

Baca juga: Kejati Jabar Kawal Kasus Herry Wirawan, Kajati Turun Langsung Jadi Jaksa Penuntut Umum

Terlebih sejak kasus ini muncul bulan Mei, korban yang kemudian dipulangkan bersama para korban lain belum pernah mendapatkan upaya trauma healing.

"Ada kekhawatiran kondisi psikisnya bertambah buruk. Karenanya mudah-mudahan dalam waktu satu atau dua hari ke depan kami sudah bisa mendampingi," ujar Ato. 

Pihak KPAID Kabupaten Tasikmalaya hingga kini masih belum bisa berkomunikasi dengan salah satu korban Herry Wiryawan di Tasikmalaya.

"Hingga hari ini kami masih menunggu kondisi stabil korban," kata Ato Rinanto, di kantornya, Selasa (14/12).

Namun begitu, lanjut Ato, komunikasi intens berjalan dengan pihak keluarga terutama orang tua korban.

"Informasi hari ini saat kami menanyakan kondisi terkini korban kepada orang tua, diperoleh jawaban korban masih belum stabil," kata Ato.

Namun dari komunikasi hari ini dengan orang tua, lanjut Ato, pihak KPAID kemungkinan sudah bisa menemui korban sekitar dua hari ke depan.

"Insyaa Allah dalam dua hari ke depan kami sudah bisa berkomunikasi dan memulai proses pemulihan kondisi psikis korban," ujar Ato.

Ia menambahkan, pihak KPAID sebenarnya dua hari kebelakang mendapat sinyal dari keluarga bahwa korban bisa ditemui.

"Namun setelah kami bersiap-siap ternyata dibatalkan karena korban berubah sikap," kata Ato.

Sebelumnya pihak KPAID mendapat kabar bahwa salah seorang korban kebiadaban Herry Wiryawan berasal dari Kabupaten Tasikmalaya.

Presiden Jokowi Sudah Mengetahui Kasus Ini, Begini Reaksinya

Kasus rudapaksa 12 santriwati di Kota Bandung oleh Herry Wirawan mendapat perhatian serius dari Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi menugaskan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Bintang Darmawati untuk ke Bandung.

"Pak Jokowi memberikan perhatian serius," kata I Gusti Bintang Darmawati di Kantor Kejati Jabar, Jalan Naripan, Kota Bandung.

Ia menerangkan, Jokowi meminta agar negara hadir dalam kasus santriwati dirudapaksa guru pesantren ini.

"Dan memberikan tindakan tegas, salah satunya dengan mengawal kasus ini," ujar I Gusti Ayu.

Presiden, kata dia, mengintruksikan agar Kementerian PPPA berkoordinasi lintas sektoral dengan berbagai intansi di daerah, salah satunya dengan Kejati Jabar.

"Bapak Presiden memerintahkan kepada kami untuk berkoordinasi lintas sektoral dan Bapak Kejati sudah bertindak cepat, terkait kebutuhan korban kita harus mengawal sampai tuntas, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak-anak," katanya.

Terkait para korban yang masih anak-anak, pihaknya juga menaruh perhatian lebih untuk memastikan para korban mendapatkan pemenuhan hak dan kebutuhan dasar.

"Intinya, Presiden memberikan perhatian yang sangat serius terhadap kasus ini karena ini sudah termasuk kejahatan yang sangat luar biasa," ucapnya.

Ancaman 20 Tahun Penjara dan Ganti Rugi

Publik menginginkan agar Herry Wirawan pelaku rudapaksa 12 santriwati dihukum mati. Sayangnya, dakwaan jaksa untuk guru pesantren itu tidak menyertakan ancaman hukuman mati.

Herry Wirawan didakwa dua pasal dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Yakni

Pasal 81

Ayat 1
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta.

Ayat 2
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ayat 3
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Baca juga: Tak Tanggung-tanggung, Kajati Jabar akan Tampil Jadi JPU dalam Sidang Kasus Guru Bejat Herry Wirawan

Pasal 76 D

Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Di aturan itu, tampak tidak ada ancaman hukuman mati melainkan maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun. Tapi karena Herry Wirawan si pelaku rudapaksa santriwati ini berprofesi sebagai guru, berlaku pasal 81 ayat 3.

Artinya, dari ancaman maksimal 15 tahun, ditambah 1/3 sehingga bisa maksimal 20 tahun.

"Kalau masyarakat mau predator anak dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya hukuman mati saja. Tapi perlu revisi dulu terhadap UU Perlindungan Anak," kata ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, belum lama ini.

Perampasan Aset Herry Wirawan Untuk Ganti Rugi

Herry Wirawan bisa dimiskinkan. Aturan merampas harta pelaku kekerasan dengan korban anak dimungkinkan lewat PP 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

Caranya dikenal dengan restitusi atau pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya

Restitusi di PP itu berupa ganti kerugianb atas kehilangan kekayaan, penderitaan akibat tindak pidana dan penggantian biaya perawatan medis dan atau psikologis.

Restitusi ini diajukan oleh korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar mengakui pihaknya sedang mengurus pengajuan restitusi pada Herry Wirawan.

"Kami fasilitasi penghitungan restitusi yang berkasnya siap disampaikan ke Kejati Jabar dan Pengadilan Negeri Bandung," kata Livia dalam keterangan tertulis, pekan lalu.

Kondisi Herry Wirawan di Rutan Kebonwaru

Kasus rudapaksa santriwati ini sudah bergulir di Pengadilan Negeri Bandung. Sidang dilanjutkan pada 21 Desember 2021.

Menunggu jadwal sidang asusila, Herry Wirawan dititipkan di tahanan Rutan Kebonwaru Bandung.

Kepala Rutan Kebonwaru Bandung, Riko Steven memastikan kondisi dari terdakwa tindak pidana kekerasan seksual, Herry Wirawan dalam kondisi baik.

Herry Wirawan guru pesantren yang merudapaksa santriwati hingga melahirkan 8 bayi itu telah berada di Rutan Kebonwaru Bandung tersebut sejak 28 September 2021 lalu atau sekitar 76 hari.

"Sejak awal masuk ke sini pada tanggal 28 September lalu, yang bersangkutan telah mengikuti serangkaian tes kesehatan, termasuk tes covid-19 yang dilakukan oleh dokter, dan alhamdulillah semua fisik, raga, dan mentalnya sehat semua."

"Dia juga sudah menjalani masa karantina 14 hari sebagai protokol kesehatan," ujarnya saat dihubungi melalui telepon, Senin (13/12/2021).

Setelah masa karantina selesai, lanjutnya, yang bersangkutan dipindahkan ke kamar blok tahanan pada tanggal 12 Oktober 2021.

Riko mengaku, seandainya kasus tersebut tidak viral, pihaknya tidak mengetahui bahwa terdakwa yang dititipkan oleh Kejaksaan Tinggi Kota Bandung tersebut, merupakan pelaku tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan terhadap belasan muridnya.

Sebab, pihaknya memperlakukan dan memberikan hak yang sama kepada setiap warga binaan. 

"Barusan saja sama sempat berbincang dengan HW, menanyakan terkait kondisinya, apakah ada intervensi dari petugas atau warga binaan lainnya, Ia bilang engga ada dan baik-baik saja di dalam sana."

"Saya selaku kepala rutan, memastikan kondisinya dalam keadaan sehat, tidak kurang suatu apapun," ucapnya.

Riko juga menanyakan terkait pemanfaatan hak yang diberikan bagi warga binaan untuk dapat berkomunikasi dengan anggota keluarganya secara daring.

Namun, yang bersangkutan mengaku belum menggunakannya, karena ingin fokus dalam menghadapi proses persidangan.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved