WASPADAI Isu Gempa Megathrust, Tim SAR di Pangandaran Akan Standby 24 Jam Setiap Harinya
Koordinator Pos SAR Pangandaran, Edwin menyampaikan, antisipasi terjadinya bencana gempa megathrust pihaknya akan terus memantau dan tetap waspada.
Laporan Kontributor Tribunjabar.id Pangandaran, Padna
TRIBUNCIREBON.COM PANGANDARAN - Koordinator Pos SAR Pangandaran, Edwin menyampaikan, antisipasi terjadinya bencana gempa megathrust pihaknya akan terus memantau dan tetap waspada.
"Kita akan full melakukan standby selama 24 jam, yang mana kita terus bersiaga mengantisipasi isu megatrhust," ujar Edwin saat ditemui Tribunjabar.id di Mako Basarnas Parigi, Kamis (17/6/2021).
Karena memang, lanjut Ia, gempa khususnya di wilayah Jawa barat terhitung sering terjadi.
Baca juga: Jamila Gendong Bayi Lari ke Hutan saat Gempa Berpotensi Tsunami Menggoyang Maluku Tengah
Baca juga: Potensi Tsunami BMKG Meminta Warga Menjauhi Pantai dan Menuju Tempat Tinggi Pasca Gempa Maluku
"Untuk itu, kita sebagai anggota Basarnas, harus mewaspadai bencana seperti tsunami yang kapan saja bisa terjadi," katanya.
"Nanti di setiap pesisir pantai Pangandaran, kita perlu prioritaskan khususnya di pantai barat. Karena, banyak warga yang beraktivitas di daerah tersebut."
Di Pantai Pangandaran, kata Edwin, telah dipasang GPS Early warning sistem oleh pemerintah yang kegunaannya ketika ada gerakan atau guncangan, alat tersebut akan menyala.
Kemudian, untuk teknik khusus menangani korban dampak bencana, pihaknya akan bekerjasama dengan para medis.
"Untuk bagaimana caranya bisa ditangani secara cepat, dan kita sudah dilatih melalui Diklat di Basarnas."
"Ya, semoga isu kejadian yang menjadi dampak besar terhadap banyaknya korban tidak terjadi," ucapnya.

BMKG Tambah Shelter
Untuk meningkatkan pemantauan aktivitas gempa bumi di selatan Pulau Jawa yang berdekatan dengan zona megathrust, BMKG menambah shelter gempa bumi.
Hari Minggu (13/6/2021), Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, beserta tim Stasiun Geofisika Sleman melakukan survei lokasi pembangunan shelter gempa bumi.
Shelter itu berada di wilayah Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Survei dilakukan untuk mendapatkan lokasi penempatan sensor yang ideal sesuai dengan kriteria dan spesifikasi peralatan.
Di antaranya adalah sensor harus dipasang pada batuan keras (bedrock) yang memiliki noise dan amplifikasi yang kecil.
Dwikorita juga menekankan bahwa lokasi penempatan harus berada di wilayah yang minim tutupan lahan agar sinar matahari dapat mencukupi kebutuhan energi solar panel untuk mengoperasikan sensor tersebut.
"Lokasi penempatan juga harus jauh dari aktivitas manusia dan kendaraan agar sinyal yang diterima sensor bebas dari noise atau gangguan sekitar," ujar Dwikorita di laman BMKG.
Setelah dilakukan survei ke beberapa lokasi, didapatkan lokasi ideal yang terletak di Bukit Trianggulasi, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo.
Lokasi ini juga mendapat dukungan dari kepala desa setempat, Wagiran, yang mengaku senang daerahnya terpilih untuk peletakkan sensor seismograf.
"Kami mengucapkan terima kasih kepada BMKG atas bantuannya yang berwujud sensor seismograf yang akan berdiri di atas Bukit Trianggulasi. Dan kami juga mengucapkan terima kasih atas perjuangannya," ujar Wagiran.
Kepala Stasiun Geofisika Sleman, Ikhsan, mengatakan bahwa penambahan shelter gempa bumi ini bertujuan untuk meningkatkan kerapatan jaringan sensor gempa bumi di Indonesia, khususnya di selatan Pulau Jawa yang notabene berada dekat dengan zona megathrust.
BMKG selalu berkomitmen untuk memperkuat sistem monitoring gempa bumi dan tsunami di Indonesia, dalam upaya pengurangan risiko bencana sehingga zero victims dapat terwujud.

Ini Titik-titik Megathrust di Pangandaran
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pangandaran menyebut wilayah di Pangandaran banyak titik yang sangat rawan terjadi bencana alam tsunami.
"Menurut survei ITB bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika pada bulan Oktober tahun 2020 ada isu gempa megatrhust," ujar Adang Ismail, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Pangandaran, saat ditemui Tribunjabar.id di satu hotel di Pangandaran sewaktu sosialisasi bencana bersama Jamtani, Kamis (3/6/2021).
"Kemudian kami bekerja sama dengan pihak ITB untuk melakukan penelitian, ternyata yang paling banyak itu di Pangandaran," katanya.
Baca juga: Hari Ini Gempa Bumi Guncang 4 Wilayah, Sebaiknya Bangunlah Rumah Tahan Gempa, Ini Panduannya
Pangandaran bagian pantai barat itu, kata Adang, yakni 80 kilometer dari permukaan atau bibir pantai.
Kemudian setelah pantai barat, selanjutnya wilayah Parigi, Bojongsalawe (Bojes), Batu Karas Cijulang, dan Pantai Madasari hingga Kesik Luhur Kertaraharja.
"Semua lokasi tersebut merupakan daerah pantai dan paling rawan terjadi tsunami.
Alasannya, karena berada di daerah lepas, apalagi pantai barat," katanya.
Karena itu, kata Adang, pihaknya beberapa kali melakukan sosialisasi kepada masyarakat, termasuk petani, pemilik hotel, restoran, dan pelaku usaha wisata.
"Seperti dari 350 pemilik hotel itu, semua kami lakukan sosialisasi untuk antisipasi dan selalu siap siaga."
"Karena menurut penelitian, Pangandaran itu paling rawan di pantai selatan dari mulai Pacitan," kata Adang.
Karena itu, kata dia, khusus setiap tanggal 26, pihaknya melakukan sosialisasi sekaligus simulasi untuk kebencanaan terutama di daerah-daerah pantai.
Ini sesuai amanat dari BPBN pusat, dan gayung bersambut Bupati Pangandaran juga sudah mencanangkan hal tersebut.
Seperti yang dilakukan tanggal 26 Mei kemarin, sosialisasi dan simulasi dilakukan di pantai barat dan timur.
"Memang, sepanjang 91 kilometer pantai itu semuanya rawan. Namun yang paling rawan itu pantai barat, Bojong salawe, Batu Karas dan Madasari."
"Kalau seperti pantai Karapyak itu masih terhalang Nusakambangan, dan Pananjung. Jadi, agak terhalang lah," kata Adang. (Tribunjabar.id)