Video
VIDEO - Distributor dan Pedagang Daging Sapi di Kuningan Keluhkan Omzet Turun Drastis Saat Pandemi
hingga selama ini, kata dia, pemerintah belum mengeluarkan aturan atau kebijakan berkaitan dengan izin hajat, seperti perkawinan atau perayaan khitan
Penulis: Ahmad Ripai | Editor: Machmud Mubarok
Laporan Kontributor Kuningan, Ahmad Ripai
TRIBUNCIREBON.COM, KUNINGAN – Hingga usai perayaan Hari raya Idulfitri 144 Hijriyah, dampak pandemi Covid-19 merata dirasakan oleh lapisan pengusaha dari berbagai kalangan.
Tidak terkecuali para pendistribusi dan pedagang daging sapi di Kabupaten Kuningan.
Saat ditemui di rumah potong hewan (RPH) di kelurahan Awirarangan Kecamatan/Kabupaten Kuningan, H Yayan mengatakan bahwa pandemi Covid-19, bukan hanya mengancam kesehatan warga.
“Melainkan, bagi kami sebagai pemasok daging sapi pun mengalami dampak dari wabah virus tersebut,” kata Yayan yang hendak memotong sapi pedaging di pejagalan, Minggu (31/5/2020).
TONTON VIDEO DI SINI
• Zodiak Bulan Juni 2020: Gemini Ada Perubahan Finansial, Scorpio Harus Perhatikan Kesehatan
Dia menceritakan selama tiga bulan terakhir selama pandemi Covid-19, kerugian usaha dalam setiap harinya selalu terjadi.
“Untuk sekarang jangan harap cari untung lebih dalam menggauli dunia usaha apapun. Ada penghasilan buat makan anak istri saja sudah bersyukur,” kata dia.
Wabah virus corona yang sontak membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan, tentu menurunkan omzet atau pendapatan dalam setiap kegiatan usaha dilangsungkan.
“Selama ini, untuk memasarkan satu ekor sapi pedaging sangat susah. Apalagi jenis sapi yang memiliki bobot cukup besar timbangannya,” katanya.
• Napi Asimilasi Ditangkap Gara-gara Perkosa Anak Kekasihnya Hingga 5 Kali, Begini Modus Pelaku
Alasan kebijakan pemerintah, kata Yayan, ini sejak diberlakukannya penerparan pembatasan social berskala besar (PSBB).
“Dimana semua pelaku atau pedagang harus taat terhadap aturan dalam PSBB,” katanya.
Seperti diketahui, kata Yayan, para penjual daging sapi sebenarnya mengandalkan langganan dari tukang bakso.
“Nah, semenjak jumlah para pedagang bakso berkurang, bahkan tidak berdagang seperti biasanya, ini menjadi kendala kami untuk memutar keuangan yang kami manage,” katanya.
Musibah kerugian dalam setiap hari itu pasti terjadi di masa pandemi Covid-19.
• Rayakan Hari Jadi Kota Surabaya, Wali Kota Risma: Ini Mungkin Perayaan Hari Jadi Terakhir Bagi saya
“Idealnya usai lebaran Idulfitri seperti saat ini, kami tidak hanya mengandalkan pembeli tetap atau tukang baso,” katanya.
Sebab pada umumnya, sehari usai Idulfitri itu merupakan musim hajat yang dilakukan setiap warga dibelahan daerah.
“Namun melihat dan merasakan kenyataan masa pandemi covid-19, kami hanya bisa gigit jari,” katanya.
Karena hingga selama ini, kata dia, pemerintah belum mengeluarkan aturan atau kebijakan berkaitan dengan izin hajat, seperti perkawinan atau perayaan khitanan.
“Padahal seingat saya, ini masuk babak baru yang disebut new normal atau adaptasi kebiasaan baru dalam melakukan aktivitas di lingkungan masyarakat?” kata Yayan lagi.
Menurutnya, pemerintah harus meluangkan waktu untuk memberikan pemahaman full, dengan istilah New Normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB).
“sehingga para pelaku usaha seperti kami, tidak kelimpungan dalam meenghadapi kebijakan pemerintah baru, yaitu adaptasi kebiasaan baru atau New Normal,” ungkapnya.
Selama usaha sebagai pendsitribusi daging sapi, kata Yayan, dirinya sangat prihatin dengan penyebaran wabah virus corona yang dianggap merugikan.
“Terutama untuk harga jual kulit sapi hingga saat ini hanya sebesar Rp 3 ribu untuk per kilonya. Kondisi ini otomatis terjadi akibat sejumlah pabrik pembuat barang berbahn kulit mengalami keterancaman koleps,” katanya.
Harga jual sapi Rp 3 ribu, kata dia, ini jauh dari waktu sebelum-sebelumnya.
“Jika sebelum ada wabah virus corona, harga kulit bisa mencapai Rp 12 ribu per kilonya. Jadi, bayangkan dalam satu ekor sapi itu biasa bobot kulit bisa seberat 20 kilo, berapa perbedaan yang terjadi dalam harga tersebut?” katanya. (*)