“Jaya Dewata itu nama muda dari Prabu Siliwangi. Beliau belum pernah ke Cirebon kok."
"Kita banyak kok tokoh-tokoh Cirebon yang inspiratif, seperti Panembahan Losari atau Pangeran Sucimanah"
"Cuma mbok ya saat pemberian nama, diajak diskusi, catat bukan alih fungsinya, tapi penamaannya," katanya.
Tokoh pegiat budaya lainnya, Chaidir Susilaningrat turut menyuarakan keprihatinannya.
Menurutnya, proses penamaan gedung bersejarah seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan budaya.
“Penamaan gedung bersejarah semestinya dimusyawarahkan dengan semua pihak terkait, dalam hal ini stakeholder kebudayaan, mengingat misi dari penamaan gedung itu tentunya berkaitan dengan upaya pelestarian warisan budaya bangsa,” ujar Chaidir.
Ia juga menilai perubahan nama dilakukan secara diam-diam tanpa sosialisasi yang layak.
“Tampaknya tidak ada perubahan apa-apa, cuma nama saja yang berubah."
"Bahkan peresmian nama baru pun saya tidak dengar ada acara khusus,” ucapnya.
Chaidir mengungkapkan, gedung yang didirikan tahun 1808 itu awalnya merupakan markas pasukan kolonial Belanda dan telah mengalami beberapa kali perubahan fungsi dan nama, termasuk pernah dijadikan Creative Center oleh Gubernur sebelumnya, Ridwan Kamil.
Kini, dengan penamaan baru oleh Gubernur Dedi Mulyadi menjadi Bale Jaya Dewata, para budayawan berharap agar ada dialog terbuka dan keterlibatan masyarakat dalam setiap kebijakan yang menyangkut warisan budaya Cirebon.
“Langkah kami adalah mengajak duduk bareng teman-teman hari Minggu nanti."
"Kita akan satukan visi, kalau menerima dasarnya apa, kalau menolak dasarnya apa."
"Tapi yang kami pertanyakan, ini konsep penamaannya dari siapa?” ujar Jajat.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah membuat kebijakan yang menarik perhatian publik dengan mendirikan lima kantor gubernur di berbagai wilayah Jawa Barat.