Polemik Keraton Kasepuhan Cirebon

Putra Mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon Laporkan Raharjo Djali CS Mengenai Pengukuhan Polmak

Penulis: Ahmad Imam Baehaqi
Editor: Mumu Mujahidin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pangeran Raja Luqman Zulkaedin dan istri, Ratih Marlina.
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Ahmad Imam Baehaqi
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON - Raharjo Djali dikukuhkan sebagai Polmak Sultan Keraton Kasepuhan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, pada Kamis (6/8/2020).
Saat itu, ia dikukuhkan oleh sejumlah anggota keluarga Keraton Kasepuhan.
Putra Mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon, PRA Luqman Zulkaedin, menegaskan hal tersebut jelas bertentangan dengan tradisi turun temurun di Kasultanan Kasepuhan.

Filolog Ungkap Silsilah Keraton Kasepuhan Cirebon Melenceng Setelah Masa Sultan Sepuh V

Raharjo Djali Siap Hadapi Pihak yang Menolaknya sebagai Polmak Sultan Kasepuhan Cirebon

"Saudara Raharjo cs juga tidak berhak atas gelar kerajaan karena bukan anak maupun keturunan sultan," ujar Luqman Zukaedin melalui pesan singkatnya, Jumat (7/8/2020).
Bahkan, ulah Raharjo Djali cs yang membuat video pengambilalihan tahkta Keraton Kasepuhan beberapa waktu lalu telah dilaporkan ke pihak kepolisian.
Saat ini, kata Luqman, laporan tersebut masih dalam proses penanganan dan pemeriksaan petugas berwenang.
Menurut dia, dalam tradisi Keraton Kasepuhan jika sultan mangkat maka secara otomatis putra mahkota yang telah ditetapkan menggantikan dan meneruskan tugas serta tanggung jawab sebagai sultan. 
"Kami telah menjalankan adat tradisi sejak ratusah tahun lalu, termasuk dalam hal suksesi kepemimpinan sultan," kata Luqman Zulkaedin.
Ia mengatakan, dalam tradisi Keraton Kasepuhan penerus takhta haruslah anak laki-laki sultan yang telah dinobatkan sebagai putra mahkota.

Download Lagu Kulepas Dengan Ikhlas Lesti Kejora, Trending 1 di Youtube dengan 4 Juta Kali Tayang

Xiaomi Mi 10 Pro Plus Bakal Dirilis 11 Agustus 2020, Berikut Spesifikasi dan Daftar Harga Xiaomi

Luqman sendiri dinobatkan sebagai putra mahkota oleh Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat, pada 30 Desember 2020.
"Saat ini, Keraton Kasepuhan masih kondusif, masih dalam kewenangan dan kendali kami selaku putra mahkota," kata Luqman Zulkaedin.
Melenceng Sejak Sultan Sepuh V
Raharjo Djali dikukuhkan sebagai Polmak Sultan Keraton Kasepuhan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, pada Kamis (6/8/2020).
Raharjo menilai pengangkatan Putra Mahkota Keraton Kasepuhan, PRA Luqman Zulkaedin, yang nantinya naik takhta sebagai Sultan Sepuh XV tidak sah karena melenceng dari adat istiadat keraton.
Selain itu, garis keturunan Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, juga dinilai tidak terhubung hingga ke sultan-sultan sebelumnya.
Pihak Raharjo mengaggap lebih pantas menyandang jabatan tersebut karena keturunan langsung dari Sultan Sepuh XI Tadjoel Arifin Djamaluddin Aluda Mohammad Samsudin Radjaningrat.
Ibunya, Ratu Mas Doly Manawijah, merupakan putri ketiga Sultan Sepuh XI, dari istri keduanya, Nyi Mas Rukiah.
Namun, Filolog Cirebon, Raffan S Hasyim, menanggapi bahwa silsilah Keraton Kasepuhan melenceng setelah masa Sultan Sepuh V, Sultan Matangaji.
Pasalnya, di masa itu pemerintah kolonial Belanda mulai menancapkan kakinya di lingkungan Keraton Kasepuhan dan Sultan Matangaji tidak menyetujuinya.
"Sultan Matangaji lebih banyak di luar keraton, beliau bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya," kata Raffan S Hasyim kepada Tribuncirebon.com, Jumat (7/8/2020).
Ia mengatakan, hingga akhirnya Sultan Matangaji pun diajak berunding untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Namun, Sultan Matangaji justru dijebak dan orang-orang yang mengikuti perundingan itupun diberondong peluru Belanda.
Sultan Matangaji yang selamat pun dieksekusi di belakang Keraton Kasepuhan menggunakan kerisnya sendiri oleh paman dari garis ibunya, Ki Muda, dari Talaga.
Selanjutnya Ki Muda pun naik takhta dan menjabat sebagai Polmak Sultan Keraton Kasepuhan hingga akhir hayatnya.
"Tapi, terjadi pelanggaran, seharusnya jabatan polmak tidak dikembalikan lagi ke pihak keluarga Sultan Matangaji," ujar Raffan S Hasyim.
Menurut dia, Ki Muda malah menunjuk adiknya untuk melanjutkan takhtanya sebagai Sultan Keraton Kasepuhan.
Padahal, seharusnya posisi tersebut diserahkan kepada adik Sultan Matangaji, yakni Pangeran Suryanegara.
Karenanya, Raffan menilai trah atau silsilah keturunan Keraton Kasepuhan melenceng sejak zaman tersebut.
Namun, hal itu harus dimaklumi karena yang berkuasa ialah pemerintah kolonial Belanda sehingga siapapun yang menentangnya akan dihukum.
"Belanda yang berkuasa dan mengaturnya, kalau enggak nurut ditembak," kata Raffan S Hasyim.

Ini Kata Filolog Terkait Pengukuhan Polmak Sultan

Filolog Cirebon, Raffan S Hasyim, menyebut penunjukan polmak atau pejabat sementara (Pjs) pernah terjadi beberapa kali di masa lampau.

Dari sisi sejarah, menurut dia, hal semacam itu pernah terjadi di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan lainnya.

"Dalam sejarahnya memang ada, biasanya polmak ini dikukuhkan di masa transisi," ujar Raffan S Hasyim melalui sambungan teleponnya, Jumat (7/8/2020).

• Pemotor Korban Laka Lantas yang Tewas di Ciwigebang Bekerja Sebagai Pedagang di Jakarta

• Identitas Mayat Penuh Luka Tembak di Purwakarta Akhirnya Terungkap, Siapa Orang yang Menembaknya?

Ia mengatakan, orang yang dikukuhkan sebagai polmak juga belum tentu menjabat sebagai sultan definitif.

Pasalnya, hal tersebut tergantung pada hasil musyawarah keluarga besar keraton.

Selain itu, Raharjo juga merupakan sosok yang berhak atas jabatan tersebut karena masih keturunan keraton.

Sementara mengenai perbedaan persepsi antara Raharjo dan Putra Mahkota Keraton Kasepuhan, PRA Luqman Zulkaedin, Raffan menilai hal tersebut biasa.

"Kalau Raharjo menolak Luqman, dan Luqman menolak Raharjo, itu biasa," kata Raffan S Hasyim.

Raffan juga menyampaikan tak ingin banyak berkomentar karena konflik semacam itu biarlah masyarakat yang menilai.

Namun, ia menegaskan jabatan sultan tidak mempunyai kebijakan politik karena hanya sebagai pemangku adat untuk melestarikan budaya.

Hal tersebut berlangsung sejak era kolonial Belanda, tepatnya pada 1813 masehi.

"Dari masa itu sultan hanya pelestari budaya, dan tidak punya kebijakan politik seperti di Yogyakarta," ujar Raffan S Hasyim.

Berita Terkini