Setelah itu, setiap staf dilarang untuk saling membagikan gambar maupun pesan yang berisi informasi mengenai virus dengan nama resmi SARS-Cov-2 itu.
Ai mengaku tidak bisa mengusahakan apa-apa, selain meminta para stafnya untuk mengenakan pakaian pelindung dan masker meski tidak diinstruksikan.
"Kami menyaksikan lebih banyak lagi pasien datang kemari, di saat radius penyebarannya sudah semakin luas," terang Ai Fen.
Dia mengaku mulai melihat pasien yang tidak punya kaitan dengan Pasar Seafood Huanan, tempat yang diyakini menjadi lokasi asal wabah. Dia pun berkeyakinan bahwa virus itu memasuki level transmisi antar manusia.
Meski begitu, keyakinannya tidak digubris otoritas China.
Pada 21 Januari, atau sehari setelah Beijing mengumumkan adanya transmisi lokal, pasien yang dirawat sudah mencapai 1.523 per hari, tiga kali lipat dari volume normal.
Selama wabah, dia mengalami peristiwa demi peristiwa yang membuatnya pilu. Seperti melihat seorang pria lanjut usia yang tatapannya kosong. Sebabnya, dokter memberikannya sertifikat kematian bahwa putranya yang berusia 32 tahun sudah meninggal karena virus corona.
Atau seorang ayah yang terlalu susah untuk keluar dari mobil di halaman rumah sakit. Saat Ai mendatanginya, ternyata dia sudah tiada.
"Jika saja saya tahu (wabah ini bakal menyebar), saya akan terus menyebarkannya kepada semua orang meski bakal mendapat peringatan," sesalnya.
Dia menolak disebut sebagai whistleblower, atau orang yang menyebarkan sebuah isu. "Saya hanya membantu menyediakan peluit (whistle)," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Dokter Ai Fen di Wuhan yang Dibungkam karena Bagikan Informasi soal Virus Corona", https://www.kompas.com/global/read/2020/03/11/192652570/cerita-dokter-ai-fen-di-wuhan-yang-dibungkam-karena-bagikan-informasi?page=all#page2.
Penulis : Ardi Priyatno Utomo
Editor : Ardi Priyatno Utomo