NATO Ungkap Alasan Tak Ikut Campur Soal Invasi Rusia ke Ukraina: Takut Terjadi Perang Penuh di Eropa

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengecam NATO lantaran menolak pemberlakuan zona larangan terbang di negaranya.

Twitter
serangan udara Rusia telah meluluhlantakkan sejumlah kota, termasuk Kharkiv, kota kedua terbesar di Ukraina. 

TRIBUNCIREBON.COM- Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengecam NATO lantaran menolak pemberlakuan zona larangan terbang di negaranya.

Dia mengatakan aliansi militer Barat padahal tahu soal kemungkinan agresi Rusia bakal terus berlanjut.

Sebelumnya, NATO menolak permintaan Pemerintah Ukraina untuk memberlakukan zona larangan terbang untuk melindungi langitnya dari rudal dan pesawat tempur Rusia.

“Mengetahui bahwa serangan dan korban baru tidak dapat dihindari, NATO dengan sengaja memutuskan untuk tidak menutup langit di atas Ukraina,” kata Zelensky dalam sebuah video yang diterbitkan oleh kantor kepresidenan.

"Kami percaya bahwa negara-negara NATO sendiri telah menciptakan narasi bahwa penutupan langit di atas Ukraina akan memprovokasi agresi langsung Rusia terhadap NATO," tambah Presiden Ukraina, dikutip dari AFP, Sabtu (5/3/2022).

Gedung-gedung di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina hancur setelah Rusia melancarkan serangan rudal dan roket ke kota Kharkiv. 
Gedung-gedung di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina hancur setelah Rusia melancarkan serangan rudal dan roket ke kota Kharkiv.  (Twitter)

Melansir Kompas.com, Sekjen NATO Jens Stoltenberg mengatakan NATO tidak akan campur tangan dalam konflik karena kekhawatiran bentrokan langsung dengan Rusia yang dapat berkembang menjadi konflik yang lebih luas.

"Satu-satunya cara untuk menerapkan zona larangan terbang adalah dengan mengirim pesawat tempur NATO ke wilayah udara Ukraina, dan kemudian memberlakukan zona larangan terbang itu dengan menembak jatuh pesawat Rusia," kata Stoltenberg setelah pertemuan darurat tersebut.

"Jika kita melakukan itu, kita akan berakhir dengan sesuatu yang bisa berakhir dengan perang penuh di Eropa, yang melibatkan lebih banyak negara dan menyebabkan lebih banyak penderitaan manusia," ungkap dia.

Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, operasi militernya di Ukraina bisa disetop asalkan Kyiv berhenti melawan dan memenuhi tuntutan Moskwa.

 
Hal tersebut disampaikan Putin ketika berbicara via telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Layanan pers Kremlin, dilansir media Rusia TASS, Minggu (6/3/2022), melaporkan pembicaraan kedua pemimpin tersebut.

“Vladimir Putin menginformasikan tentang kemajuan operasi militer khusus untuk melindungi Donbass, menyampaikan pendekatan dan penilaian utama dalam konteks ini, menjelaskan secara rinci tujuan dan tugas yang ditetapkan,” kata Kremlin.

“Ditekankan bahwa operasi khusus berjalan sesuai dengan rencana dan sesuai jadwal,” sambung Kremlin, sebagaimana dilansir TASS.

Selama percakapan, pemimpin Rusia itu mengonfirmasi kesiapan pihak Rusia untuk berdialog dengan pihak berwenang Ukraina dan mitra asing untuk menyelesaikan konflik.

Kremlin mengatakan, setiap upaya proses negosiasi yang gagal dimanfaatkan tentara Ukraina untuk mengumpulkan kembali kekuatan dan sarananya.

“Sehubungan dengan itu, ditegaskan bahwa penghentian operasi khusus hanya dimungkinkan jika Kyiv menghentikan aksi militer dan memenuhi tuntutan Rusia yang telah dibuat dengan sangat jelas,” lapor Kremlin. (Intisari)

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved