INI Mitos-mitos di Rumah Rumah Adat Panjalin Majalengka, Kalau Dilakukan Bisa Bikin Hidup Tak Tenang
Salah satu mitos yang berkembang tersebut, yakni pantangan menggunakan kayu bekas bangunan Rumah Adat Panjalin.
Penulis: Eki Yulianto | Editor: Machmud Mubarok
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNCIREBON.COM, MAJALENGKA - Rumah Adat Panjalin merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kabupaten Majalengka.
Bangunan yang konon dibangun pada abad ke-14 itu, menjadi saksi bisu proses penyebaran agama Islam di kota angin.
Meski sudah berabad-abad, bangunan tersebut masih berdiri kokoh di Blok Rabu atau Dukuh Tengah RT.01/05, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka.
Bahkan, acap kali masyarakat sekitar menemukan hal-hal aneh berbau mitos.
Juru Pelihara Rumah Adat Panjalin, I Ang Saeful Ikhsan (48) mengatakan, penemuan-penemuan yang dirasakan masyarakat zaman dahulu itu, melekat hingga kini.
Salah satu mitos yang berkembang tersebut, yakni pantangan menggunakan kayu bekas bangunan Rumah Adat Panjalin.
"Jadi di bawah rumah adat ini, ada kayu jati asli yang disimpan hingga sekarang, karena sudah sangat lapuk dan digantikan dengan kayu lainnya. Tapi, banyak masyarakat yang malah mengambil kayu asli itu digunakan untuk yang aneh-aneh," ujar Saeful saat dikonfirmasi, Sabtu (10/4/2021).
Baca juga: Ayah dan Anak Kompak Curi Sepeda di Klangenan Cirebon, Dikayuh Hingga Rumah di Majalengka
Baca juga: Ayu Ting Ting Beri Lesti Pelajaran Memilih Cowok, Bilang yang Penting Tajir Ketimbang Ganteng Doang
Baca juga: Jangan Main-main, Rumah Sakit yang Berani Beri Obat Kedaluarsa pada Pasien Bisa Dicabut Izinnya
Ia menjelaskan, saat tahun 1970-an, ada masyarakat yang mengambil kayu tersebut untuk pembakaran bata.
Namun, bukannya menjadi bata, justru bata tersebut tidak pernah berwarna merah.
"Kalau bata yang tidak menggunakan kayu dari rumah adat mah jadi bata warna merah, tapi justru yang dari kobaran kayu rumah adat, tidak jadi," ucapnya.
Ada lagi, sambung Saeful, masyarakat lainnya mengambil kayu jati dari Rumah Adat Panjalin dijadikan pondasi rumah.
Namun, selama menempati rumah yang telah dibangun tersebut, tidak pernah merasa tenang.
"Akhirnya, masyarakat tersebut datang ke sini (Rumah Adat Panjalin) dan meminta maaf. Tidak tahunya kemudian hari malah hidupnya nyaman dan tenang," jelas dia.
Mitos-mitos tersebut, menurut Saeful, berkembang hingga kini.
Oleh karena itu, masyarakat sekitar hingga kini sangat menjaga betul peninggalan-peninggalan bekas bangunan Rumah Adat Panjalin.
Mereka percaya, bahwa mitos-mitos tersebut memang benar adanya.
Saat ini, Rumah Adat Panjalin masih digunakan untuk upacara adat masyarakat setempat.
Seperti ulang tahun Desa Panjalin, Mapag Sri hingga Guar Bumi.
Namun, pada masa pandemi Covid-19 yang sudah terjadi kurang lebih satu tahun ini, kegiatan tersebut tidak seluruhnya dilakukan.
Bahkan, pada awal tahun 1990-an, tradisi suguhan sudah tidak pernah terlihat lagi di bangunan bersejarah tersebut.
Sejarah Rumah Adat Panjalin
Bangunan yang konon dibangun pada abad ke-14 itu, menjadi saksi bisu proses penyebaran agama Islam di kota angin.
Jumat (2/4/2021), Tribun mengunjungi Rumah Adat Panjalin yang berlokasi di Blok Rabu atau Dukuh Tengah RT.01/05, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka.
Di sana, pantauan Tribun, bangunan tersebut masih sangat kokoh berdiri.
Terlihat, struktur bangunan secara keseluruhan menggunakan kayu jati.
Secara fisik, bangunan yang menjadi saksi bisu penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah itu mirip rumah panggung.
Rumah ini memiliki 16 tiang penyangga, dua pintu, dan tiga jendela udara kayu.
Bagian dalam rumah adat Panjalin ini terbagi menjadi dua ruang yakni ruang tamu dan ruang utama.
Baca juga: Meskipun Nanti Lolos ke Perempatfinal, Persib Bandung Ternyata Tak Bisa Main di Jalak Harupat Lho
Baca juga: Aa Umbara Disikat KPK, Akun Instagram Hengky Kurniawan Diserbu Netizen, Justru Banyak Dapat Dukungan
Baca juga: VIDEO VIRAL Tabrak Pemotor, Pengendara Toyota Fortuner Malah Todongkan Pistol dan Memaki Warga
Di atas pintu masuk, terdapat ukiran-ukiran hias yang mengkombinasikan gaya ukiran Mataram, Cirebon dan Padjajaran.
“Kalau melihat hasil penelitian ini dibangun pada zaman wali yaitu Syekh Syarif Hidayatullah. Rumah Panjalin ini menjadi saksi bisu dari penyebaran Islam di wilayah ini,” ujar Juru Pelihara Rumah Adat Panjalin, I Ang Saeful Ikhsan (48) saat ditemui di lokasi, Jumat (2/4/2021).
Saeful menceritakan, sejarah pembangunan rumah adat ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh penyebar agama islam di Panjalin.
Menurut I Ang, saat itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Syekh Syahroni atau disebut warga Panjalin sebagai Pangeran Atas Angin untuk menyebarkan Islam ke barat Pulau Jawa.
Salah satunya, yakni mengajak penguasa di Rajagaluh untuk memeluk Islam.
Syekh Syahroni kemudian bertemu dengan utusan Mataram yakni Nyi Larasati.

"Keduanya pun menikah dan memilih tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan pohon rotan," ucapnya.
Masih kata Saeful, Syekh Syahroni pun dikaruniai putri yakni Seruni.
Di wilayah itulah Syekh Syahroni mensyiarkan Islam.
Setelah dewasa, Seruni bertemu dengan Raden Sanata seorang santri dari Pager Gunung yang juga masih keturunan darah biru dari kerajaan Talaga.
Raden Sanata pun kemudian berusaha meminang Seruni, kendati demikian Syekh Syahroni memberikan syarat agar Raden Sanata mampu membabat hutan rotan yang sangat luas.
Raden Sanata pun akhirnya dapat membabat hutan rotan itu dan mendirikan sebuah rumah panggung untuk memenuhi syarat Syekh Syahroni.
Rumah itulah yang menjadi rumah adat Panjalin.
Setelah menikahi Seruni, Raden Sanata pun banyak belajar pada Sykeh Syahroni.
Di tempat itu pula, Raden Sanata mensyiarkan Islam terlebih setelah banyak orang yang membuka pemukiman di wilayah tersebut.
"Panjalin itu sebutan orang Cirebon zaman dulu, yang sekarangnya disebut rotan. Dulu di sebelah utara juga ada pesantren Lontang Jaya, KH Amin Sepuh Ciwaringin dan KH Abdul Halim juga santri dari sana dan di Selatan ada juga Ki Dul Mu'in juga menyebarkan Islam,” jelas dia.
Selain saksi bisu penyebaran agama Islam di Panjalin, Saeful juga menyampaikan, Rumah Adat Panjalin juga tempat berlindungnya pasukan Ki Bagus Rangin.
Saat itu sekitar tahun 1812-1816, Ki Bagus Rangin berperang dengan penguasa kolonial, yakni dikenal dengan Perang Kedondong.
Menghindari adanya tumpah darah, Ki Bagus Rangin dan pasukan bersembunyi di Rumah Adat Panjalin.
"Penguasa kolonial saat itu datang ke wilayah Panjalin. Tapi tidak menemukan para pasukan Ki Bagus Rangin. Akhirnya mereka tertidur dan sedikit dikerjai oleh pasukan Ki Bagus Rangin dengan cara diberi berbagai macam warna pada wajahnya."
Karena mereka saling menyalahkan dengan adanya coretan-coretan di wajah, mereka menganggap ada kehidupan di Panjalin. Oleh karena itu, mereka berjanji tidak akan mengganggu orang Panjalin lagi," katanya.
Perang Kedongdong merupakan bentuk perlawanan rakyat Cirebon terhadap penguasa kolonial yang terjadi pada paruh pertama abad 19, yang secara umum, karena tindakan eksploitasi dan kesewenangan penguasa kolonial. (*)