PO Luragung Jaya

VIDEO - Pantang Disalip Bus Lain, Bus Luragung Jaya Jadi Raja Pantura, Kini Unit Usaha Makin Banyak

Beliau merupakan saudagar yang biasa menjual hasil bumi musim panen. Seperti Gaplek, buah-buahan dan dikenal banyak orang itu pedagang arang

Penulis: Ahmad Ripai | Editor: Machmud Mubarok
Laporan Kontributor Kuningan, Ahmad Ripai
TRIBUNCIREBON.COM, KUNINGAN – Bus Luragung bisa dikenal sebagai ‘Raja Pantura’  karena sudah menjadi prinsip karyawan angkatan terdahulu saat mengemudikan bus jurusan Kuningan - Jakarta. 
“Itu mah prinsip. Jadi prinsip saat bawa bus itu pantang didahului oleh bus lainnya, meskipun itu Bus Luragung sendiri,” kata Yayat Supriadi (58), warga Desa Luragung Tonggoh, Kecamatan Luragung sekaligus mantan karyawan PO Luragung Jaya, saat ditemui di rumah kepala desa setempat, Minggu (27/9/2020).
Mengawali perbincangan, Yayat diketahui berhenti kerja di PO Luragung Jaya itu sekitar tahun 2000. 
“Dulu saya masuk dan gabung menjadi karyawan Luragung itu tahun 1987, dan angkatan kedua dari karyawan sebelumnya,” kata Yayat lagi.
Latar belakang kerja di sana, kata dia, berkat orang tua yang diketahui sebagai Kapolsek Luragung, Letda Miska yang menjabat selama dua periode. 
“Awalnya, bapak saya itu kenal dengan Pak Koesma, (pemilik PO Luragung, red) terus dibuka penawaran, barang kali ada saudara atau anak yang belum kerja, bisa gabung di PO Luragung,” ujar Yayat seraya menambahkan sewaktu itu usia pernikahan baru memiliki dua anak.
Seiring berjalan waktu, kata Yayat, awal masuk menjadi karyawan PO Luragung Jaya itu sempat jadi sopir. 
“Namun itu tidak lama, hanya beberapa hari dan waktu itu, saya takut bawa kendaraan besar,” kata Yayat lagi.
Masih menjadi karyawan, Yayat pada waktu itu memilih kerja sebagai kondektur atau pemain tengah. 
“Memilih menjadi pemain tengah tentu dengan tangggung jawab besar. Ya, manis pahit dalam perjalan itu resiko wajib ditanggung,” ujar Yayat sekaligus mengaku bahwa waktu itu ongkos Kuningan- Jakarta sebesar Rp 7500.
"Ya, kalau enggak salah waktu itu juga harga semen satu sak sekitar Rp 4500,” ujarnya.
Menyinggung awal PO Luragung Jaya, kata Yayat, waktu itu Koesmapradja sekitar tahun 1980 terkenal sebagai pengusaha sukses di daerah Luragung.
“Beliau merupakan saudagar yang biasa menjual hasil bumi musim panen. Seperti Gaplek, buah-buahan dan dikenal banyak orang itu pedagang arang,” kata Yayat.
Sewaktu usahanya moncer, kata dia, jasa angkutan yang bersangkutan menggunakan itu dari mertua Yayat.
“Iya kebetulan mertua saya itu punya truk satu-satunya di daerah Luragung. Nah, untuk jasa angkutan dari daerah kedaerah lain itu menggunakan mobil truk mertua,” ujar Yayat yang menambahkan untuk menghidupkan mesin mobil itu masih dengan engkol. 
 Awalnya Bukan Branding Bus Luragung Tapi Bus Serayu
Singkat cerita dalam perjalan usaha Pak Koesmapradja, lanjut Yayat, sekitar tahun 1982 dirinya membeli Bus Serayu dengan jumlah lebih dari satu.
“Kalau enggak salah waktu itu, Pak Koesma beli empat unit. Dari sana usaha jasa angkutan umum lancar dan sukses,” katanya.
Sehingga, kata dia, empat mobil awal yang dimiliki itu termasuk dengan adminstrasi dan lain sebagainya.
“Iya, dulu beli mobil dan tidak lama semua trayeknya juga ikut diborong,” katanya.
Jaman itu, kata dia, empat unit bus bertolak ke Ibukota mengambil waktu pagi.
“Pokoknya jumlah penumpang itu melebih kuota atau jumlah tersedia. Ya, bayangkan saja, ada penumpang dari Kuningan ke Jakarta itu banyak yang berdiri,” katanya.
Jadi,kata dia, jaman itu sangat tidak bisa untuk mengambil penumpang yang berceceran di sepanjang pinggir jalan.
“Ya dari poolnya saja penuh, gimana mau ambil penumpang di jalan,” katanya.
Dalam perjalanan usaha yang kian moncer, kata dia, masuk awal tahun 1990 itu manajemen merubah dan mempermanenkan Bus Luragung Jaya. Hingga kini memiliki banyak nama.
“Tahun 1900-an, Bus Luragung makin dikenal dan banyak penumpang. Sehingga tidak awak bus memberi nama bus sebagai kenyamanan kerja,” katanya.
 Nama – nama Bus Luragung Trending Tahun 1990
Mengenai nama – nama bus luragung yang sekarang menjadikan mudah penumpang untuk menghapal. 
“Itu ada nama bus dengan sebutan, Saluyu, Sadewa, Meteor ,Galaxy, Paradis, Patas dan banyak sebutannya lagi. Tidak hanya itu, aksesoris bus antara satu dengan lainnya itu berbeda, seperti dari suara klakson saja. Jaman dulu semua menggunak klakson bunyi kapal dengan suara keras saat menghampiri terminal atau lapak biasa mengangkut penumpat,” katanya.
Dalam setiap perjalanan, kata dia, setoran kepada pengurus atau majikan dalam setiap kali jalan.
“Dulu tidak pernah di patok harus setor segini. Tapi dengan sistem pembagian atau presentase, dari total pendapat 25 persen itu milik sopir, kernet dan kondektur termasuk bahan bakar dalam setiap perjalanan,” ungkapnya.
Mengulas soal nama yang dicantum pada unit bus, kata Yayat, perlakuan itu atas ikhtiar dalam melakukan usaha yang menjadi profesi untuk memenuhui kebutuhan anak istri.
“Iya kang, memang untuk hal itu banyak anggapan dan penilaian orang. Namun semua pencantuman nama ada hitungannya,” kata Yayat yang memiliki unit bus tetap alias batangan dengan karoseri Magelang.
TONTON VIDEO SEJARAH PO LURAGUNG JAYA DI SINI
 
Sumber: Tribun Cirebon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved