Viral king of The King

Dedengkot King of The King Ternyata Tinggal di Cicadas Bandung, Tinggal Bersama 'Permaisuri' Rusmini

Dedengkot King of The King Ternyata Tinggal di Cicadas Bandung, Tinggal Bersama 'Permaisuri' Rusmini

Editor: Fauzie Pradita Abbas
ISTIMEWA
King of The King Mr Dony Pedro 

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menilai, ada 2 hal yang harus dilihat di balik maraknya fenomena ini, yaitu motif dan tren meningkatnya ketidakpercayaan publik.

Raja Keraton Agung Sejagat Toto Santoso dan Sang Ratu, Fanni Aminadia.
Raja Keraton Agung Sejagat Toto Santoso dan Sang Ratu, Fanni Aminadia. (HANDOVER)

Menurut dia, kemunculan Keraton Agung Sejagat memiliki motif yang berbeda dibandingkan dengan tiga kerajaan fiktif lainnya.

Kerajaan Agung Sejagat memiliki motif ekonomi sama seperti investasi bodong Memiles guna menggalang dana ilegal dari masyarakat.

“Ini yang berbahaya. Apalagi bila ini pidana, (ada unsur) kebohongan, ini tentu berbahaya. Ini sama saja dengan kasus Memiles yang memang kriminal,” kata Devie kepada Kompas.com, Jumat (24/1/2020).

Sedangkan, 3 kerajaan fiktif lainnya diduga muncul akibat menguatnya tren ketidakpercayaan publik terhadap sejumlah pihak, mulai dari pemerintah, media hingga atasan mereka di kantor.

Masyarakat cenderung percaya dengan hal-hal yang berbau konspiratif, spekulatif dan mistis untuk menjawab segala rasa penasaran mereka secara singkat.

Tren seperti ini, sebut dia, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia.

Termasuk negara barat yang memiliki pola pikir serta kemampuan finansial yang lebih baik dibandingkan masyarakat Indonesia.

“Penelitian Cambridge di 9 negara selama 6 tahun menunjukkan ternyata masyarakat barat sendiri, masyarakatnya juga semakin percaya dengan hal-hal yang sifatnya konspiratif, tidak rasional.

Artinya, kita tidak bisa bilang bahwa masyarakat kita adalah bangsa atau masyarakat yang terbelakang,” kata dia.

“Ini tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, suku, agama dan ras.

Tapi ini lebih terkait pada kondisi, satu, sosial politik masyarakat, dua, kemanusiaan masyarakat itu sendiri,” imbuh Devie.

Sebagai contoh, ketika kontestasi politik berlangsung pada 2017 lalu, munculnya dua kutub kekuatan menguatkan polarisasi di masyarakat.

Hal itu tidak terlepas dari derasnya arus informasi yang juga mengalir ke media sosial, sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi kian bingung dalam memilah informasi.

Persoalan timbul ketika tidak sedikit masyarakat Indonesia yang cenderung malas untuk bertanya dan mencari tahu kebenaran atas sebuah informasi.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved