ILC TVOne
Ketua Sunda Empire Jadi Bahan Lelucon di ILC, Sudjiwo Tedjo: Saya Lihat Unsur Kritik Pada Demokrasi
Mulanya Sudjiwo Tedjo menyampaikan komentar satire soal tema yang diangkat ILC, yakni soal kerajaan-kerajaan fiktif di Indonesia.
TRIBUNCIREBON.COM - Petinggi Sunda Empire, Raden Rangga Sasana menjadi bahan tertawaan di Indonesia Lawyers Club (ILC), pada Selasa (22/1/2020).
Melihat peristiwa tersebut, budayawan Sudjiwo Tedjo dibuat geram.
Berbeda dengan narasumber ILC yang lain, Sudjiwo Tedjo tak tertawa sama sekali saat Raden Rangga Sasana memberikan pengakuan dapat menghentikan nuklir hingga mengklaim PBB di bentuk di Bandung.
TONTON JUGA
Sudjiwo Tedjo kemudian membeberkan alasannya memilih bertindak demikian.
Mulanya Sudjiwo Tedjo menyampaikan komentar satire soal tema yang diangkat ILC, yakni soal kerajaan-kerajaan fiktif di Indonesia.
"Saya enggak mau menyebut ini pengalihan isu," kata Sudjiwo Tedjo dikutip TribunJakarta.com, dari YouTube TV One, pada Rabu (22/1/2020).
"Cuma setiap saya baca online tentang keraton sejagat ini, misalkan sudah pada tahap diambil ini, pasti saya kasih tepuk tangan, wah tapi dimana dong berita soal Jiwasraya,"
"Ada lagi portal lain beritanya mendalam, tapi mana berita soal pengeledahan yang gagal?"
"Terus tepuk tangan, mana berita soal kasus Asabri?" imbuhnya.
• Pelajar yang Bunuh Begal Urung Dituntut Hukuman Seumur Hidup, Pengacara Bocorkan Putusan Jaksa
TONTON JUGA
Sudjiwo Tedjo menegaskan sejak munculnya berita tentang Keraton Agung Sejagat dirinya memutuskan untuk tak menertawakan hal tersebut.
"Sejak penemuan keraton oleh polisi, saya mendisplinkan diri untuk tidak tertawa," kata Sudjiwo Tedjo.
"Bahkan saat muncul berita di Online," imbuhnya.
Sudjiwo Tedjo berpendapat bisa saja orang yang menganut kerajaan, justru tengah menertawakan sistem demokrasi di Indonesia.
Ia menyayangkan langkah para intelektual yang malah menertawakan Keraton Agung Sejagat atau pun Sunda Empire.
• Dipaksa Ngaku Lempar Batu oleh Oknum Penyidik, Lutfi Alfiandi: Kuping Saya Dijepit, Disetrum
"Karena jangan-jangan kalau saya jadi orang kerajaan saya juga ketawa lihat demokrasi," jelas Sudjiwo Tedjo.
"Saya sangat sayangkan beberapa intelektual di sini ketawa lihat sistem kerajaan,"
"Padahal kalau saya dalam kerajaan saya ketawa lihat sistem demokrasi," imbuhnya.
Sudjiwo Tedjo lantas membeberkan alasan mengapa sistem demokrasi dapat menjadi bahan tertawaan.
• Gara-gara Bentuk Alisnya, Siswi SMA di Sumsel Dihina hingga Ditendang Guru: Saya Dikatain Anak Jin
Ia mengatakan dalam demokrasi, pemimpin dipilih berdasarkan suara terbanyak di pemilihan umum (pemilu).
Sedangkan kapasitas intelektual peserta pemilu tak seragam.
"Gimana saya enggak ketawa? wong kebenaran diukur dari suara terbanyak, sangat tidak masuk akal," ucap Sudjiwo Tedjo.
"Kebenaran itu ditentukan oleh para ahli,"
• Petinggi Sunda Empire Sebut Bandung Sebagai Wilayah Atlantik, Dedi Mulyadi Beri Jawaban Telak
"Kita ketawa terhadap dupa dan kemenyan, tapi kita enggak ketawa terhadap sistem pemilihan umum,"
"Bukan saya merendahkan petani bukan syaa merendahkan tukang becak, gimana suara mereka disamakan dengan profesor,"
"Enggak masuk akal," tegasnya.
Sudjiwo Tedjo juga mengkritik pendapat yang menyebut dalam sistem demokrasi tak ada kelas sosial seperti di kerajaan.
• Karena Bentuk Alisnya, Siswi SMA di Sumsel Dihina dan Ditendang Guru: Saya Dikatain Anak Jin
"Orang miskin enggak bisa duduk di kelas bisnis, itu pengekelasan, apa bedanya dengan kerajaan?" kata Sudjiwo Tedjo.
Ia lantas menegaskan alasannya tak tertawa meski dimatanya pernyaataan Raden Rangga Sasana tak masuk akal.
Menurutnya Raden Rangga Sasana tengah mengkritik sistem demokrasi di Indonesia.
"Kenapa saya enggak ketawa? walaupun Pak Rangga ngomong enggak masuk akal," ujar Sudjiwo Tedjo.
"Saya melihat unsur kritik terhadap demokrasi," imbunya.
SIMAK VIDEONYA:
• Pelajar yang Bunuh Begal saat Lindungi Pacar Ternyata Sudah Nikah, Begini Nasib Anak dan Istrinya
Petinggi Sunda Empire Sebut Bandung Sebagai Wilayah Atlantik, Dedi Mulyadi Beri Jawaban Telak
Petinggi Sunda Empire, Raden Rangga atau Raden Rangga Sasana membeberkan alasan mengapa Bandung dipilih kelompoknya sebagai lokasi kekaisaran.
Hal tersebut disampaikan Raden Rangga Sasana saat menjadi narasumber di acara Inews TV, pada Senin (20/1/2020).
"Bandung itu adalah titik nol, itu wilayah Atlantik," kata Raden Rangga Sasana dengan berapi-api dikutip TribunJakarta.com dari YouTube Inews TV, pada Selasa (21/1/2020).
TONTON JUGA
"Perlu dipahami bangsa Indonesia semuanya yang belum tahu, ini ya asal-usul bumi, adalah percikan matahari, yang pada kala itu akhirnya membeku, dan yang paling tinggi adalah Bandung," jelasnya.
Raden Rangga Sasana menyebut saat itu daratan Bandung lebih tinggi dibanding wilayah lain yang ada di dunia.
Menurut Raden Rangga Sasana hal tersebut yang membuat beberapa organisasi dunia, seperti PBB hingga NATO lahir di Bandung.
• Naik Pesawat Kelas Ekonomi hingga Buat Vasco Ruseimy Heran, Sandiaga Uno: Gua Senang Hidup Hemat
TONTON JUGA
"Maka Bandung berada dalam posisi paling tinggi diantara daerah-daerah lain di dunia," ucap Raden Rangga Sasana.
"Itulah kenapa disepakati oleh leluhur kita,"
"Makanya apabila sesuatu tidak datang dari Bandung tidak dilantik,"
"Makanya PBB lahirnya di Bandung, SLW di Bandung, NATO di Bandung, Petagon di bandung, Bank Dunia pun di Bandung dengan modal dari bumi Nusantara," tegasnya.
• Nama Anies Baswedan Disebut Penjual Emas di Madinah, Nikita Mirzani Ngakak: Lagi Ngurusin Banjir
Mendengar penjelasan Raden Rangga Sasana, sejarawan Sunda Dedi Mulyadi hanya tertawa.
Dedi Mulyadi kemudian membebaskan Raden Rangga Sasana untuk berpendapat.
Walau begitu menurutnya apa yang dibeberkan oleh Raden Rangga Sasana dapat dicek kebenarannya melalui sejarah yang sudah tercatat dengan baik.
• Ningsih Tinampi Ngaku Bisa Datangkan Nabi & Malaikat, Ustaz Cholil Nafis Tegas: Enggak Mungkin
"Iya yang pertama disilahkan aja, orang-orang boleh berpendapat apapun," ucapnya sambil terkekeh.
"Tetapi dari aspek rasion, sejarah, kan kita bisa memahami dunia dimana pusatnya, dimana dataran yang paling tinggi,"
"Dimana lahirnya PBB, dimana lahirnya NATO,"
"Kan semuanya sudah tercatat dengan baik dalam sejarah," imbuhnya.
• Gara-gara Uang Rp 30 Ribu, Dua Preman di BSD Serpong Hajar Juru Parkir Pakai Batu hingga Kritis
Publik Indonesia diramaikan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan baru seperti Keraton Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire-Earth Empire (SE-EE).
Hal tersebut memancing reaksi masyarakat lantaran berbagai aspek yang dianggap tidak masuk akal dari klaim-klaim kerajaan-kerajaan itu.
Dikutip TribunJakarta.com dari Kompas.com Dedi Mulyadi menilai, munculnya orang-orang yang mengaku punya kerajaan dan bangga dengan seragam ala militer merupakan penyakit sosial yang sudah lama terjadi di Indonesia.
Dedi menyebut, fenomena itu merupakan problem sosial yang sudah akut dan berlangsung sejak lama.
Hal itu disampaikan Dedi ketika diminta komentar terkait Sunda Empire yang saat ini heboh di masyarakat, terutama di Jawa Barat.
• Penjual Emas di Madinah Nyeletuk Sebut Nama Anies, Nikita Mirzani Ngakak: Dia Lagi Ngurusin Banjir
Menurut Dedi, ada problem sosial yang berlangsung cukup lama, yaitu masyarakat indonesia terbiasa masuk ke wilayah berpikir yang tidak realisitis atau terlalu obsesif.
"Ada obsesi mendapat pangkat tanpa proses kepangkatan atau instan. Ada obsesi ingin cepat kaya," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Sabtu (17/1/2020).
Dedi mengatakan, di Indonesia itu dalam kehidupan sosial, banyak kelompok masyarakat yang setiap hari mencari harta karun, emas batangan, uang brazil dan sejenisnya.
Perilaku itu berlangsung lama dan tak pernah berhenti sampai saat ini.
• Soroti Ucapan Ningsih Tinampi di Video Permintaan Maaf, MUI Takutkan Ini: Nanti Mengkultuskan Diri
"Banyak orang yang kaya raya jatuh miskin karena obsesi itu. Sampai miskin pun masih berharap obsesi itu tercapai," kata wakil ketua Komisi IV DPR RI ini.
Namun, kata Dedi, di sisi lain, kelompok adat yang memiliki sistematika cara berpikir realistis dan berbasis aspek alam mengalami peminggiran, baik dalam stasus sosial di masyarakat, maupun dalam status lingkungan.
"Misalnya areal adat komunitas adat kian sempit, tak dapat pengakuan. Kemudian membuat stigma bahwa mereka (kaum adat) adalah kelompok-kelompok yang dianggap bertentangan dengan asas kepatutan pranata sosial kemapanan hari ini," katanya.
Untuk mengantisipasi kelompok-kelompok obsesif itu, Dedi mengatakan negara harus memberikan penguatan terhadap kaum adat yang memiliki historis yang jelas dan jauh lebih realitis.
"Mereka ada yang petani, nelayan, penjaga hutan dan laut. Mereka lebih mapan dan tak pernah ada unsur penipuan. Negara harus melakukan tindakan agar kasus itu tidak berefek negatif terhadap kaum adat," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Ketua Sunda Empire Jadi Bahan Lelucon di ILC, Sudjiwo Tedjo Kesal: Saya Lihat Kritik Pada Demokrasi