Iuran BPJS Kesehatan Naik

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bukan Omong Kosong, Naik 2 Kali Lipat, Mau Tak Mau Peserta Wajib Bayar

Iuran JKN BPJS Kesehatan terakhir kali mengalami kenaikan sejak tahun 2016 lalu.

Editor: Fauzie Pradita Abbas
Kolase
Ilustrasi BPJS Kesehatan 

TRIBUNCIRBEON.COM - Upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan terus dilakukan.

//

Pasalnya, setiap tahun, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit dengan nilai yang terus meningkat.

Bahkan, hingga akhir tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi bakal defisit hingga Rp 32,8 triliun.

Yang terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bakal menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat.

Banyak pihak pun keberatan dengan langkah pemerintah tersebut.

Pasalnya, besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan dinilai terlalu tinggi.

Meski sejak awal tahun, pemerintah pun telah menggaungkan hal ini lantaran besaran iuran BPJS Kesehatan yang sudah terlalu murah (underpriced).

JADWAL Acara TV Hari Ini Jumat 30 Agustus 2019, RCTI, SCTV, Tvone, Trans TV, dan GTV, Seru-seru Loh

Cari Pekerjaan? Di Sini Saja Cek Lowongan Pekerjaan untuk Lulusan D3 dan S1 Semua Jurusan

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo pun mengatakan, Peraturan Presiden terkait kenaikan upah ini telah diajukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan akan segera ditandatangani.

Adapun iuran JKN BPJS Kesehatan terakhir kali mengalami kenaikan sejak tahun 2016 lalu.

Sementara, dalam pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan, bahwa kenaikan iuran adalah kewajiban yang perlu dilakukan dalam dua tahun sekali.

Namun, untuk kenaikan iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas II dan kelas III, pertimbangan utamanya harus berdasarkan pada kemampuan untuk membayar dan daya beli masyarakat.

Sementara itu, kenaikan iuran kelas I harus didasarkan pada survei kemauan masyarakat untuk membayar.

Sudah Pasti Keberatan

Iuran BPJS Kesehatan Naik, Berapa Rinciannya? Ternyata Ini Penyebabnya & Komentar Menkes
Iuran BPJS Kesehatan Naik, Berapa Rinciannya? Ternyata Ini Penyebabnya & Komentar Menkes (Tribunnews.com)

Kenaikan besaran iuran BPJS Kesehatan dinilai justru membuat masyarakat enggan untuk menggunakan layanan yang diberikan oleh negara tersebut.

Sebab, nilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan cukup fantastis.

Untuk peserta kelas I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang.

Artinya, peserta harus membayar Rp160.000 per bulan dari saat ini yang hanya dikenakan Rp 80.000 per bulan.

Kemudian, peserta kelas mandiri II diusulkan naik Rp 59.000 per bulan menjadi Rp 110.000 dari posisi sekarang sebesar Rp 51.000 per bulan.

Manfaat Konsumsi Telur Puyuh, Bisa Tingkatkan Metabolisme Hingga Cegah Peradangan, Tapi Ada Efeknya

Datangi Kepala Sekolah, 2 Siswi SMA Pindahan Ini Terlihat Mabuk dan Langsung Dibawa Satpol PP

Ini Wajah Si Pembunuh Bayaran Sadis yang Disewa Aulia Kesuma untuk Musnahkan Nyawa Suami & Anak Tiri

Sementara, peserta kelas mandiri III naik dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta setiap bulannya.

Ristiana Budi, salah satu peserta BPJS Kesehatan mandiri kelas I mengaku sangat keberatan dengan langkah pemerintah ini.

Sebab, dalam sebulan, dirinya harus menanggung iuran untuk empat orang anggota keluarganya. Setidaknya, dia harus merogoh kocek hingga Rp 640.000 untuk membayarkan iuran JKN BPJS Kesehatan

"Kalau bayarnya segitu mending enggak ikutan BPJS. Mending ikutan asuransi yang lain aja," ujar dia ketika berbincang dengan Kompas.com, Kamis (29/8/2019).

Dia menilai langkah pemerintah tersebut bukan menjadi solusi untuk menambal masalah defisit BPJS Kesehatan.

Menurut dia, tak hanya dirinya saja yang merasa keberatan dengan kenaikan besaran iuran yang hingga 100 persen tersebut.

"Kayaknya itu bukan solusi, karena banyak teman-teman yang bakalan stop nggak mau bayar semisal dinaikin deh," ujar dia.

Nada serupa juga diungkapkan oleh peserta BPJS Kesehatan kelas I lainnya, Giri Cahyo.

Menurut dia, dengan naiknya besaran iuran BPJS Kesehatan tidak bakal memperbaiki masalah inti dari lembaga tersebut.

"Merasa terbebani, asuransi swasta akan lebih menarik nantinya," ujar dia.

Tanggapan Anggota DPR

Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hadir dalam rapat dalam penentuan nasib BPJS Kesehatan beberapa hari yang lalu tak sepakat iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat seperti yang diusulkan Sri Mulyani.

Menurut mereka, dengan dinaikkannya nilai iuran, peserta justru bakal kian malas membayar, jumlah peserta yang menunggak pembayaran iuran bakal semakin meningkat.

"Setiap kenaikan apapun yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya 100 persen," ujar Ichsan Anggota Komisi XI Ichsan Firdaus.

Sebab, masyarakat bisa saja justru lebih memilih menggunakan perusahaan asuransi swasta ketimbang menjadi peserta di BPJS Kesehatan karena perbedaan tarifnya semakin kecil.

Bila itu terjadi, maka lembaga itu akan kehilangan pangsa pasarnya.

"Perlu dilihat apakah masyarakat mampu atau tidak. BPJS Kesehatan kan bersaing dengan perusahaan asuransi swasta," tegas dia.

Adapun Anggota Komisi IX Mafirion mengatakan, tidak ada artinya iuran BPJS Kesehatan jika tidak ada perbaikan tata kelola lembaga.

"Saya kira usul kenaikan iuran akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tata kelola kita sebagai badan pelayanan publik. Tata kelola perlu diperbaiki karena itulah sumber masalah yang utama," ujar dia.

Belum Tentu Turunkan Defisit

Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran yang diinisiasi oleh menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tersebut tak bisa begitu saja menurunkan defisit BPJS Kesehatan yang sudah terjadi secara menahun.

Sebab, bakal ada risiko penurunan jumlah penerimaan iuran di kelas II dan I akibat besaran kenaikan yang terlampau tinggi. Sehingga, jumlah penerimaan iuran PBPU berpotensi turun.

"Lalu kenaikan yg signifikan di kelas II dan I ini akan mendorong peserta kelas I dan II turun ke kelas III. Nah kalau ini terjadi maka potensi penerimaan dari kelas I dan II akan menurun. Penerimaan PBPU justru akan menurun. Ini harus dipertimbangkan pemerintah," ujar Timboel ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019). 

Berkaca dari pengalaman 2016 lalu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 menetapkan besaran kenaikan iuran menjadi Rp 30.000.

Berbagai protes pun muncul sebagai bentuk reaksi atas kenaikan tersebut.

Maka sebulan kemudian muncul Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 di mana besaran iuran kelas III untuk peserta mandiri menjadi Rp 25.500.

Timboel menilai, seharusnya kenaikan iuran untuk peserta mandiri tidak serta merta dilakukan. Pemerintah perlu untuk melakukan pengkajian terlebih dahulu kepada publik.

"Nah kenaikan yang tinggi berpotensi menciptakan protes masyarakat. Khawatir kejadian 2016 terulang hendaknya kenaikan iuran untuk mandiri harus dikaji dan diuji publik dulu. Jangan langsung-langsung aja," ujar dia.

Selain itu, juga perlu dilakukan perbaikan dan kontrol yang lebih terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang melakukan tindak kecurangan.

Selain itu, perlu juga dilakukan penertiban badan usaha yang melakukan kerja sama dengan badan pemerintah tersebut.

Dari temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha. Selain itu, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.

"Kenaikan iuran tdk otomatis menyelesaikan defisit karena defisit dikontribusi juga oleh kegagalan mengendalikan biaya dan menghentikan fraud di RS. Jadi menaikan iuran harus didukung pengendalian biaya khsusunya fraud-fraud," ujar Timboel.

Tinggal Tunggu Perpres

Menteri Keuangan Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tribunnews.com)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan untuk menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) BPJS Kesehatan.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, aturan mengenai kenaikan besaran iuran bakal dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).

"Ini sudah kita naikkan, segera akan keluar Perpresnya. Hitungannya seperti yang disampaikan Ibu Menteri pada saat di DPR itu," ujar Mardiasmo di Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000.

Kemudian untuk peserta JKN kelas II harus membayar iuran Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.

Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500 dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta.

Artinya, besaran kenaikan iuran tersebut mencapai 100 persen.

Adapun untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), besaran iurannya naik jadi Rp 42.000 dari yang sebelumnya Rp 23.000.

Mardiasmo mengatakan, kenaikan besaran iuran tersebut bakal bisa menutup defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 32,8 triliun.

Namun, lembaga tersebut secara bersamaan juga harus melakukan perbaikan terhadap sistem yang telah direkomendasikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Walaupun dengan penerapan good governance, BPJS Kesehatan baru akan mendapatkan kucuran dana sebesar Rp 5 triliun.

"Jadi dihitung bagaimana penyesuaian iuran PBI (Penerima Bantuan Iuran) baik pusat maupun daerah, PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah), swasta dan sebagainya, agar defisit bisa ditutup," ujar Mardiasmo.

"Tapi dengan governance yang bagus, rumah sakitnya, kolaborasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan harus juga optimal dalam melakukan penarikan iuran, Kemenkes juga cek ke rumah sakit, jadi semuanya lah keroyok, termasuk peran Pemda," ujar dia.

Sebelumnya juga telah disebutkan, besaran iuran BPJS Kesehatan saat ini sudah terlalu murah.

Berdasarkan catatan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), kenaikan iuran peserta JKN terakhir terjadi pada tahun 2016.

Sementara, pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebut besaran iuran peserta JKN memang harus ditinjau setiap dua tahun.

Adapun kenaikan tarif untuk peserta JKN masyarakat umum bakal mulai berlaku pada Januari 2020.

Sebab, pemerintah menilai masih diperlukan sosialisasi kepada masyarakat umum mengenai hal ini.

Adapun aturan memgenai Penerima Bantuan Upah (PBU) pemerintah, yaitu TNI, POLRI, dan ASN yang diubah menjadi 5 persen dari take home pay (gaji dan tunjangan kinerja) maksimal sebesar Rp 12 juta, berlaku mulai Agustus 2019.

Sebelumnya, angka maksimum take home pay sebesar Rp 8 juta.

Saat ini, pemerintah hanya menanggung 3 persen dari penghasilan tetap, namun nantinya akan dinaikkan menjadi 4 persen dari take home pay tersebut.

Sehingga dengan demikian, pemerintah setidaknya bakal mengucurkan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan hingga Rp 13,5 triliun, yang jika ditambahkan dengan Rp 5 triliun akibat perbaikan sistem, BPJS Kesehatan mendapat suntikan hingga Rp 18,5 triliun untuk menutup defisit tahun ini.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved