Sosok

SOSOK Prof Dr Ir Enri Damanhuri, Ahli Sampah Indonesia Guru Besar ITB, Wafat Setelah Masuk ICU

Penulis: Machmud Mubarok
Editor: Machmud Mubarok
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Dr Ir Enri Damanhuri, Guru Besar Teknik Sipil dan Lingkungan ITB meninggal pada Kamis (30/3/2023) pagi.

TRIBUNCIREBON.COM - Indonesia kehilangan seorang ahli, pakar, guru besar yang fokus menangani masalah persampahan.

Prof Dr Ir Enri Damanhuri, Guru Besar Teknik Sipil dan Lingkungan ITB meninggal pada Kamis (30/3/2023) pagi.

Sebelumnya Prof Dr Ir Enri sempat masuk ke ICU RS Borromeus sejak Selasa (28/3/2023) malam. Namun Kamis pagi, beliau berpulang.

Jenazah beliau dimakamkan di TPU Cikutra pada Kamis siang setelah disalatkan di Masjid Salman ITB dan disemayamkan di Aula Timur ITB.

Sosok Prof Dr Ir Enri sangat ramah dan dikenal sebagai orang yang begitu peduli dengan persoalan sampah.

Baca juga: Sosok Almarhum KH Abdul Chalim Asal Majalengka, Kini Sedang Diperjuangkan Jadi Pahlawan Nasional

Baca juga: SOSOK Prof dr MT Zen, Guru Besar Geofisika ITB, Fasih 5 Bahasa Asing, Meninggal Dunia Hari Ini

Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri yang merupakan Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB. 

Dilansir dari situs itb.ac.id, beliau merupakan pelopor berdirinya  Laboratorium Persampahan (sekarang Laboratorium Buangan Padat dan B3) di pojok Sasana Budaya Ganesha ITB (Sabuga ITB).

Laboratorium tersebut merupakan laboratorium  dan Pusat  Pengelolaan Sampah (PPS) pertama dan satu-satunya di Indonesia dalam skala perguruan tinggi negeri.  Berkat adanya PPS tersebut, ITB dapat mengelola sampahnya sendiri dan tidak bergantung pada Dinas Kebersihan.

Pengelolaan sampah di Indonesia menurut Enri masih berada di tingkat dasar.  Masyarakat cenderung cukup puas melihat hasil buangannya selesai di angkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Padahal, sampah yang ada di TPA masih perlu diolah kembali.  Penerapan teknologi pada pengolahan sampah juga masih menjadi pekerjaan rumah. 

Berkaca pada pengelolaan sampah di ITB, teknologi yang digunakan sudah lebih baik. PPS ITB memiliki teknologi insinerator (tempat pembakaran sampah).

Namun, insinerator PPS ITB belum bisa dikatakan ramah lingkungan karena belum memiliki komponen pengendalian udara hasil pembakaran. Komponen pengendalian udara biasanya memiliki harga yang lebih mahal daripada insineratornya sendiri.

Menurut Enri, ada beberapa negara seperti Singapura dan Jepang yang telah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Singapura telah memiliki empat  insinerator lengkap dengan pengendalian pencemaran udara dan efisiensi yang tinggi.

Menurutnya, Indonesia bisa saja mengikuti jejak kedua negara tersebut asal dana yang dikeluarkan sanggup untuk membangun insinerator.

Sebagai perbandingan,pengelolaan sampah di Kota Bandung memerlukan biaya Rp 30.000,00- Rp 35.000,00 per ton sampah.

Di Jakarta pengelolaan sampah menghabiskan biaya Rp 110.000,00 per ton tanpa ongkos transportasi.

Biaya pengelolaan sampah di Singapura dengan insinerator sebesar Rp 600.000,00 per ton sampah. Sedangkan, Kota Bandung saja menghasilkan sekitar 1.750 ton sampah per hari. Maka untuk mengelola sampah di Kota Bandung sehari saja sudah memakan biaya yang sangat besar.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini, menurutnya bukanlah hal yang baru.

Sampah bisa menjadi sumber energi dari hasil proses pembakaran. Konsep ini dikenal dengan waste to energy.

"Teknologi pengolahan sampah itu sebenarnya banyak sekali, dari mulai paling murah sampai paling mahal. Yang sulit adalah mengubah perilaku manusianya," tukasnya. Perilaku yang dimaksud adalah perilaku seenaknya dalam mengelola sampah atau bahkan membuang sampah sembarangan.

Saat ini, selain mengajar Enri juga membuat berbagai standar untuk TPA dan proses pengelolaan sampah. Beberapa di antaranya bahkan digunakan secara internasional.

"Cita-cita saya, di Bandung ada instalasi pengelolaan sampah yang benar-benar bagus," harapnya.

Enri beristrikan Tri Padmi, dosen ITB yang juga sama-sama menekuni masalah sampah. Mereka bertemu di kampus saat keduanya menjadi mahasiswa Teknik Penyehatan, ITB (kini berubah nama menjadi Teknik Lingkungan).

Awalnya dua orang ahli sampah milik Indonesia ini hanya teman kuliah. Buku catatan kuliah mengakrabkan mereka. Lalu mereka menikah dan menjadikan sampah sebagai bagian hidup keduanya.

PROF Dr Ir Enri Damanhuri dan Dr Ir Tri Padmi adalah pasangan suami-istri yang menggeluti sampah sejak akhir 1970-an. Sejumlah penelitian tentang desain tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, limbah, dan biogas telah mereka lakukan.

Kini Enri dikenal sebagai ahli desain TPA dan menjadi Koordinator Kelompok Keahlian Pengelola Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya, serta dosen di Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan Tri menjabat Kepala Laboratorium Buangan Padat dan Bahan Beracun Berbahaya dan dosen di institut yang sama.

Enri dan Tri bertemu di ITB pada tahun 1969 saat keduanya menjadi mahasiswa Teknik Penyehatan, ITB (kini berubah nama menjadi Teknik Lingkungan).

Selama kuliah, Enri yang mengaku malas mencatat sering mendekati Tri untuk meminjam buku catatan kuliah. Lama-lama hubungan berperantara buku catatan itu berubah menjadi hubungan percintaan.

Tri lulus tahun 1974. Enri baru lulus setahun kemudian. Mereka langsung bekerja sebagai asisten dosen di almamaternya.

Pada tahun 1977 keduanya memutuskan menikah. Pasangan ini dikaruniai dua anak, Arvinda Tri Pradopo (lahir tahun 1978) dan Ayudia Tri Wardhani (1988).

Awalnya, Enri dan Tri memilih bidang persampahan agar tidak terlalu banyak pesaing dalam karier walaupun saat itu sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu diperhatikan.

Bidang-bidang lain di Departemen Teknik Lingkungan, seperti bidang kajian air dan udara, memang sudah banyak ditekuni senior mereka. Sementara bidang persampahan di ITB hanya digeluti dosen mereka, Ir Moch Masduki Hardjosuprapto.

"Kami juga kasihan melihat Pak Masduki bekerja sendiri, lagi pula perlu ada regenerasi," papar Tri.

Tahun 1981 keduanya berangkat ke Perancis untuk mendalami sampah untuk jenjang S-2 di Ecole Nationale des Travaux Publics de Letat (ENTPE), Lyon, Perancis.

Lalu Enri dan Tri melanjutkan pendidikan S-3 mengenai limbah dan pencemaran di Universitas Paris 7, Lyon, Perancis. Enri memfokuskan diri ke kajian landfill termasuk biogas dan air sampah, sedangkan Tri mendalami penguraian sampah.

Keduanya memilih Perancis karena pengolahan sampah di negara tersebut sudah maju, dan yang paling penting, ENTPE memberikan kesempatan kuliah bagi dua orang. 

Enri dan Tri kembali ke Bandung tahun 1988. Sebelumnya, sambil kuliah mereka bekerja sama dengan Kementerian Riset Perancis untuk meneliti geolingkungan Leuwigajah sekitar tahun 1986.

 

Berita Terkini