لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).
Sementara itu, di sisi lain ada pula hadis yang menyebut Rasulullah SAW merutinkan puasa selama Syaban.
Bahkan beliau melakukan puasa Syaban hampir sebulan penuh.
Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Syaban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Bukhari 1970 dan Muslim 1156)
Demikian, dengan adanya dua hadis yang kontradiktif tersebut, larangan puasa setelah masuk pertengahan bulan Syaban tersebut tidak berlaku mutlak.
Masih dikutip dari konsultasisyariah.com, menurut Ustaz Ammi Nur Baits, larangan tersebut berlaku ketika seseorang melakukan puasa sunah tanpa sebab, sementara dia tidak memiliki rutinitas puasa sunah tertentu atau tidak dimulai dari awal syaban.
Jika diperhatikan dalam hadis kedua dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengecualian,
“kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.”
Nah, dengan demikian, puasa qadha dibolehkan sekalipun telah masuk pertengahan Syaban.
Dengan demikian, batas akhir puasa qadha sampai datang Ramadhan berikutnya.
Hal inilah pula sebagaimana yang dilakukan Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Beliau pernah menuturkan,