TRIBUNCIREBON.COM - Kisah wafatnya Sunan Gunung Jati selalu menarik untuk diceritakan, terlebih bagi kalangan muda.
Apalagi sosok Sunan Gunung Jati yang selain sebagai salah satu dari Wali Songo, penyebar agama Islam, juga sebagai leluhur para Sultan keraton di Cirebon.
Disebutkan, Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil pada Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam (dari Mesir) dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Nyai Rara Santang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Baca juga: KISAH Keris Sang Hyang Naga, Pusaka Sunan Gunung Jati Terbang ke Banten, Hilang di Keraton Kasepuhan
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis).
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Sunan Gunung Jati dikenal juga dengan sebutan Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Lantas bagaimana kisah meninggalnya?
Menurut pupuh LVI.13 - LVIII.06, naskah Mertasinga, bahwa suatu hari Sunang Gunung Jati pergi bertafakur sambil membawa keris Sang Hyang Naga ke Gunung Jati. Ketika itu beliau sudah merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat.
Kemudian, Sunan Gunung Jati juga sempat menulis surat di Gunung Jati dengan menggunakan daun sebagai kertasnya, surat itu ditujukan kepada anaknya di Banten yang isinya meminta Sunan Sebakingkin, agar menyuruh cucunya yang bernama Kapil (nama panggilan untuk Maulana Muhammad) untuk pergi menunaikan ibadah haji, sebab dialah yang kelak akan menjadi raja.
Surat itu dibawa terbang oleh keris Sang Hyang Naga menuju Banten. Keris itu terbang dengan cepat, cahayanya terang bagaikan andaru (bintang jatuh) di tengah malam.
Sesampainya di Banten keris itu turun di istana Banten. Semua yang ada di Dalem Puri terkejut melihatnya, mereka mengira bahwa ada bintang jatuh.
Keris tersebut jatuh di hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan penuh ketakjuban Sunan Banten melihat keris yang jatuh di hadapannya itu, dia mengetahui bahwa itu adalah Keris Sang Hyang Naga milik ayahandanya. Segera surat itu dibacanya, yang isinya minta agar cucunya disuruh naik haji.
Dikabarkan, saat itu juga Sunan Banten langsung membalas surat tersebut dan menyatakan akan melaksanakan perintah Sunan Gunung Jati. Surat balasan itu juga kembali dibawa terbang oleh keris Sang Hyang Naga.
Setelah mendapat surat balasan dari anaknya, Sunan Gunung Jati yang masih berada di Gunung Jati berkata "Inilah ciri dari (jangan ada) kesombongan dan hati yang takabur. Seberapa lamanya kita dalam hidup ini akan berkuasa, pasti tidak akan selamanya. Lama kekuasaan keturunanku di Banten kelak tak akan lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di tanah sambil melipat tangan diatas dadanya. Dia berbaring di tanah beralaskan daun Rudamala, dan berbantalkan batu. Kepalanya berada di arah timur sedangkan kakinya di arah barat, seperti layaknya tengah melakukan shalat. Ketika tiba waktunya makan sahur, Sunan Gunung Jati meninggal dunia. Saat itu Sunan Gunung Jati genap berusia 120 tahun,
Sunan Kalijaga segera memberitahukan berita duka cita itu kepada seluruh sanak keluarga. Tak lama, para santri dan para sanak saudara semua menangis dengan sedihnya, mereka bingung ketika mengetahui bahwa jenazah Sinuhun telah tiada. Dikabarkan, jenazah Sunan Gunung Jati dibawa para malaikat ke langit.
Ketika Sunan Kalijaga, Syekh Datuk Khofi, dan Pangeran Machdum tiba di Gunung Jati, mereka hanya melihat wangkingan (ikat pinggang) dan jubah Sunan Gunung Jati saja.
Lalu, Sunan Kalijaga segera menyingsingkan lengan bajunya untuk menggali liang lahat. Kepada Syekh Datuk Khofi dan Pangeran Machdum, Sunan Kalijaga berkata, "Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku sendiri saja yang menguburkan pakaian itu".
Pakaian Sunan Gunung Jati itu dikuburkan dengan bentuk kuburan yang tak terlihat karena diratakan lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah bahwa tak akan ada daun yang jatuh keatas kuburan ini.
Sementara, saat Tubagus Pase datang ke Gunung Jati bersama para sentana mantri, mereka menemukan Keris Sang Hyang Naga dan tasbih milik Sunan Gunung Jati.
Keris pusaka itu menggelantung di udara, merah membara bagaikan bintang jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian segera dikuburkan. Tempat itu kemudian direka-reka menjadi berbentuk makam.
Sementara Nyi Mas Putri Jangkung, kemudian tinggal disana menunggui kuburan suaminya dengan penuh kasih sayang. Adapun Keris Sang Hyang Naga kemudian terbang melesat ke langit bagaikan bintang dan jatuh masuk ke Dalem Agung (yang kini berada di kompleks Keraton Kasepuhan), dan Keris Sang Hyang Naga itu menghilang disana.
Untuk diketahui, mengenai waktu wafatnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, ada beberapa pendapat. Dalam History of Java ditulis bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia yang sangat lanjut". Namun tahun tersebut jugamasih diduga tidak tepat, karena pada waktu perang dengan Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana Sunan Gunung Jati masih berperan.
Dalam Negarakertabhumi, dan demikian juga dalam Purwaka Caruban Nagari bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada tanggal 11 Kresna-paksa, bulan Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M), Sumber lainnya menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal 12 bagian terang, bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M. (*)