Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Handhika Rahman
TRIBUNCIREBON.COM, INDRAMAYU - Tugu api abadi masih berdiri kokoh di halaman Balai Desa Majakerta, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu.
Tugu itu berbentuk menyerupai sebuah perahu nelayan sebagai wujud mata pencaharian masyarakat setempat.
Pada tiang perahu di tugu itu terdapat sebuah cerobong di atasnya, dari situlah api abadi itu muncul.
Baca juga: SIAP-SIAP Bandung Raya dan Bodebek Terapkan PSBB Proporsional atau PPKM 11-25 Januari 2021
Baca juga: Daftar Harga HP Vivo Terbaru Januari 2021: Vivo V20, Vivo S1 Pro, Vivo Y51 hingga Vivo X50
Baca juga: Luangkan Waktumu untuk Baca Surat Al Kahfi di Hari Jumat, Keutamaannya Dahsyat, Pahalanya Besar
Warga setempat, Rendra (52) mengatakan, munculnya api abadi ini bermula pada sekitar tahun 1820 lalu saat perusahaan Bataafschuntik Petroleum Mhatchappij (BPM) milik Belanda melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Desa Majakerta.
"Ada salah satu pekerjanya asal daerah yang dilibatkan saat itu, yaitu Bapak Lebe Timan dari Desa Embat Cirebon sebagai mandornya," ujar dia kepada Tribuncirebon.com, Kamis (7/1/2021).
Saat itu, dikisahkan Rendra, Timan meminta izin kepada Kepala Desa Majakerta pertama kala itu untuk melakukan pengeboran. Mereka meyakini di bawah tanah halaman balai desa itu terdapat sumber minyak bumi yang melimpah.
Setelah beberapa hari melakukan pengeboran, hasilnya mengejutkan. Dari hasil eksploitasi itu yang keluar bukan minyak bumi, melainkan gas bumi yang melimpah hingga menimbulkan ledakan yang sangat besar.
Ledakan itu membuat panik masyarakat saat itu, perusahaan BPM pun langsung memutuskan menutup kembali sumur bor hingga akhirnya bisa diatasi.
"Dan saat itu hanya sedikit sisa gas yang keluar, yang akhirnya dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh warga Desa Majakerta," ujar dia.
Pada tahun 1962, Presiden pertama RI, Ir Soekarno pernah memerintahkan untuk membuat tim khusus dalam misi mencari keberadaan sumber api alami tersebut.
Mereka berangkat dari Jakarta mencari mulai dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.
Seusai lelah mencari dan tidak menemukan api yang dimaksud Ir Soekarno, mereka pun memutuskan kembali ke Jakarta, perjalanan pulang itu mereka lalui lewat Jalur Pantai Utara (Pantura).
Hingga akhirnya, tim khusus tersebut mendatangi Desa Majakerta dan menemukan sekelompok warga yang tengah memasak di depan balai desa.
Di sana mereka menggali informasi soal kegiatan yang dilakukan warga .Berdasarkan percakapan dengan warga, tim khusus itu pun menyimpulkan sumber api yang digunakan masyarakat memasak adalah api yang dimaksud Ir Soekarno.
Tim khusus itu langsung pulang ke Jakarta untuk melaporkan temuannya.
Setelah kejadian itu, api alami Desa Majakerta selalu digunakan dalam rangkaian kegiatan nasional.
Seperti pada kegiatan Asian Games Ke-4 Asia dan pertama kali di Indonesia pada tahun 1962.
Lalu pada tahun 1972 dalam acara angkatan udara di Kali Jati Subang dan Tahun 2016 dalam rangka PON Ke-19 Jawa Barat.
Momen di saat api alami itu masih dimanfaatkan warga memasak pun masih sangat diingat Rendra, kala itu usianya masih kanak-kanak.
"Tapi sekarang cagar budaya api alam ini terancam," ujar dia.
Penyebabnya, karena Desa Majakerta akan menjadi lahan pembangunan proyek Petrochemical Complex Jabar.
Proyek itu merupakan hasil kerja sama Pertamina dan CPC Taiwan, dengan nilai investasi sekitar Rp 100 triliun.
Rendra menyampaikan, dirinya mewakili masyarakat ingin mengedepankan musyawarah membahas soal kearifan lokal desa setempat yang terancam tersebut.
"Dan oleh karena itu kami ingin mengedepankan musyawarah terlebih dahulu agar tidak ada pihak yang dirugikan," ujar dia.
Untuk pembangunan Proyek Petrochemical Complex Jabar ini diketahui memerlukan sekitar 331,92 hektare tanah yang berada di dua kecamatan yakni Kecamatan Balongan dan Kecamatan Juntinyuat.
Jumlah tersebut akan dibagi menjadi beberapa bagian, yakni Kecamatan Balongan melibatkan 5 desa yakni Sukaurip (35,44 ha), Tegal Sembadra (45,21 ha), Sukareja (86,47 ha), Balongan (31,08 ha), dan Majakerta (108,20 ha). Sedangkan Kecamatan Juntinyuat yakni Desa Limbangan (25,5 hektare).
Adapun progres pembangunan Petrochemical Complex ini kini sudah memasuki tahapan kedua berupa konsultasi publik.