Longsor di Gunung Kuda Cirebon

Sakira, Batu Biru di Gunung Kuda Cirebon dan Duka Anak-Istri yang Menanti Nafkah

Jumat pagi itu, Sakira masih sempat memotret batu biru yang ia temukan saat bekerja di lereng Gunung Kuda, Cirebon

ISTIMEWA
KORBAN LONGSOR - Sakira (44) salah satu korban longsor di Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon 

Laporan Kontributor Adim Mubaroq


TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Jumat pagi itu, Sakira masih sempat memotret batu biru yang ia temukan saat bekerja di lereng Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon.


 Foto sederhana yang ia unggah ke media sosial menjadi pesan terakhir sebelum longsor datang merenggut nyawanya.


Sabtu (31/5/2025) malam, suasana haru menyelimuti Rumah Sakit Arjawinangun. Jumeni, atau Eni, duduk termenung di ruang tunggu, ditemani anaknya yang setia mendampingi.

 Matanya sembab, suaranya bergetar saat menyebut nama adiknya, Sakira, yang menjadi salah satu korban longsor tragis itu.

Baca juga: Identitas 3 Korban Meninggal Akibat Longsor Gunung Kuda, Jenazah di RS Arjawinangun


Eni masih tak percaya adiknya telah tiada. Ia menuturkan, bahkan ketika kabar longsor itu tiba, ia dan keluarga masih berharap dan berdoa Sakira pulang dalam keadaan selamat.


“Ya, nangis. Enggak ada lagi. Saya cuma bisa berdoa, semoga adik selamat. Tapi Allah berkehendak lain,” kata Eni saat ditemui di lokasi, Sabtu (31/5/2025) malam. 


Sakira, pria 44 tahun yang sehari-hari bekerja memuat batu dan mencari nafkah demi keluarga, memang dikenal sebagai sosok pekerja keras. 


Tinggal di Blok Karang Baru, Kelurahan Cikeusal, Kecamatan Gempol, Sakira adalah tulang punggung satu-satunya bagi keluarganya. 

Baca juga: 3 Jenazah Korban Longsor Gunung Kuda Berhasil Ditemukan, Proses Identifikasi di RSUD Arjawinangun


Istrinya, Tati, kerap sakit-sakitan. Anaknya, yang kini duduk di bangku kelas 6 SD, masih belum sepenuhnya memahami bahwa ayahnya telah pergi untuk selamanya.


Eni bercerita, sebelum kejadian, adiknya sempat mengeluh sakit. Badannya lemas dan panas dingin. Namun, demi memenuhi kebutuhan anak dan istrinya, Sakira tetap berangkat bekerja.


“Istrinya sempat bilang, ‘jangan berangkat, Pak’. Tapi Sakira jawab, ‘buat jajan anak sama beli bensin.’ Akhirnya, dia tetap pergi,” tutur Eni.


Hari itu, Sakira sempat memamerkan temuan batu biru yang cantik kepada teman-temannya. Ia terlihat ceria, meski tubuhnya sedang tak bugar. Tak disangka, itulah momen terakhir kebersamaan mereka.


"Berangkat, lah. Malah di hutan, tuh, posting 'Ini, bagus, nih, batu biru, nih'," kata Eni menirukan postingan Sakira


Kini, Eni hanya bisa pasrah. Ia sadar, takdir memang tak bisa dilawan. Namun, hatinya tetap menjerit ketika memikirkan masa depan keluarga adiknya. 


"Bagaimana anak itu bisa melanjutkan sekolah? Siapa yang akan menafkahi mereka?" kata Eni. 


“Pengennya ada yang ngurus anaknya. Supaya bisa tetap sekolah. Jangan sampai masa depannya terhalang karena ayahnya sudah nggak ada,” ujarnya lirih.


Eni memandangi langit senja yang temaram, seakan berharap doanya sampai pada Sang Pencipta.

Harapan yang terkubur di tanah longsor Gunung Kuda itu kini berganti menjadi doa dan tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan hidup.


“Adik saya sudah enggak ada. Semoga ada yang peduli, supaya anaknya bisa terus sekolah, istrinya ada yang ngobatin karena sakit ambeien,” tutur Eni.

 

Sumber: Tribun Cirebon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved