PLN Ungkap Tiga Aspek Penting yang Harus Dilalui Untuk Lakukan Pensiun Dini PLTU

PLN mengungkapkan ada tiga hal penting yang perlu dilalui sebelum melakukan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara

Istimewa Dok Cirebon Power
ILUSTRASI Foto udara progres pembangunan pembangkit Cirebon Power Unit II di Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon 

TRIBUNCIREBON.COM- Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN, Warsono mengungkapkan ada tiga hal penting yang perlu dilalui sebelum melakukan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara.

Indonesia sedang menggencarkan transisi energi, salah satunya dengan melakukan pensiun dini PLTU batu bara

Pensiun dini PLTU batu bara juga dibilai bisa menjadi solusi agar tercapainya Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal.

Untuk mencapai transisi energi itu, Indonesia harus segera menetapkan peta jalan pensiun dini PLTU batubara sebagai acuan untuk menemukan dan mengembangkan solusi, mengantisipasi risiko serta mendorong kolaborasi antar lembaga pemerintahan dan institusi finansial. 

Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN, Warsono, mengatakan bahwa ada tiga aspek penting yang harus dilalui untuk melakukan pensiun dini PLTU batu bara.

“Terkait dengan pensiun dini PLTU batu bara, setidaknya ada 3 aspek kritikal yang harus kita lalui terlebih dahulu. Pertama adalah aspek regulasi, yang kedua adalah aspek teknis dan yang ketiga adalah aspek ekonomi dan keuangan atau fiskal,” ungkap Warsono dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2024 di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Selasa (5/11/2024).

Warsono menjelaskan, untuk aspek pertama yaitu aspek regulasi ini menjadi fondasi dari aspek-aspek yang lain.

“Karena tanpa regulasi (legal) akan sulit untuk bergerak ke aspek berikutnya,” jelasnya.

Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres)112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan, lanjut Warsono, ada beberapa hal penting yang harus dipenuhi terkait regulasi yaitu peta jalan hingga penetapan PLTU batu bara yang akan dipensiunkan secara dini atau lebih awal.

Aspek kedua yaitu teknis, jelas Warsono, pihak PLN memiliki kriteria yakni reliability system atau sistem netral.

“Artinya apabila hal tersebut sudah kami implementasikan, maka sistem tersebut sebelum dikeluarkan atau dipublikasikan reliability-nya tetap terjaga. Nantinya ketika ada pembangkit, kita harus menggunakan pembangkit yang setara untuk menggantikannya,”

“Selanjutnya jika ada cara yang berhubungan dengan transmisi, artinya kita harus melakukan pembangunan transmisi juga,” jelasnya.

Aspek ketiga yakni finansial, Warsono menjelaskan, aspek ini ada dua hal penting yaitu terkait capex dan compex. Menurutnya, PLN sudah melakukan asesmen terkait pembangkit PLN maupun pembangkit listrik independent atau Independent Power Producer (IPP).

“Beberapa pembangkit sudah kita lakukan asesmen di antaranya PTLU Palabuhanratu, Pacitan dan lainnya. Kita sudah lakukan asesmen secara teknis ekonomisnya. Hanya ternyata dari aspek regulasi, pembangkit PLN ini lebih rumit karena ada beberapa regulasi karena berhubungan dengan aset negara yang harus settle dulu sebelum dikeluarkan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan supaya selaras dengan target pembatasan suhu bumi 1,5 derajat celcius dalam persetujuan Paris, maka sektor energi perlu mencapai nol emisi pada tahun 2050. 

Dengan pertimbangan kapasitas, umur aset, serta kebutuhan energi yang berbeda antara PLTU batubara dalam jaringan PLN (on grid) yang lebih tua, dengan PLTU di luar jaringan (captive) yang lebih muda, maka upaya mitigasi emisi sampai 2050 perlu dikontribusikan dari PLTU batubara on-grid mencapai 68 persen dan sisanya dari of-grid.

Deon Arinaldo menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan amonia dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage, CCS) mitigasi emisi PLTU batu bara.

Namun, Deon menilai strategi itu harus mempertimbangkan potensi kenaikan biaya listrik, keterbatasan kematangan teknologi CCS dalam penyerapan karbon, serta persaingannya dengan kebutuhan lain (Ammonia untuk kebutuhan industri).

“Sebagian besar PLTU on-grid saat ini berumur sekitar 20 tahun, sedangkan PLTU captive rata-rata berumur sekitar 10 tahun. Oleh karena itu, strategi intervensi lebih mudah diterapkan pada PLTU on-grid,”

“Berdasarkan analisis kami, strategi pengakhiran dini PLTU batubara untuk on-grid dan captive harus berbeda,” jelasnya.

Untuk PLTU on-grid, lanjut Deon, perlu dipertimbangkan kapasitas dan stabilitas listrik (aspek teknis) serta ketersediaan investasi. 

Menurutnya, sebagian PLTU on-grid dapat dihentikan operasinya, sementara sisanya dioperasikan secara fleksibel. 

“Untuk PLTU captive/of-grid yang bisa digantikan energi terbarukan mencapai 26 persen. Sisanya dapat menggunakan bahan bakar bersih sebagai solusi sementara hingga solusi jangka panjang, seperti integrasi dengan jaringan PLN, tersedia,” ungkap Deon.

Deon mengatakan, IESR mendorong pemerintah untuk segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini PLTU batu bara dengan mempertimbangkan sejumlah hal penting.

Pertama, memastikan komitmen politik dan kepemimpinan kuat yang dipimpin langsung oleh presiden karena pengakhiran PLTU belum pernah diterapkan di Indonesia.

Kedua, solusi yang beragam untuk memitigasi dan mendistribusi potensi dampak negatif pada berbagai aktor seperti PLN, pemilik PLTU dan pekerja. 

Ketiga, memperjelas kebutuhan pendanaan dan target PLTU yang memerlukan bantuan dana dari pemerintah Indonesia dan internasional terutama untuk eksekusinya. 

Keempat, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan dan swasta untuk menemukan solusi inovatif.

“Penerapan peta jalan pengakhiran dini PLTU dan implementasinya di Indonesia membutuhkan panduan komitmen yang besar. Bahkan, kepemimpinan tertinggi yakni presiden Republik Indonesia dapat memberikan penugasan yang jelas agar menjadi prioritas serta dasar kolaborasi antara kementerian terkait dengan aktor utama lainnya,” jelas Deon.

Terkait dengan pembiayaan, IESR juga telah menganalisis untuk mempercepat transisi energi, diperlukan investasi sekitar USD 20-40 miliar per tahunnya hingga tahun 2050.

Sementara, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan per tahunnya di bawah USD 2 miliar dalam periode 2017-2023. 

Pada 2022, pembiayaan energiterbarukan dari swasta terpantau meningkat di angka Rp26 triliun atau USD 1,7 miliar pada tahun 2022.

Di acara yang sama, Putra Maswan, Analis Keuangan dan Ekonomi IESR menyebutkan, pendanaan publik sangat penting untuk menarik pendanaan swasta yang masih menghadapi risiko tinggi lantaran transisi energi merupakan pasar baru. 

Selain itu, dia menambahkan bahwa IESR sudah melakukan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2023 sebagai dasar alokasi APBN untuk mendorong terlaksananya pengakhiran operasi PLTU lebih awal.

“Hasilnya, PMK ini dinilai ‘kuat’ dalam aspek hukum, namun berada di kategori ‘sedang’ untuk tata kelola, sumber pendanaan, serta kerangka pemantauan dan evaluasi,” jelas Putra Maswan. (Tribuncirebon.com/Mutiara Suci Erlanti)

Sumber: Tribun Cirebon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved