Bocah 11 Tahun di Ciamis Ngaku Dirudapaksa 4 Pria Termasuk Ayah Tiri, KPAI Langsung Beraksi Begini
Kasus bocah piatu berusia 11 tahun di Kabupaten Ciamis diduga dirudapaksa oleh 4 pria, langsung mendapat perhatian serius dari KPAI
Laporan Kontributor Tribunjabar.id Pangandaran, Padna
TRIBUNCIREBON.COM, PANGANDARAN - Kasus bocah piatu berusia 11 tahun di Kabupaten Ciamis diduga dirudapaksa oleh 4 pria, langsung mendapat perhatian serius dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Kadivwasmonev KPAI, Jasra Putra mengatakan pihaknya langsung berkoordinasi dengan aparat setempat untuk menanyakan kasusnya yang direspon Dinas PPA Ciamis dan PATBM.
Hal itu dilakukan langsung setelah mendengar ada anak (SM) 11 tahun keterbelakangan mental dan mengalami kejahatan seksual oleh 4 orang di pesawahan.
"Mereka berjanji, akan kembali menanyakan ke Polres Ciamis terkait perdamaian kasus tersebut. Dan mengupdate kisah kelam yang berujung damai ini," ujar Jasra Putra kepada Tribunjabar.id melalui rilisnya, Kamis (30/6/2022) siang.
Alih - alih menjadi perangkat desa dan menjadi simbol perlindungan warga, justru menjadi pelaku kejahatan seksual.
Peristiwa kelam bulan Maret itu, dilakukan perangkat desa (penjaga Desa) bersama 3 orang lainnya. Stigma anak yang dianggap ‘kurang’ ini telah menjadi alasan melakukan kejahatan seksual dan eksploitasi seksual.
Baca juga: Ibu-ibu Geruduk Kantor Desa di Ciamis, Minta Keadilan Untuk Bocah yang Dirudapaksa 4 Pria
Meski peristiwa anak piatu dan ‘kurang’ tersebut sudah di respon perangkat desa (kepala Desa). Namun sayang sekali, kepercayaan masyarakat berbuah getir karena predator yang dipercaya itu berkedok perangkat desa yang menyebabkan mudah lolos dari jeratan hukum.
"Tentu, kita sangat menyayangkan, kepercayaan jabatan untuk mewakili negara dalam perlindungan, justru dengan jabatannya itu digunakan untuk kejahatan," ucap Jasra.
Tentu saja, ini sangat berbahaya karena semua akses dengan mudah digunakan untuk menutupi perbuatan jahatnya.
Apalagi, Ia menggunakan kewenangan itu, untuk melemahkan ‘anak yang dianggap kurang normal’ dan piatu serta ‘ayah korban yang dianggap kurang normal’.
Sehingga, dengan alasan ‘kurang normal’ tersebut, dianggap saksi tidak sah secara hukum. Sehingga, kasus yang berlangsung di kepolisian itu, dengan mudah selesai begitu saja.
Tentu, KPAI sangat mengapresiasi dan berterima kasih sebesar besarnya kepada Ibu Delis dan para Ibu - Ibu di Ciamis yang berinisiatif melakukan demonstrasi di kantor perangkat desa.
Karena, tanpa para Ibu menggugat mungkin stigma terhadap anak piatu dan ‘anak kurang’ itu tidak pernah berhenti dan selalu menjadi pesakitan.
"Bahkan, bila tidak ada yang peduli, mungkin kita akan menemukan anak piatu ini dalam kondisi lebih buruk lagi," katanya
Apalagi, para pelaku sudah meloloskan diri dari jeratan hukum tentu dengan Ibu - Ibu di Ciamis yang peduli ini, korban akan berada dalam ancaman.
Bahkan, bisa kehilangan nyawa, jika kasus ini tidak dikawal masyarakat ciamis. Karena, niat para pelaku untuk menghilangkan jejak perbuatan jahatnya.
"Mungkin, bila tidak ada masyarakat yang melapor, dosa ini akan kita tanggung bersama sama pada pihak lemah dan dilemahkan, yaitu anak piatu dan ayah tersebut," ucap Jasra.
Artinya, kata Jasra, melindungi anak dari ancaman, KDRT, kekerasan seksual dan menghapus kejahatan seksual sangat ditentukan oleh masyarakat yang mau tergerak menjadi pelopor dan pelapor seperti yang dilakukan para Ibu - Ibu di Ciamis.
"Karena, tanpa menjadi pelopor dan pelapor, kita kesulitan deteksi dini, mencegah kekerasan, menghapus kekerasan, apalagi kejahatan seksual kepada anak," ujarnya.
"Selalu saja, kita mendapati orang - orang terdekat, atau orang - orang yang diserahkan kepercayaan oleh masyarakat untuk melindungi warganya justru menyalahi kewenangan yang telah diberikan. Dengan memanfaatkan kepedulian masyarakat untuk eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual."
Apalagi, dengan dibalut sebagai penjaga desa, tentu saja merusak sistem perlindungan anak di tingkat bawah yang dititipkan kepada para petugas dengan simbol negara sebagai tokoh perlindungan warga, yang justru menjadi predator di masyarakat.
"Tentunya sangat terlambat, ketika kita ramai ramai menghujat peristiwa ini karena peristiwa anak menjadi piatu, ‘anak yang kurang’ sudah berlangsung lama, apalagi hidup dengan ‘ayah yang dianggap juga kurang’. Artinya, perlu dievaluasi, sejauh apa respon negara kepada keluarga yang mengalami disabilitas selama ini," kata Ia.
Dari keterangan ayah korban, kata Ia, anaknya mengalami sakit waktu buang air kecil, namun sayangnya saat para Ibu berdemonstrasi di perangkat desa, namun dalam keterangan di media Kepala Desa menyatakan aksi demonstrasi tersebut karena ketidaktahuan masyarakat, yang dilakukan oleh orang - orang sama satu desa.
"Jadi, ada beberapa hal yang mengakibatkan jadi tanda tanya bahwa benar gak sih orang ini bermasalah. Kepala Desa juga menyampaikan keterangan saksi yang belum jelas," ujar Jasra.
"Tentu saja dengan keterangan pers dari Kepala Desa tersebut, kita menjadi sangat miris dan butuhnya sosialisasi di masyarakat terutama Kepala Desa yang memimpin perlindungan warga di Ciamis."
Pentingnya Pemerintah Daerah setempat memimpin perubahan cara berfikir tentang peristiwa pelecehan, rudapaksa dan kejahatan seksual, bahwa menyetubuhi anak dengan alasan apapun, akan berkonsekuensi kepada hukum, apalagi anak disabilitas.
"Disabilitas, bukan menjadi alasan untuk bisa melakukan kejahatan, karena negara sudah menjamin dalam pemenuhan hak - hak mereka," ucapnya.
Menurutnya, menjadi saksi bagi anak disabilitas korban kejahatan seksual ada panduannya, ini yang penting di ketahui Kepolisian dan Kepala Desa disana.
"Jangan sampai standard yang sudah ada ini, tidak terpakai perangkat desa dan aparat hukum. Apalagi, dengan menyampaikan keterangan saksi tidak jelas," kata Jasra.
Indonesia, telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Layanan Bagi Penyandang Disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
"Kiranya ini, dapat dipedomani perangkat desa dan aparat hukum di Ciamis, atau meminta langsung bantuan kepada Komisi Nasional Disabilitas yang baru saja di syahkan Presiden Joko Widodo, agar membantu keterangan saksi dari anak disabilitas ini."
"Negara kita, sedang gencar gencarnya sosialisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sudah seharusnya peristiwa di Ciamis ini menguji kita semua dalam penerapan UU yang baru disyahkan ini, yang harusnya dapat menjamin hak - hak korban untuk dipenuhi," ujarnya.
Tentu, ucap Jasra, sangat disayangkan jika Kepala Desa disana benar - benar tidak paham akan perubahan negara soal memandang dan menjamin para korban kejahatan seksual dalam UU TPKS.
Di sisi lain, hal ini menjadi tantangan bagi yang berwenang pemerintah. Pemerintah daerah, DPR RI, dan masyarakat pemerhati yang telah bergerak bersama dalam mengusung UU TPKS ini untuk menjalankan mandat pengawasan dengan sebaik baiknya dalam pemenuhan hak hak korban, terutama anak disabilitas yang menjadi korban kejahatan seksual. (*)