Pelarangan Mudik
Orang Cimahi Kerja di Bandung Diperbolehkan Keluar Masuk, tapi Kalau Niatnya Mudik, Jangan Berharap!
Kegiatan mudik, tetap dilarang di daerah mana pun, termasuk kawasan aglomerasi di Jabar, yakni Bodebek dan Bandung Raya.
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNCIREBON.COM, BANDUNG - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan bahwa pemerintah sudah memutuskan bahwa mobilitas di kawasan aglomerasi hanya diizinkan untuk kegiatan yang bersifat produksivitas.
Kegiatan mudik, tetap dilarang di daerah mana pun, termasuk kawasan aglomerasi di Jabar, yakni Bodebek dan Bandung Raya.
"Orang tinggal di Cimahi kerja di Bandung, tidak akan dirazia atau disekat, tapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mudik. Kami dari satgas akan melakukan upaya juga, memilah-milah mana yang terlihat beberengkes, gayanya mau mudik, itu kami larang," kata Gubernur di Markas Kodam III Siliwangi, Jumat (7/5/2021).
Gubernur menekankan tidak ada lagi istilah mudik lokal di Jawa Barat, baik di kawasan aglomerasi maupun yang bukan kawasan aglomerasi.
Hal ini diharapkan ditindaklanjuti oleh pemerintah di tingkat kabupaten dan kota di Jawa Barat.
"Mudik intinya dilarang, tidak ada istilah mudik lokal. Kami koreksi semua jenis mudik, mau di aglomerasi mau interaglomerasi, interkota, interprovinsi, itu juga dilarang," katanya.
Pergerakan di kawasan aglomerasi, yakni antardaerah dalam satu kawasan, hanya diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi.
Jika ada yang lolos mudik, katanya, akan dilakukan pemberlakuan isolasi mandiri oleh satgas setempat.
"Contoh dari Cimahi terus dia mungkin ke Kabupaten Bandung karena tidak banyak penyekatan seperti yang umum, maka di kampungnya isolasi mandiri lima hari ini akan kita jadikan andalan kita dalam memastikan tidak terjadinya penyebaran," katanya.
Aktivitas pariwisata pun, katanya, mayoritas ditutup karena zona oranye di Jabar sangat mendominasi.
Sedangkan zona kuning atau risiko rendah penyebaran Covid-19 hanya Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.
"Kawasan Puncak pasti akan jadi perhatian utama karena pada saat libur mencapai puncaknya, tipikal orang-orang di Jakarta paling dekat lari ke Puncak. Kapolda akan luar biasa bekerja, saya sebagai Gubernur mendoakan petugas yang bekerja tiga sif, ini pengorbanannya luar biasa," katanya.
Baca juga: Sopir Ini Bawa-bawa Titel Bosnya yang Juga Aparat untuk Lolos di Pos Penyekatan, Petugas Keukeuh
Kebijakan larangan mudik yang juga diberlakukan di kawasan aglomerasi termasuk Bandung Raya, rupanya belum diterapkan secara maksimal oleh petugas di lapangan.
Kawasan Bandung Raya yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Cimahi termasuk wilayah aglomerasi.
Pantauan wartawan Tribunjabar.id di Kota Bandung pada hari pertama larangan mudik, Kamis (6/5/2021), pergerakan warga terlihat normal tanpa ada pembatasan.
Baca juga: Sumedang Tak Masuk Aglomerasi Bandung Raya, Pekerja Harus Bawa Surat Tugas Selama Larangan Mudik
Baca juga: Pemerintah Akhirnya Larang Mudik di Wilayah Aglomerasi Termasuk Bandung Raya,Siap-siap Diputarbalik
Di cek poin Bundaran Cibiru dan cek poin Buahbatu, warga yang mengemudikan kendaraan berpelat D tidak mengalami pemriksaan petugas perihal dokumen kesehatan hingga surat izin perjalanan.
Petugas hanya memberhentikan kendaraan berpelat nomor kendaraan yang bukan pelat D. Pelat nomor dengan huruf depan D merupakan pelat nomor untuk kendaraan dari luar Badung Raya.
Sekda Kota Bandung, Ema Sumarna, keukeuh warga di aglomerasi Bandung Raya harus menyiapkan dokumen negatif Covid-19.
"Bahwa di aglomerasi itu boleh, tapi dengan catatan, harus lolos tes kesehatan. Apalagi yang dari luar Kota Bandung, harus dipenuhi itu. Tanpa itu, tidak ada toleransi," ujar Ema Sumarna di Bundaran Cibiru, Kamis (6/5/2021).
Baca juga: Bupati Sumedang Perintahkan Pemudik yang Sudah Tiba di Kampung Harus Jalani Swab Test dan Isolasi
Pemeriksaan dokumen surat antigen bagi pengemudi kendaraan pelat D bagi yang akan masuk Kota Bandung sulit dilakukan karena kendaraan pelat D yang melewati cek poin sangat banyak sehingga berpotensi membuat kemacetan.
Saat petugas cek poin memberhentikan satu kendaraan luar Bandung saja, antrean panjang kendaraan di belakangnya pun terjadi.
"Kalau pengemudi kendaraan pelat D dari Kabupaten Bandung masuk Kota Bandung harus bawa surat antigen, macetnya bakal parah. Emang petugas sanggup mengecek kendaraan yang masuk Kota Bandung?" ucap Sendi Zulkarni (40), pengemudi roda empat yang kejebak macet di Jalan Bojongsoang.
Iis Sugianti (30) warga Dayehkoloy, pegawai swasta di Jalan Astanaanyar, Kota Bandung, keberatan kalau setiap warga Kabupaten Bandung hendak masuk Kota Bandung harus membawa surat antigen negatif Covid-19.
"Kan katanya aglomerasi Bandung Raya boleh, kenapa harus pakai surat segala, itu menghambat kalau mau kerja. Jadi kalau sama-sama warga Bandung Raya mah, enggak usah dipersulit," ucap Iis.
Sebelumnya, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, mudik di dalam wilayah aglomerasi (pemusatan kawasan tertentu) dilarang dilakukan pada 6-17 Mei 2021. Dengan begitu, mudik di Bandung Raya pun dilarang karena termasuk wilayah aglomerasi.
Akan tetapi, pemerintah masih memperbolehkan beroperasinya kegiatan sektor esensial di wilayah aglomerasi.
"Untuk memecah kebingungan di masyarakat soal mudik lokal di wilayah aglomerasi, saya tegaskan bahwa pemerintah melarang apapun bentuk mudik, baik lintas provinsi maupun dalam satu wilayah kabupaten/kota aglomerasi," ujar Wiku dalam konferensi pers virtual melalui YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (6/5/2021).
Hal ini menurut dia demi melancarkan kegiatan sosial ekonomi daerah.
Baca juga: Larangan Mudik Cirebon, Petugas Polresta Putar Balikkan Ratusan Kendaraan Pemudik
Wiku menyebutkan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya potensi penularan Covid-19 di dalam satu wilayah aglomerasi.
Sebab, operasional kegiatan sosial ekonomi telah diatur dengan regulasi PPKM mikro.
Wiku juga mengingatkan, setidaknya ada delapan wilayah aglomerasi di Indonesia yang harus mematuhi larangan mudik Lebaran.
1. Makassar, Sungguminasa, Takalar dan Maros
2. Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo
3. Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan
4. Bandung Raya
5. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
6. Semarang, Kendal, Ungaran dan Purwodadi
7. Yogyakarta Raya
8. Solo Raya
Lima alasan dilarang mudik
Pemerintah sejak hari ini, Kamis (6/5/2021) resmi memberlakukan larangan mudik Hari Raya Idul Fitri 1442H/2021.
Pemerintah menerbitkan Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Ada lima alasan pemerintah menerapkan pelarangan itu seperti diungkap Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito.
1. Meningkatnya mobilitas penduduk berdampak pada meningkatnya jumlah kasus aktif Covid-19.
Prof Wiku memaparkan data keterkaitan mobilitas dan peningkatan kasus pada 3 provinsi selama 4 bulan terakhir atau periode 1 Januari-12 April 2021.
Ketiga provinsi itu ialah Riau, Jambi dan Lampung.
"Ketiga provinsi ini menunjukkan tren peningkatan mobilitas penduduk ke pusat perbelanjaan, yang beriringan dengan tren peningkatan jumlah kasus aktif," prof Wiku, beberapa waktu lalu.
Lebih rincinya, di Provinsi Riau menunjukkan kenaikan mobilitas penduduk sebesar 7%, diiringi kenaikan kasus aktif mingguan sebesar 71%.
Di Jambi, kenaikan mobilitas penduduk sebesar 23% diiringi kenaikan kasus aktif mingguan 14%.
Baca juga: Jangan Memaksakan Mudik, Mereka yang Mudik Kesana Kemari Berisiko Bagi Banyak Orang
Sedangkan di Lampung, kenaikan mobilitas mencapai 33%, dan diiringi kenaikan jumlah kasus aktif mingguan sebesar 14%.
Melihat data ini, Satgas Covid-19 mengajak masyarakat untuk lebih waspada dan berhati-hati dalam bepergian.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, periode libur Idul Fitri berkaitan erat dengan mobilitas penduduk karena adanya tradisi mudik menyebabkan lonjakan kasus Covid-19 hingga 600 kasus setiap harinya.
2. Mudik memang sarana pelepas rindu, tapi risiko amat besar di saat pandemi.
Mudik sangat dinantikan masyarakat setiap tahunnya namun di saat pandemi seperti ini, mengandung risiko yang lebih besar, utamanya risiko kehilangan orang terdekat apabila memaksakan diri mudik dalam situasi pandemi seperti ini.
Tradisi mudik memang cara menunjukkan kasih sayang kepada keluarga di kampung halaman.
“Lansia mendominasi korban jiwa akibat Covid-19, yaitu sebesar 48%. Untuk itu, pemerintah meminta masyarakat urung mudik untuk menjaga diri sendiri dan keluarga kampung halaman dari tertular Covid-19," ujar Prof Wiku.
3. Meningkatnya kasus berpotensi meningkatnya angka kematian
Melarang mudik merupakan keputusan yang tidak mudah. Namun, keputusan ini diambil pemerintah demi mencegah lonjakan kasus Covid-19.
Karena jika angka kasus kembali naik, maka berdampak langsung terhadap keterisian tempat tidur rumah sakit.
"Dan yang paling kita takutkan tentunya adalah naiknya angka kematian," kata Wiku.
4. Perjalanan selama mudik juga berpotensi sarana penularan COVID-19.
Meski masyarakat sudah memiliki surat hasil tes negatif, tidak berarti terbebas dari virus corona.
Peluang tertular dalam perjalanan selalu terbuka dan membahayakan keluarga di kampung halaman.
5. Penularan virus tidak mengenal batas teritorial negara.
Terbukti dengan ditemukannya mutasi virus yang menular dari satu negara ke negara lain, termasuk ditemukannya di Indonesia.
Satgas Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran No. 13 Tahun 2021 berikut adendumnya.
Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan khusus melalui surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Imigrasi terkait India, negara yang sedang mengalami krisis Covid-19.
Bagi Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki riwayat perjalanan 14 hari terakhir dari India, ditolak masuk.
Dan pemberian visa bagi WNA asal India ditangguhkan sementara.
Sumber: Kompas.com/Tribun Jakarta/Tribunnews.com