Virus Corona Mewabah
Pengamat Ini Berani Kritik Cara Indonesia Tangani Pandemi Covid-19: Ya Cuma Pakai Cara Semaunya
Menurut Karim Suryadi, dibandingkan yang dilakukan negara lain, keputusan ini dibikin saat kondisi penyebaran kasus Covid-19 yang kian melambung tingg
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Cipta Permana
TRIBUNCIREBON.COM, BANDUNG - Pengamat kebijakan publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Karim Suryadi, menyayangkan keputusan pemerintah pusat.
//
Dikatakan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto, pemerintah akan memberlakukan pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat di Pulau Jawa dan Bali. Pengetatan itu dilaksanakan pada 11- 25 Januari 2021, guna menekan angka penyebaran Covid-19.
Menurut Karim Suryadi, dibandingkan yang dilakukan negara lain, keputusan ini dibikin saat kondisi penyebaran kasus Covid-19 yang kian melambung tinggi.
Menurutnya, negara lain sudah melakukan upaya yang sangat luar biasa saat mengalami tingkat penyebaran kasus mencapai angka lima persen saja.
Sedangkan, di Indonesia hingga tingkat kasus aktif penyebaran Covid-19 yang kini sudah mencapai 14,2 persen atau satu dari lima orang di antaranya merupakan pasien positif Covid-19, pola baku dari penanganan Covid-19 masih belum dimiliki.
Baca juga: Pemprov Jabar Targetkan Setiap Desa Punya Grand Design Penataan Desa untuk Jaga Keseimbangan Alam
Baca juga: Vicky Prasetyo Susul Kalina Ocktaranny Dinyatakan Positif Covid-19, Ngaku Lemas Banget
"Karena kita tidak punya pola, ya saya tidak bisa bilang terlambat, wong kita tidak punya pola dari awal kok. Jadi kalau kita lihat dari cara perspektif tentang bagaimana cara negara lain menangani Covid-19 ini secara efektif karena dimilikinya blue print yang sangat jelas dan langkah-langkah yang sistematis. Maka kalau mau disebut terlambat ya terlambat, mau di bilang tidak ya tidak, karena selama ini pola yang kita gunakan adalah semau-maunya pemerintah saja," ujar Karim Suryadi saat dihubungi melalui telepon, Rabu (6/1/2021).
Karim pun menuturkan, di saat kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menerapkan PSBB yang pertama kali untuk mengatasi penyebaran covid-19 di Jakarta, saat itu banyak dikecam oleh berbagai menteri. Mereka menganggap langkah Anies mengganggu kepentingan dan merusak kebijakan para menteri.
"Jadi sebenarnya, kondisi Covid-19 di kita itu sudah lampu merah, dan saya menunggu apa langkah istimewa yang akan dilakukan oleh presiden. Apalagi beberapa bulan lalu Joko Widodo pernah marah-marah di hadapan para menterinya dan minta untuk bekerja extra ordinary," ucapnya.
Meski terus mendorong para menterinya untuk kerja extra ordinary, lanjutnya, tapi hal serupa tidak dilakukan oleh presiden.
Baca juga: Tb Mulyana Syahrudin Berpeluang Pimpin Golkar Cianjur Lagi Tapi Belum Ambil Formulir Pendaftaran
Selain itu, Karim pun menyoroti terkait adanya ego sektoral antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19.
Yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan hierarki kepentingan kebijakan pusat dan daerah, yaitu pemerintah pusat harus segera membuat langkah strategis sebagai dasar hukum. Hal itu juga sekaligus pedoman bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian Covid-19 secara sistematis.
"Jangan sampai seperti yang terjadi saat ini. Karena tidak adanya langkah strategis dan pedoman pengendalian Covid-19 secara sistematis, Padang kok berani-beraninya membuka sekolah tatap muka, padahal Padang dikenal bukan daerah yang sangat rajin menggelar tracing dan testing. Kemudian, Bali dan Yogyakarta mengizinkan daerahnya membuka tempat tujuan wisata pada akhir tahun, karena dalih khawatir mematikan ekonomi di sektor pariwisata. Maka kita tidak bisa menyalahkan daerah, tapi ini karena tidak adanya langkah strategis dari pemerintah pusat," ujar Karim.
Bahkan, sejalan dengan hal tersebut, tidak ada penerapan sanksi tegas dari pemerintah pusat, bagi daerah yang mencoba 'nyeleneh' dalam menerapkan protokol kesehatan di wilayahnya.
Oleh karena itu, Karim menegaskan, pengendalian Covid-19 tidak bisa didasarkan atas kemarahan, ketakutan, atau rasa bosan.
Tapi pengendalian ini harus didasarkan atas keputusan yang seksama tentang data epidemiologi penularan kasus Covid-19, karena Covid-19 ini hal nyata.
"Pemerintah pun harus mau mendengarkan suara dari para dokter, tenaga kesehatan. Begitupun dengan percepatan pemulihan ekonomi nasional, karena persoalan utama kita kan Covid-19 tentang kesehatan, jadi enggak mungkin kita bisa memulihkan ekonomi, tanpa mengatasi akar persoalannya (kesehatan). Jadi kalau akar persoalannya yakni tentang Covid-19 ini belum selesai, langkah apapun yang dilakukan dalam pemulihan ekonomi tidak akan pernah terwujud," ucapnya.
Baca juga: Jalur Dua Desa di Majalengka Putus Total Akibat Jembatan Ambruk, Truk Pengangkut Pasir Terperosok
Oleh karena itu, Ia meminta Pemerintah harus jujur membaca data covid-19 ini seperti apa, serta memiliki keberanian moral untuk mengambil langkah - langkah pengendalian yang diperlukan. Kondisi nyata terkait kasus covid-19 ini pun tidak bisa di tutup-tutupi dengan kampanye datangnya vaksin, atau berita Presiden yang akan divaksinasi pertama di Indonesia selama ini, bukan yang utama dibutuhkan masyarakat.
Yang dibutuhkan lanjutnya, adalah bagaimana teknis cara mendapatkan vaksin dan kemudahan menjadi peserta vaksinasi lainnya, dimana hal itu harus di jawab oleh pemerintah. Sehingga vaksinasi ini bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia dengan mudah.
"Inilah saatnya kepemimpinan Joko Widodo terhadap bangsa ini di uji hari ini, dan nasib bangsa Indonesia dipertaruhkan, karena meskipun ditutup-tutupi covid-19 ini akan membuka diri sendiri, baik melalui jumlah kasus yang tidak bisa di bendung dan angka kematian yang semakin tinggi. Jadi modal kuncinya hanya dua yaitu, kejujuran membaca data dan keberanian moral untuk mengambil langkah pengendalian yang diperlukan" ujarnya.
Disinggung terkait sanksi yang tepat dilakukan pemerintah dalam mendisiplinkan para pelanggar protokol kesehatan, menurutnya, sikap acuh yang terjadi di masyarakat saat ini tidak sepenuhnya berasal dari kejenuhan masyarakat. Tapi sebagian dibentuk oleh pengetahuan yang salah tentang covid-19, yang diantaranya lahir dari pembacaan situasi atas inkonsistensi dari kebijakan pemerintah.
Inkonsistensi kebijakan pemerintah, kata Prof. Karim terbentuk dari upaya pemerintah yang tidak bersungguh-sungguh dalam mengendalikan kasus covid-19. Sehingga kondisi ini membentuk pengetahuan yang salah di masyarakat tentang bahaya covid-19.
Contoh pengetahuan yang salah dari kebijakan pemerintah salah adalah, Pemerintah yang sangat mengutamakan percepatan pembangunan ekonomi hingga mengabaikan dan menomor duakan pengendalian covid-19, buktinya banyak daerah yang tidak mau menutup pariwisata di momentum akhir tahun.
"Bila kondisi ini terus terjadi, maka akan membentuk persepsi di masyarakat, bahwa dibandingkan ekonomi, covid-19 ini tidak ada artinya, sehingga masyarakat yang merasa harus memenuhi kebutuhan hidupnya, akhirnya ikut mengabaikan protokol kesehatan," katanya. (*)