Gerakan 30 September
Kisah Menyedihkan Kapten Tendean, Dibunuh Secara Keji Cakrabirawa Satu Bulan Menjelang Pernikahan
Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Pierre Tendean adalah salah satu seorang korban kekejaman di peristiwa Gerakan 30 September G30S PKI
Penulis: Fauzie Pradita Abbas | Editor: Fauzie Pradita Abbas
TRIBUNCIREBON.COM - Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Pierre Tendean adalah salah satu seorang korban kekejaman pada peristiwa Gerakan 30 September G30S PKI.
//
Adapun Kapten Tendean merupakan seorang perwira militer yang dibunuh secara tidak manusiawi dan dimasukkan kedalam sumur bersama keenam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donalad Isaccus Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.
Rumah Jenderal AH Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Gondangdia, Jakarta Pusat, menjadi tempat terakhir Kapten Tendean singgah sebelum mati terbunuh oleh kelompok G30S PKI.
Di museum inilah diorama serta foto-foto Kapten Tendean terbingkai rapi bersama barang-barang peninggalan Jenderal AH Nasution.
Kediaman Jendral AH Nasution yang sempat ditinggali oleh Kapten Pierre Tendean.
Terlahir dari pasangan L. Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah Perancis, Pierre Tendean merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.

Sejak kecil, perwira kelahiran Jakarta 21 Februari 1939 ini mulai tertarik untuk menggeluti bidang militer.
Memulai mengenyam sekolah dasar di Magelang, ia melanjutkan sekolahnya SMP dan SMA di Semarang, tempat ayahnya bertugas.
Hingga pada tahun 1958, ia memulai pendidikannya menjadi taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.
Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
• Ke Mana dan Apa yang Dilakukan Soekarno saat Tragedi G30S/PKI? Padahal Dia Begadang Malam itu
Setahun kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di Bogor.
Tamat sekolah intelijen, ia langsung ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang dikenal dengan istilah Dwikora.
Ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk melakukan penyusupan ke Malaysia.