Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Tolak Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga, Ini Alasannya
Mantan Wakil Bupati Cirebon itu mengatakan, RUU yang diusulkan oleh beberapa anggota DPR RI tersebut tidak jelas arahnya.
Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Mumu Mujahidin
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Ahmad Imam Baehaqi
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON - Fraksi PDI Perjuangan DPR RI dipastikan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Selly Andriany Gantina, mengatakan, penolakan itu dikarenakan RUU tersebut dianggap terlalu mengatur urusan privasi.
Dalam hal ini ialah hubungan antara suami dan istri dalam sebuah keluarga.
"Maka, kami dari Fraksi PDIP di DPR RI jelas menolak RUU Ketahanan Keluarga," kata Selly Andriany Gantina saat ditemui di Balai Kota Cirebon, Jalan Siliwangi, Kota Cirebon, Senin (9/3/2020).
Mantan Wakil Bupati Cirebon itu mengatakan, RUU yang diusulkan oleh beberapa anggota DPR RI tersebut tidak jelas arahnya.
Menurut dia, RUU Ketahanan Keluarga akan sulit diaplikasikan secara utuh dalam kehidupan di tengah masyarakat.
Ia mengatakan, rigiditas dalam RUU Ketahanan Keluarga juga sangat terlihat jelas, khususnya saat diaplikasikan dalam kehidupan rumah tangga.
• Waspada Gelombang Tinggi, Besok Selasa 10 Maret 2020 di Beberapa Perairan Indonesia, Lampung & NTB
• ZODIAK Besok, Selasa 10 Maret 2020, Scorpio Kalian Begitu Romantis, Pisces Cobalah Berpikir Terbuka
"Apa bisa dalam rumah tangga mau diatur secara kaku seperti di RUU itu? Jadi menurut kami itu sangat tidak applicable itu," ujar Selly Andriany Gantina.
Selain itu, kata Wakil Rakyat dari Dapil VIII Jabar tersebut, lembaga mana yang akan mengelola ataupun mengaturnya juga tidak jelas.
Ketidakjelasan juga ditemukan dalam siapa yang akan membantu menangani pemecahan masalah dalam rumah tangga.
"Maka sudah jelas, kami dari Fraksi PDIP akan menolak RUU Ketahanan Keluarga," kata Selly Andriany Gantina.
Demi Pancasila
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga mengatur tentang penanganan krisis keluarga yang disebabkan penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud dalam RUU Ketahanan Keluarga tertuang dalam penjelasan Pasal 85.
Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, ada empat jenis penyimpangan seksual. Empat jenis penyimpangan seksual itu meliputi:
a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Selanjutnya, dalam Pasal 86 - Pasal 87, pelaku penyimpangan seksual wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.
Dalam Pasal 88 - Pasal 89, diatur tentang lembaga rehabilitasi yang menangani krisis keluarga dan ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor.
Salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, menjelaskan bahwa RUU itu berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Dia mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga bertujuan untuk meningkatkan mutu keluarga di Indonesia. Sebab, kata dia, keluarga merupakan lembaga dasar dalam kehidupan sosial.
"Semua etika, moral, perilaku dimulai dari keluarga. Kita harus menguatkan keluarga. Menguatkan mutu keluarga berkualitas, termasuk melindungi keluarga dari hal-hal semacam itu," kata Sodik, Selasa (18/2/2020).
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, draf RUU Ketahanan Keluarga itu sudah mulai dibahas di Baleg. Ia mengatakan bahwa proses pembahasan masih panjang.
"Masih dalam tahap penjelasan pengusul di rapat Baleg yang selanjutnya akan dibahas di Panja untuk diharmonisasi, sebelum dibawa ke pleno Baleg," kata Baidowi, Selasa (18/2/2020).
Komnas HAM: Itu Diskriminatif
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) menilai wajib lapor bagi keluarga atau individu homoseksual dan lesbian ( LGBT) sebagai ketentuan diskriminatif.
Ketentuan itu tercantum dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang dikonfirmasi Kompas.com ke Badan Legislasi DPR, Selasa (18/2/2020).
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menegaskan bahwa setiap orang tidak boleh dibatasi orientasi seksualnya.
"Kalau seseorang diwajibkan melapor karena orientasi seksualnya tentu saja tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif," kata Beka ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (19/2/2020).
"Siapapun tidak boleh dibatasi atau dihukum karena orientasi seksualnya. Yang bisa dibatasi atau dihukum adalah perilaku seksualnya," sambung dia.
Dalam draf tersebut, LGBT didefinisikan sebagai penyimpangan seksual. Hal itu tertuang dalam penjelasan Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur tentang krisis keluarga.
Menanggapi hal tersebut, Beka mengatakan, LGBT adalah orientasi seksual. Ia menambahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan LGBT bukan sebagai penyakit kejiwaan atau cacat mental.
Menurutnya, Kementerian Kesehatan pun telah sepakat dengan pernyataan WHO tersebut.
"Pernyataan WHO ini diamini oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993 yang juga menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental," ujarnya.
Saat ini, Komnas HAM masih mempelajari draf RUU tersebut secara keseluruhan.
Diberitakan, berdasarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, keluarga atau individu homoseksual dan lesbian ( LGBT) wajib melapor.
Berdasarkan draf yang dikonfirmasi Kompas.com ke Badan Legislasi DPR, Selasa (18/2/2020), aturan itu tertuang dalam Pasal 85-89 RUU Ketahanan Keluarga.
Pasal 85 mengatur tentang penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud dalam Pasal 85, salah satunya adalah homoseksualitas.
Selanjutnya, dalam Pasal 86, keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.
Berikutnya, dalam Pasal 87, setiap orang yang mengalami penyimpangan seksual juga wajib melaporkan diri. Berikut bunyi pasal tersebut:
"Setiap Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Kemudian, dalam Pasal 88-89 diatur tentang lembaga rehabilitasi yang menangani krisis keluarga dan ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor.
Berikut isi dua pasal itu:
Pasal 88: Lembaga rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87 untuk Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat yang ditunjuk oleh Badan yang menangani Ketahanan Keluarga.
Pasal 89: Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor, rehabilitasi untuk Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga diatur dengan Peraturan Pemerintah.