12 Orang Tewas Akibat Konflik Dengan Buaya Sepanjang 3 Tahun Terakhir, Ini Penyebab Buaya Lebih Buas

Tak hanya itu, musim kawin buaya pada November sampai Januari, membuat buaya semakin agresif dan sering muncul di permukaan.

Editor: Mumu Mujahidin
Bangkapos.com/Sela Agustika
Proses pengangkatan buaya sebelum dikubur di kawasan Kampung Reklamasi, Air Jangkang, milik PT Timah Tbk, Sabtu (4/1/2019). 

TRIBUNCIREBON.COM - Rusaknya habitat di sungai dan rawa menjadi penyebab buaya di Bangka dan Belitung kerap berkonflik dengan manusia.

Tak hanya itu, musim kawin buaya pada November sampai Januari, membuat buaya semakin agresif dan sering muncul di permukaan.

Kepala Resort Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bangka Belitung Septian Wiguna menjelaskan, habitat buaya tersebar di beberapa sungai dan rawa yang bermuara ke laut.

"Maka dari itu jenis buaya yang ada pada umumnya berjenis buaya muara (Crocodylus porosus)," jelas Septian, Senin (6/1/2019).

Menurutnya, seiring tumbuhnya populasi buaya beriringan peningkatan jumlah manusia, bukan tidak mungkin dapat mengganggu habitat buaya.

"Kalau alam sudah rusak, mereka pasti akan keluar. Sehingga hal inilah yang kadang menimbulkan gesekan penggunaan ruang dalam habitatnya antara manusia dan buaya," ungkap Septian.

Mengenai penyerangan buaya kepada manusia merupakan indikasi kondisi alam yang sudah tidak seimbang.

Atau dengan kata lain, terjadinya kerusakan alam yang mengganggu tempat hidup buaya itu sendiri.

Tumpang tindih ruang habitat buaya dengan aktivitas manusia tersebut, membuat tempat hidup buaya rusak dan mengakibatkan sumber pakan mereka menurun.

"Ini perlu ada kajian ilmiah untuk menyimpulkan penyebab utamanya. Dua faktor yang kami sampaikan adalah berdasarkan fakta yang terjadi sejauh ini," terangnya.

Lebih lanjut menurut Septian, semakin agresif buaya pada umumnya disebabkan masa kawin atau masa buaya betina matang secara seksual (siklus estrus).

Selain itu, buaya merupakan jenis satwa teritorial yang artinya pada siklus estrus tersebut, gerak-gerik apapun yang dianggap mengancam, buaya akan lebih agresif untuk mempertahankan teritorinya.

"Siklus estrus umumnya terjadi pada musim penghujan yang bila dikonversi musim penghujan saat ini yang dimulai pada akhir Desember atau awal Januari. Itulah sebab kenapa mereka lebih agresif," tutupnya.

32 Kasus Buaya dan Manusia

Sejak 2016 sampai Juni 2019, Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung mencatat ada 32 kasus konflik buaya dengan manusia di Babel.

Pendataan bersama pihak BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) Babel menghasilkan fakta, sebanyak 71 ekor buaya yang ditemukan warga dalam kurun waktu tersebut.

Hal ini diungkapkan Ketua Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung, Langka Sani, Senin (6/1/2019).

"Serta penyerangan buaya mengakibatkan kematian 12 orang dan sekitar 20 orang mengalami luka- luka, dari 2016 sampai 2019. Penemuan buaya oleh warga itu dilaporkan ke BKSDA dan Alobi, mungkin di luar itu lebih banyak," jelas Langka.

Buaya yang telah berhasil dievakuasi berasal dari Sungaiselan, Bangka Kota, Jebus, Mancung Belinyu, Sungailiat, Kayu Besi, dan Riding Panjang.

"Baru-baru ini juga kita evakuasi buaya di Pangkalraya. Cukup disayangkan sebab belum ada penyerangan malah ditangkap. Tetapi kondisi ini cukup dilematis, sebab di sisi lain juga masyarakat merasa terganggu," ujarnya.

Menurut Langka, masyarakat juga harus mempelajari faktor penyebab buaya bisa menyerang manusia.

"Biasanya karena disebabkan oleh kerusakan habitat buaya, sumber makanan sudah mulai sedikit bahkan sekarang berebutan dengan manusia. Makanannya biasanya udang, monyet dan sebagainya," beber Langka.

Selain itu, buaya semakin agresif pada November sampai Januari karena ini musim sang predator itu kawin.

"Hati-hati juga buaya saat musim kawin lebih agresif. Biasanya bulan November, Desember dan Januari menjadi bulan siklus perkawinan. Serta untuk jam lima sore ke atas waspadai bagi masyarakat yang tinggal di akwasan air dekat habitat buaya," ujarnya.

Sebab buaya biasanya menyerang pada malam hari karena jadwal makan atau berburu mereka.

Sedangkan saat siang lebih fokus menjaga area teritorial dan terkadang tampak di permukaan.

Sengaja Dipancing

Sementara, Qidam warga Pangkalraya, Kecamatan Sungaiselan, Bangka Tengah sengaja memancing buaya di sungai setempat karena dianggap mengganggu manusia.

Berbekal kail nimor satu dan tali nilon, Qidam melempar umpan ayam ke tengah sungai, Kamis (2/1/2019).

Hasilnya, pada Jumat (3/1/2019), umpan yang disebarnya dimakan dua buaya penghuni Sungai Pangkalraya.

Satu buaya berukuran 4,6 meter dan berat 500 kilogram berhasil ditarik ke darat, meski akhirnya mati.

"Jadi kita mulai memancing buaya tersebut hari Kamis (2/1) pagi. Kemungkinan umpan tersebut sudah dimakan buaya pas malam harinya. Karena pagi harinya kami lihat umpannya sudah dimakan oleh buaya," ujar Qidam, Senin (6/1/2019).

Qidam bersama 10 temannya yang lain kemudian berjibaku menarik buaya tersebut ke darat.

Butuh waktu empat jam untuk membuat buaya berukuran panjang 4,6 meter itu menyerah.

Qadim mengatakan jika di Sungai Dusun Pangkalraya memang dikenal sebagai habitat buaya muara.

"Kenapa kita khawatir, karena buaya tersebut sudah mulai nakal. Buaya tersebut sudah mulai mendekati nelayan saat mancing. Intinya mulai menyerang manusia," kata Qadim memberikan alasan menangkap buaya tersebut.

Padahal, dia mengaku tidak ada konflik antara buaya dan manusia di sungai tersebut.

Hanya saja, menurut Qadim, dua buaya yang ditangkap pekan lalu itu, dianggap meresahkan masyarakat.

Lantaran bagian kerongkongan dan perutnya rusak, dua buaya yang ditangkap oleh warga Pangkalraya itu mati sebelum dievakuasi.

Sementara, konflik buaya dan manusia pernah terjadi di Dusun Nunggal, Desa Kemingking, Bangka Tengah pada Agustus 2019 lalu.

Kholil selamat dari maut meski menderita luka-luka setelah diterkam buaya di Sungai Dusun Nunggal.

Setelah kejadian itu, warga semakin khawatir karena buaya kerap muncul di sungai tersebut.

Kepala Dusun Nunggal Irwan menyebutkan warga tetap was-was setelah peristiwa yang dialami Kholil.

Kholil diserang buaya di Kolong TB 1 Bedeng Keraka, Dusun Nunggal, Senin (26/8/2019) saat menambang timah.

"Buaya yang menyerang Kholil sudah ditangkap dengan umpan bebek. Tetapi ada buaya lain yang membuat warga resah dan bisa menyerang nantinya," ungkap Irwan.

Penangkapan buaya 4,6 meter di Pangkalraya dan Kholil diserang sang predator merupakan bagian dari konflik yang terjadi antara manusia dan buaya di Pulau Bangka. (R1/R3/S2/Cr1)

3 Tahun 12 Orang Tewas

Ketua Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung Langka Sani mengakui beberapa tahun lalu, jarang ditemukan konflik antara buaya dan manusia.

"Dulu Bangka Belitung masih asri habitat buaya, belum menyempit. Konflik buaya dan manusia, tidak signifikan seperti sekarang ini," tutur Langka.

"Melihat konflik tersebut sekarang seperti bencana sebab kurung waktu 3 tahunan sudah 12 orang mengalami kematian di Bangka Belitung karena serangan buaya. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi ke depannya. Sementara, langkah dan solusi dari pemerintah daerah belum ada," tambah Langka.

Alobi memberikan upaya dalam evakuasi buaya dengan melakukan penitipan sementara atau rehabilitas sebelum ditentukannya kawasan pelepasliaran buaya dari pemerintah daerah.

"Tidak seperti satwa lainnnya, buaya ini hewan buas tidak bisa sembarangan lepasliarkan. Kita baru secara lisan untuk menetapkan pelepasaan buaya. Kalau tidak ditetapkan pengontrolan buaya yang habitat bersentuhan dengan masyarakat cukup dikhawatirkan dan daya tampung buaya di PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) kita tidak lebih dari 50 ekor," jelas Langka.

Mengenai rehabilitasi buaya setelah ditangkap atau ditemukan warga perlu waktu perawatan.

Bila terkena kail pancing dan luka di bagian pencernaan, butuh waktu sekitar 1 tahun untuk penyembuhan.

"Akan tetapi buaya hasil evakuasi dipelihara manusia malah tidak memungkinkan dilepasliarkan lagi. Sebab nanti buaya menghampiri manusia untuk meminta makan. Di sini ada tiga buaya evakuasi hasil peliharaan manusia," katanya.

Pada tahun 2014 silam, Alobi pernah melakukan pelepasliaran buaya di wilayah Bangka yang jauh dari pemukiman warga.

Serta Alobi sejak berdiri sudah melakukan pelasliaran satwa sebanyak 1.458 ekor berbagai jenis satwa ke habitat alam.

Alobi pun memiliki PPS di daerah PLN Peduli Kacang Pedang dan Kampoeng Reklasi Air Jangkang. (S2)

Konflik Buaya dan Manusia 

- Buaya panjang 3,75 meter ditangkap warga Bangka Kota, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan diketahui pernah memangsa warga Desa Bangka Kota pada, Senin (1/1/2018) lalu.

Korban yang sempat dimangsa bernama Susi (30) ibu rumah tangga yang sedang mencuci di pinggiran sungai.

- Buaya menyerang seorang warga di Desa Pagarawan, Kecamatan Merawang, Bangka, Rabu (27/3/2019).

Buaya itu menyerang Maryadi (43) warga Dusun 1 Desa Pagarawan.

Maryadi mengalami luka robek di tangan kanannya akibat digigit buaya.

Maryadi diserang saat sedang mengambil air di tambak udang menggunakan ember.

- Seekor buaya menerkam Kholil warga di Dusun Nunggal Desa Kemingking, Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten Bangka Tengah, Senin (26/8/2019).

Saat itu korban sedang mencari kayu di kawasan tambang timah Kolong TB 1 Bedeng.

- Mahrom (33) seorang pencari ikan, warga Desa Bedengung, Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, menjadi korban keganasan buaya, Jumat (10/5/2019). Jasadnya ditemukan beberapa hari kemudian.

(Dokumen Bangka Pos)

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Habitat Buaya Terganggu dan Musim Kawin, Sang Predator Semakin Agresif, 12 Orang di Babel Tewas

Sumber: Bangka Pos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved