KREATIF - Ditangan Laili Biji Salak Diolah Jadi Makanan dan Minuman per Bulan Raup Rp 6 Juta
Berawal dari melihat hamparan kebun salak seluas sekitar 800 meter persegi di belakang rumahnya di mana setiap kali panen menyisakan biji salak
TRIBUNCIREBON.COM - Berawal dari melihat hamparan kebun salak seluas sekitar 800 meter persegi di belakang rumahnya di mana setiap kali panen menyisakan biji salak membuat Laili Musyarofah (38) terpikir untuk memanfaatkannya menjadi sajian minuman atau makanan berbahan dasar biji salak.
Atas usahanya tersebut rata-rata per bulan pendapatan yang diperolehnya mencapai Rp 6 juta.
Setelah melalui beberapa percobaan dan belajar cara memanfaatkan biji salak dengan benar melalui internet, warga Jalan Srikandi RT 3/4 Kampung Grogol, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga itu memutuskan membuka warung yang menyajikan olahan dari biji salak.
“Jika dirinci pohon salak berkisar 5000-an dan kebun ini sudah ditanami sejak tahun 1998. Lalu pertimbangan lain mendirikan warung di tengah kebun salak juga atas dasar jika mengontrak tempat khusus berjualan dibutuhkan waktu lama untuk mencari konsumen,” katanya kepada Tribunjateng.com, Kamis (4/7/2019).
• HEBAT - Lima Mahasiswa Unpad Ini Sulap Kulit Jeruk Nipis Jadi Pembasmi Jentik
• INOVASI - Perajin Wayang Ini Buat Karakter Wayang Berwajah Sesuai Pesanan Hingga Wajah Turis Asing
Laili mengatakan di luar itu menu kopi salak yang resmi ia jual sejak 2014 tersebut adalah sebagai daya tarik seseorang agar datang ke warungnya lantaran berlokasi pada pinggiran kota dan jauh dari pusat keramaian.
Ia menerangkan sebelum menjual olahan dari biji salak yang sekarang berkembang menjadi aneka macam produk, seperti toping coklat, sari salak, asinan, selai, dan kulit salak dijadikan teh serta tepung, dia membeli biji salak dari petani.
“Pertama awal belajar membuat sajian berbahan salak ini saya membeli dari petani sekira 10 kilogram. Lalu mencoba diolah menjadi serbuk kopi, dan berkembang ke tepung biji salak. Itu guna mengetahui takaran dari 10 kilogram biji salak nantinya menjadi berapa kilogram tepung atau kopi begitu,” katanya.
Dia bercerita, sejak kopi salak mulai dikenal orang kemudian dirinya mengembangkan pada menu lain, yakni daging salak dibuat toping coklat dan terkadang diambil sari salaknya menjadi sirup termasuk sambal.
Itu semua lanjutnya, bagian dari menyiasati apabila masa panen salak belum tiba karena salak merupakan buah musiman. Sedangkan tepung salak selama ini banyak dimanfaatkan untuk campuran membuat roti selebihnya sebagai pendamping kopi.
“Tapi untuk identitas hasil produksi saya memilih kopi salaknya karena lebih mudah cara memasarkan dan mengenalkan kepada banyak orang,” ujarnya.
Selain aman untuk lambung, kata dia, kopi biji salak juga diyakini dapat mengobati penyakit diabetes berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Laboratorium Biologi UKSW pada tahun 2016 silam.
Kini dari hasil usahanya tersebut setiap bulan Laili memperolah pendapatan sekira 5-6 juta baik menjual kopi salak maupun menu lain yang telah diproduksi. Untuk secangkir kopi salak dijual Rp 5 ribu, kemudian dalam bentuk kemasan 50 gram dibanderol Rp 10 ribu, lalu ukuran 100 gram Rp 20 ribu.
“Toping coklat Rp 8 ribu, teh kulit salak Rp 10 ribu berisikan 12 kantong dan sirup salak Rp 8 ribu per 250 miligram.
Sisanya, berupa asinan olahan salak perkardus Rp 16 ribu berisi 12 bungkus. Kemudian, sari salak Rp 10 ribu berisi 12 cup, dan tepung salak Rp 18 ribu perkilogram,” jelasnya
Laili menambahkan untuk selai salak hasil produksi Warung Kebun Salak (WKS) miliknya dihargai Rp 8 ribu, dan sambal perkemasan Rp 7 ribu.