Khutbah Idulfitri

Naskah Khutbah Idulfitri 1 Syawal 1446 H, Meluruskan Makna Fitrah dan Aktualisasinya dalam Kehidupan

Berikut ini naskah khutbah Idulfitri 1446 H. Meluruskan Makna Fithrah dan Aktualisasinya dalam Kehidupan.

Editor: taufik ismail
Tribun Jabar/Syarif
Ribuan warga melaksanakan salat Iduladha 1445 H di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Senin (17/6/2024). 

Selain bertujuan meraih kualitas takwa yang prima, puasa Ramadhan yang disyariatkan Islam itu berorientasi kepada kebaikan. Setidaknya ada tiga kata “khair” (kebaikan) yang menyertai rangkaian ayat-ayat perintah puasa: “Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah/2:184).

Karena puasa Ramadhan itu berorientasi dan bermuara kepada kebaikan personal maupun kebaikan sosial, maka dapat ditegaskan bahwa esensi berpuasa itu merupakan aktualisasi fitrah kemanusiaan. Ramadhan itu ibarat kampus kehidupan. Regulasi dan kurikulum (norma, nilai, kewajiban, anjuran, dan larangan) dalam berpuasa ramadlan itu sarat dengan nilai-nilai Pendidikan fitrah kemanusiaan.

Bangun tidur lebih awal untuk santap sahur, shalat subuh berjamah, berdzikir, berdoa, tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga adzan maghrib, tarawih, tadarus Alquran, sedekah, i’tikaf, mengeluarkan zakat mal dan zakat fitri, semuanya adalah fitrah kemanusiaan, apabila direspons secara positif, dijalani dengan penuh ketulusan dan kesabaran.

Allah Akbar 3X, Allah Maha Besar! Oleh karena fithrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan lain-lain, maka agar fithrah manusia itu tetap terpelihara dengan baik, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai agama dan akhlak karimah, sehingga diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta cakap dalam menyikapi dan menjawab berbagai tantangan kehidupan.

Karena itu segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci ramadlan hendaknya tetap kita lestarikan dan bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi baik dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita sehingga fithrah yang telah kita rawat ini tetap terpelihara dengan baik hingga ahir kehidupan kita.

Ramadhan adalah madrasah kehidupan, sukses Ramadhan sesungguhnya tidak diukur pada saat sedang berlangsung akan tetapi justru dilihat dari sebelas bulan yang akan dijalaninya ke depan. Adakah ia mampu melakukan perubahan dan perbaikan dirinya menjadi pribadi muttaqin? adakah ia tetap konsisten menjaga amaliah kebajikan selama Ramadlan? Semua berpulang kepada penghayatan dan komitmen diri kita.

Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan, bahwa adalah merupakan sunnatullaah bila hidup ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmah dan musibah, menang dan kalah, peluang dan tantangan yang acap kali menghiasi hidup kita. Orang bijak sering menyatakan, “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, di waktu lain tergilas di bawah.

Sebagai seorang mukmin, tidak ada celah untuk menyatakan sikap frustasi dan menyerah dengan keadaan akan tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah, sebagaimana orang mukmin tak boleh hanyut dengan godaan dan glamornya kehidupan.

Orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah, menegakkan da’wah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji:

ولا تهنوا ولا تحزنوا وأنتم الأعلون إن كنتم مؤمنين

“Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran: 140).

Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali dalam karyanya Ihya Ulumuddin menggambarkan penghuni kehidupan dunia laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan.

Dalam proses perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua keresahan, antara mengingat perjalanan yang sudah dilewati dengan rintangan gelombang yang dasyat dan antara menatap sisa-sisa perjalanan yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu mencapai keselamatan.

Gambaran kehidupan ini hendak mengingatkan agar kita senantiasa memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita punyai masih akan menghadapi tantangan zaman dan selera kehidupan yang menggoda haruslah kita pergunakan secara optimal untuk memperbanyak bekal guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Suatu saat Lukman Al Hakim pernah memberikan petuah kepada putranya:

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved