BMKG Catat Sudah Terjadi 10 Kali Pencurian dan Perusakan Alat Monitoring Gempa Sejak 2015

BMKG mencatat sejak 2015 telah terjadi 10 kali pencurian dan perusakan peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola BMKG.

Shutterstock
ILUSTRASI GEMPA - BMKG mencatat sejak 2015 telah terjadi 10 kali pencurian dan perusakan peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola BMKG. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama


TRIBUNCIREBON.COM, BANDUNG - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sejak 2015 telah terjadi 10 kali pencurian dan perusakan peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola BMKG.


Kejadian tersebut, antara lain pada 2015 di Cisompet, Garut (dua kali), pada 2017 di Muara Dua, Sumatera Selatan, pada 2018 di Manna, Bengkulu, pada 2022 di Indragiri Hilir, Riau, pada 2022 di Kluet Utara, Aceh Selatan, pada 2022 di Sorong, Papua Barat, pada 2022 di Jambi, pada 2022 di Sausapor, Tambrauw, Papua Barat, pada 2024 di Pulau Banyak, Aceh Singkil, dan 2025 di Sidrap, Sulawesi Selatan (empat kalil).


Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono menyebut kasus terbaru pencurian dan perusakan pada peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami terjadi di Desa Buae, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap, Sulsel pada 12 Februari 2025.


"Kejadian ini, pencuri mengambil enam unit aki yang digunakan untuk menghidupkan sensor seismograf serta dua unit panel surya yang terpasang di atas bangunan shelter stasiun SPSI (Sidrap-Indonesia). Ini merupakan kasus keempat kalinya pencurian dan perusakan peralatan BMKG terjadi di lokasi yang sama," katanya.

Pencuri bahkan membongkar bangunan shelter, masuk ke dalamnya, dan mengambil seluruh baterai (aki) yang berfungsi sebagai sumber daya utama bagi stasiun monitoring gempa.

Akibatnya, BMKG terpaksa mencabut seluruh peralatan yang tersisa, termasuk sensor, digitizer, dan peralatan komunikasi, untuk menghindari kerugian lebih besar.

Padahal, wilayah ini secara tektonik merupakan daerah rawan gempa karena berada di jalur patahan aktif Sesar Walanae.

Berdasarkan laporan Pusat Gempa Nasional (Pusgen, 2017), Sesar Walanae di Sulawesi Selatan bukanlah sesar mikro, melainkan sesar regional yang dapat memicu gempa hingga magnitudo Mw7,1.

Menurut peta seismisitas/kegempaan, kawasan Teluk Mandar, Pinrang, Rappang, dan Pare Pare memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang sangat tinggi akibat aktivitas Sesar Walanae.

Selain gempa bumi, wilayah ini juga berpotensi mengalami dampak ikutan gempa yaitu longsor (landslide), runtuhan batu (rockfall), dan likuifaksi.

Sebagai catatan, wilayah ini pernah diguncang gempa dahsyat berkekuatan Mw6,0 pada 29 September 1997, yang mengakibatkan: 16 orang meninggal dunia, 35 orang luka berat, 50 rumah rusak berat, dan lebih dari 200 rumah rusak ringan.

"Pencurian peralatan BMKG sangat merugikan keselamatan masyarakat, karena tanpa sensor gempa yang berfungsi, maka kecepatan dan akurasi BMKG dalam memberikan informasi gempa dan peringatan dini tsunami di Sulawesi Selatan akan menurun. Perlu diingat, wilayah Sulawesi Selatan juga pernah terdampak tsunami dari Teluk Mandar yang dipicu gempa Mw6,3 pada 11 April 1967, menyebabkan 58 orang meninggal dunia," katanya.

"Kami memohon dengan sangat kepada masyarakat untuk tidak melakukan vandalisme, perusakan, atau pencurian peralatan BMKG. Jika belum bisa aktif terlibat dalam mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana, setidaknya jangan merusak alat yang bertujuan melindungi keselamatan banyak orang. Kami juga meminta pemerintah daerah untuk ikut berperan dalam mengamankan peralatan BMKG yang telah dipasang di lokasi strategis demi kepentingan masyarakat," ujarnya.(*)

Sumber: Tribun Cirebon
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved