G30S PKI

Kisah Hidup DN Aidit, Sosok Pemimpin PKN Paling Kejam, saat Muda Terkenal Rajin Ibadah dan Mengaji

Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit lahir dengan nama Achmad Aidit di Belitung pada 30 Juli 1923.

Kompas.com
KISAH DN Aidit, Dikenal Pemimpin Terakhir PKI yang Antogis,Ternyata Rajin Ibadah & Mengaji 

TRIBUNCIREBON.COM - DN Aidit dikenal sebagai politikus yang menjabat sebagai pemimpin terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI).

Atas kepemimpinannya di tahun 1960-an, PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia, setelah RRC dan Uni Soviet.

Sejarah Indonesia mencatat, jika DN Aidit merupakan tokoh antagonis yang dituduh sebagai dalam G30S/PKI.

Masa muda

Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit lahir dengan nama Achmad Aidit di Belitung pada 30 Juli 1923.

Ia merupakan anak pertama dari pasangan Abdullah Aidit dan Mailan, yang akrab dipanggil sebagai Amat oleh kerabat dekatnya.

Sedari kecil, DN Aidit dikenal sebagai anak yang rajin beribadah dan pandai mengaji. Ia mengenyam pendidikan pertamanya di Hollandsche Inlandsch School (HIS).

Pada awal 1936, ia diminta oleh sang ayah untuk lanjut sekolah di Jakarta, di Middestand Handel School.

Selama tiga tahun, DN Aidit tinggal di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat, bersama kerabat ayahnya. Setelah itu, ia pindah ke Senen untuk tinggal dengan saudaranya, Murad, dan bersama-sama mencari pekerjaan untuk mendapat uang tambahan.

Pada masa ini, DN Aidit aktif dalam beberapa kelompok pergerakan, seperti Persatuan Timur Muda, di mana ia kemudian menjadi pemimpinnya.

Pada saat itulah, ia mengganti namanya dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara, atau disingkat DN Aidit.

Baca juga: 10 Pahlawan Nasional Indonesia yang Gugur dalam Peristiwa G30S/PKI

Berkenalan dengan PKI

Selama pendudukan Jepang di Indonesia, DN Aidit bersama teman-temannya mendapat pelajaran seputar politik dari Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Ki Hajar Dewantara di Asrama Menteng.

Pada awal September 1945, terbentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API), di mana Aidit ditunjuk menjadi ketua cabang Jakarta Raya.

Pada 5 November 1945, DN Aidit bersama anggota API diserang oleh Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau tentara Hindia Belanda dan ditangkap.

DN Aidit kemudian diasingkan ke Pulau Onrust selama tujuh bulan, sebelum akhirnya dibebaskan.

Pada 1948, DN Aidit, Lukman, dan Njoto ditugaskan untuk menjadi penerjemah Manifesto Komunis ke dalam bahasa Indonesia. Pada Agustus di tahun yang sama, ketiganya diangkat sebagai anggota komite sentral, masing-masing bertanggung jawab atas urusan pertanahan, agitasi, dan propaganda.

Mereka kemudian menjadi anggota Politbiro PKI baru yang dibentuk Musso pada 1 September 1948, di mana DN Aidit bertanggung jawab atas bagian perburuhan partai.

Baca juga: Begini Reaksi Letkol Untung Dalang G30S/PKI Saat Melarikan Diri Kepergok di Bus, Dihabisi di Cimahi

Membangun PKI

Pada 1948, terjadi peristiwa Pemberontakan PKI Madiun, yang membuat DN Aidit harus melindungi diri ke Tanjung Priok.

Setelah peristiwa PKI Madiun, empat anggota Politbiro, yaitu DN Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman menggantikan posisi pemimpin lama pada Januari 1951.

Aidit terpilih sebagai sekretaris jenderal partai berdasarkan hasil kongres kelima.

Setelah itu, DN Aidit berusaha mengkudeta tokoh-tokoh tua PKI, di antaranya Alimin dan Tan Ling Djie, yang dinilai banyak melakukan kesalahan.

Kariernya melejit pada akhir 1950-an, setelah menyingkirkan tokoh-tokoh tua PKI.

Dengan dukungan sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, DN Aidit berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI (CC-PKI).

Selanjutnya, ia menggeser kiblat PKI dari Rusia ke RRC dan membangun PKI secara militan.

DN Aidit membentuk berbagai organisasi mantel dan menempatkan kader-kadernya dalam berbagai organisasi profesi dan militer.

Dengan gayanya yang flamboyan, DN Aidit tidak hanya berhasil mendekati Soekarno, tetapi juga membawa orang-orang PKI di jajaran pemerintahan.

Kampanye Nasakom yang didengungkan rezim Soekarno adalah salah satu bukti keberhasilan DN Aidit dalam politik di Indonesia.

Dalam Pemilu 1955, PKI berhasil masuk dalam empat suara terbanyak di Indonesia dengan raihan 3,5 juta suara.

Pada 1962, DN Aidit juga tergabung dalam Kabinet Kerja III sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) hingga 1963.

Kemudian, pada 1963-1964, ia menduduki jabatan yang sama, sebagai Wakil MPRS dalam Kabinet Kerja IV, dan juga dalam Kabinet Dwikora I pada 1964-1965.

Selama memimpin PKI, DN Aidit bahkan berhasil membawa partai ini menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Republik Rakyat China (RRC) dan Uni Soviet.

Peran dalam G30S

Pamor PKI turun setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S, di mana PKI dituduh menjadi dalang dibalik pembunuhan para jenderal Angkatan Darat.

Peristiwa G30S menimbulkan aksi saling tuduh. Pihak Angkatan Darat menuduh PKI sebagai dalangnya.

Sementara pihak PKI menyebut tragedi itu adalah buntut dari konflik internal Angkatan Darat.

Pihak Angkatan Darat, yang mengontrol media massa, akhirnya mengarahkan opini publik agar menganggap G30S diotaki oleh PKI.

Peran DN Aidit sendiri dalam peristiwa G30S masih menjadi misteri. Namun, posisinya sebagai Ketua PKI secara otomatis membuat namanya juga dituding sebagai dalang G30S.

Sejumlah sejarawan dan kalangan militer pun meyakini bahwa PKI dalang dibalik penculikan dan pembunuhan tersebut. Akan tetapi, dugaan ini disangkal oleh beberapa pihak.

Wafat

Ketika menjadi pihak tertuduh, DN Aidit pergi dari Jakarta menuju ke Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang menjadi basis PKI, untuk menemui ketua PKI setempat.

Menurut catatan sejarah, DN Aidit tertangkap pada 22 November malam oleh kelompok yang dipimpin Kolonel Yasir Hadibroto di sebuah rumah di Desa Sambeng, Solo.

Keesokan paginya, DN Aidit ditembak mati oleh pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Yasir Hadibroto di daerah Boyolali.

Meskipun dikatakan bahwa DN Aidit wafat karena ditembak di Boyolali, tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan jasadnya sejak hari itu.

Makam DN Aidit sangat sulit ditemukan. Bahkan, sang anak juga bersusah payah untuk bisa menemukan makam ayahnya.

Pencarian sang anak baru terjawab setelah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Boyolali menghubunginya dan memberitahu bahwa pekarangan belakang mes Kodim disebut-sebut sebagai lokasi makam DN Aidit.

 

Sumber: Tribun Cirebon
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved