Berita Duka

INNALILLAHI, Prof Dr Setiawan Sabana, Guru Besar FSRD ITB Meninggal Dunia Kamis Dini Hari

Prof Dr Setiawan Sabana, guru besar Seni Rupa ITB juga seniman grafis ternama Indonesia, meninggal dunia di Bandung

|
Penulis: Machmud Mubarok | Editor: Machmud Mubarok
itb.ac.id
Prof Dr Setiawan Sabana, Guru Besar Fakuiltas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, meninggal dunia Kamis (27/4/2023) dini hari tadi. 

TRIBUNCIREBON.COM, BANDUNG - Innalillahi wainna ilaihi rajiun, Prof Dr Setiawan Sabana, Guru Besar Fakuiltas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, meninggal dunia Kamis (27/4/2023) dini hari tadi.

Informasi meninggalnya Prof Setiawan Sabana disampaikan oleh salah seorang muridnya, Prof Dr Reiza D Dienaputra di grup WA Serikat Alumni Himse Unpad.

"Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Innalilahi wa inna ilaihi rajiun

Telah berpulang ke rahmatulah Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Purnabakti FSRD ITB

Pada hari Kamis, 27 April 2023 pukul 03.00 WIB di Bandung. Jenazah disemayamkan di Rumah Duka; Jl. Rebana No. 10 Bandung

Rencana akan disholatkan di Mesjid Salman Pukul 10.00WIB dan acara pelepasan di Aula Barat pukul 11.00 WIB. Selanjutnya akan dimakamkan di TPU Cibarunei, Sarijadi Bandung

Allahummagfir lahuu warhamhu wa'aafihi wa'fu 'anhu wa akrim nuzulahuu wa wassi' madhkhalahuu waghsilhu bil maa-i-wats-tsalji walbaradi wa naqqihii minal-khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul-abyadhu minad-danasi wa abdilhu daaran khairan min daarihii wa ahlan khairan min ahlihii wa raujan khairan min zaujihi waqihii fitnatal-qabri wa'adzaaban-naar.
Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh". 

Baca juga: Innalillahi, Felix Feitsma Sang Legenda Pemandu Wisata di Jabar Meninggal Dunia

Baca juga: Innalillahi, Ulama Besar Sekaligus Rois Syuriah PCNU Sukabumi Ama Mudrikah Meninggal

Prof Dr Setiawan Sabana dikenal sebagai akademisi yang juga seniman. Ia adalah seorang seniman grafis, dosen, serta guru besar seni rupa Indonesia.

Ia dikenal sebagai salah satu tokoh pemuka dalam seni grafis Indonesia serta seni menggunakan medium kertas.

Dilansir dari Wikipedia, Setiawan menikah untuk kedua kalinya dengan Lilis Nuryati, seorang seniman ecoprint dan shibori, pada tanggal 11 Desember 2019.

Ia sebelumnya menikah dengan Elly Setiawan (nama asli Siti Muslihat), seorang dosen Sastra Jepang dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Elly meninggal pada 17 Mei 2018.

Ia memiliki dua anak, yaitu Patra Aditya dan Syarif Maulana.

Setiawan lulus dari Jurusan Seni Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), pada tahun 1977.

Ia kemudian mendapatkan beasiswa Fulbright Scholarship pada tahun 1980, dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 di Universitas Northern Illinois, dalam bidang yang sama.

Pada tahun berikutnya ia menggelar sebuah pameran tunggal di universitas Amerika Serikat tersebut. Ia menyelesaikan S3 pada tahun 2002 dari Institut Teknologi Bandung dengan penelitian tentang seni rupa kontemporer di Asia Tenggara (khususnya Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina). Ia menjadi dekan di FSRD ITB sampai tahun 2005.

Kesenian
 
Sejak awal, karier kesenian Setiawan dikenal dekat dengan medium kertas. Ketertarikannya pada kertas ini tidak sekadar berhenti pada kertas sebagai bentuk, tetapi juga kepada hal yang lebih esensial.

Dalam satu pameran tunggal berjudul Jagat Kertas (gambar di samping), ia mengatakan bahwa kertas dalam pameran itu dapat dimaknai dengan jagat besar (makrokosmos), jagat kecil (mikrokosmos), dan jagat gaib (metakosmos), mengikuti filsafat Sunda yang mengenal alam semesta besar, kecil, dan ruh.

Selain berurusan dekat dengan kertas, Setiawan juga dikenal dekat dengan seni grafis.  Semenjak kelulusannya dari Jurusan Seni Grafis, FSRD ITB pada tahun 1977, Prof. Setiawan dikenal sebagai penggrafis asal Indonesia.

Pada saat itu, seni grafis masih kurang diminati oleh seniman atau pengamat karya, namun hal ini menjadi tantangan Setiawan untuk menumbuhkan rasa cinta pengamat karya seni terhadap seni grafis.

Ia sempat mengikuti penelitian tentang seni grafis kontemporer Jepang pada tahun 1989, selama empat bulan, atas undangan dari Japan Foundation. Di Jepang, ia menyempatkan diri untuk kembali dan berpameran, yaitu sebuah pameran tunggal di Galeri Natsuhiko, Tokyo, pada tahun 1990, dan sebuah pameran tunggal di Galeri Oda di Hiroshima pada tahun 1991.

Selama tahun 1990, ia beberapa kali mengikuti pameran seni grafis, antara lain "International Print Exhibition" di Bangladesh, "Modernities and Memories" di Venesia, Italia, dan "The Thirteen Asian International Art Exhibition" di Malaysia.

Karier kesenian dalam bidang seni grafis ini sempat terhenti dari tahun 1998 akibat suntuk. Namun, setelah sebuah pameran berjudul "Diagnosis" yang diselenggarakan di Galeri Soemardja, ITB, pada 24 Oktober hingga 14 November 2014 yang berisi showcase karya-karya seni grafisnya, ia menyatakan tidak pernah benar-benar meninggalkan seni grafis dan akan kembali lagi.

Ia mengatakan akan kembali lagi ke seni grafis dengan tema, peralatan, bahan, dan teknik yang "khas Indonesia", menolak tatanan seni grafis yang berasal dari Eropa atau Jepang. Penerusan eksplorasi ini akan tetap disertai dengan kiprahnya menggunakan medium kertas.

Setiawan memiliki sebuah galeri yang dirintisnya sejak tahun 2012, berlokasi di Jalan Rebana no 10, Bandung, bernama Garasi 10. Galeri ini dipersiapkannya selain untuk tempat aktivitas seni, juga sebagai tempat berdiskusi.

Setiawan telah memenangkan beberapa penghargaan, di antaranya Satyalancana Karya Satya XX Tahun dari Presiden Indonesia pada tahun 2002. Selain itu, ia juga mendapatkan Special Contribution Award of Asian Art Exhibition for outstanding contributions di Asian Art Exhibitions ke-22, tahun 2007.

Ia juga pernah mendapatkan medali perak dalam Seoul International Art Exhibition di Seoul, Korea, pada tahun 1984. Pada tahun berikutnya, ia memenangkan medali emas di penyelenggaraan pameran yang sama.

Pria kelahiran 10 Mei 1951 tersebut memaparkan bahwa dirinya tidak akan lelah untuk mencari dan berbagi. Dalam sebuah tulisan, Prof. Setiawan memaparkan moto hidupnya yang bersontak: "Kalau mau jadi besar, maka besarkanlah orang lain".

Maksudnya, Prof. Setiawan yakin bahwa seseorang akan lebih dikenal karena ilmu yang diberikannya kepada orang lain. "Jangan pelit membagi ilmu karena takut menjadi saingan," tutur Guru Besar yang memiliki hobi bermain tenis meja tersebut. (*)

Baca Berita-berita TribunCirebon.com Lainnya di Google News

Sumber: Tribun Cirebon
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved