Sejarah Serangan Umum 1 Maret Jadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Masih Adakah Peran Soeharto?

Hari ini adalah momen peringatan Serangan Umum 1 Maret, yang kini jadi peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Editor: dedy herdiana
Kompas.com/(Djoko Poernomo)
Monumen Serangan Umum 1 Maret berada di area sekitar Museum Benteng Vredeburg yaitu tepat di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada tanggal 1 Maret 1949. Judul Amplop: Monumen Bersejarah. 

TRIBUNCIREBON.COM - Hari ini adalah momen peringatan Serangan Umum 1 Maret, yang kini jadi peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Hari Penegakan Kedaulatan Negara diperingati setiap tanggal 1 Maret, setelah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Februari 2022.

Penetapan itu melalui Keputusan Presiden ( Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, yang mana menunjukkan untuk menghargai jasa perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan RI setelah proklamasi 17 Agustus 1945.

“Menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara,” bunyi Diktum Kesatu dalam Keppres tersebut, dikutip laman Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

Adapun satu di antara peristiwa penting dalam sejarah untuk menegakkan kedaulatan negara ini yakni Serangan Umum 1 Maret 1949.

Lantas, bagaimana peran Soeharto dalam sejarah Hari Penegakan Kedaulatan Negara?

Sejarah Hari Penegakan Kedaulatan negara ini salah satunya untuk menghargai perjuangan bangsa Indonesia dari Serangan Umum pada 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Dilansir Polkam.go.id, pada saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan gagasan untuk serangan.

Gagasan tersebut diperintahkan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman serta disetujui oleh Presiden Soekarno dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar perjuangan rakyat, serta segenap komponen rakyat Indonesia.

Hal itu dilakukan untuk merebut kembali Ibu Kota negara yang sempat dikuasai oleh bangsa penjajah.

Hingga keberhasilannya ini meyakinkan dunia untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

Diketahui, serangan itu dilakukan ketika akan diselenggarakannya sidang PBB sehingga memberikan penguatan kepada para pejuang diplomasi Indonesia di mata Internasional.

Serangan Umum 1 Maret 1949 ini kemudian menjadi dasar politik untuk menghentikan upaya sepihak Belanda.

Kemudian, ditandai dengan pelanggaran Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.

Adapun tujuan dari Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini yang tercantum dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Tujuan tersebut adalah menanamkan kesadaran masyarakat terhadap nilai sejarah perjuangan bangsa guna memperkuat kepribadian dan harga diri bangsa yang pantang menyerah, patriotik, rela berkorban, berjiwa nasional, dan berwawasan kebangsaan, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional.

Nama Soerhato Tidak Ada

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara tidak mencantumkan nama Presiden Soeharto yang disebutkan turut terlibat dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Padahal, Keppres 2/2022 dibuat dengan menimbang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Pada bagian konsiderans huruf c, disebutkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Pada poin tersebut juga menyebutkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), laskar-laskar perjuangan rakyat, serta segenap komponen bangsa Indonesia lainnya.

Dalam keseluruhan isi Keppres tidak ada penyebutan nama Soeharto yang saat Serangan Umum 1 Maret 1949 masih berpangkat Letkol.

Lalu, bagaimana penjelasannya?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merespons kontroversi terkait Keppres 2/2022 yang tak mencantumkan nama Soeharto.

Mahfud menjelaskan bahwa keppres tersebut bukanlah buku sejarah, sehingga tidak dapat memuat banyak nama yang telibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

"Ini bukan buku sejarah, kalau buku sejarah tentu menyebutkan nama orang yang banyak, ini hanya menyebutkan bahwa hari itu adalah hari kedaulatan negara," kata Mahfud dalam keterangan video, dikutip dari Kompas.com, Kamis (3/3/2022).

Mahfud melanjutkan, hanya tokoh-tokoh yang berperan sebagai penggagas dan penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dimasukkan dalam bagian konsiderans Keppres 2/2022.

Tokoh-tokoh lain yang berperan pada peristiwa tersebut misalnya Abdul Haris Nasution dan Wiliater Hutagalung juga tidak tercantum dalam Keppres 2/2022.

Menurutnya, kejadian tersebut serupa dengan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada teks proklamasi hanya ditandatangani Soekarno dan Hatta meski upaya kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh orang banyak yang tergabung dalam BPUPKI.

"Ini adalah penentuan hari krusial dan hanya menyebut yang paling atas sebagai penggagas dan penggerak tanpa menghilangkan peran Soeharto sama sekali," kata Mahfud.

Sementara itu, sejarawan dari Pusat Riset Politik BRIN Prof Asvi Warman Adam menjelaskan, persoalan tersebut dengan membandingkan dua keppres tentang hari bersejarah.

Keppres tersebut yakni Keppres Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila dan Keppres Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Dia menyebut bahwa diktum pada Keppres 2/2022 kurang solid seperti Keppres Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila "Kedua (Keppres) itu sangat baik tujuan yaitu menyelesaikan kontroversi sejarah. Namun bedanya yang pertama (Keppres Tahun 2016) sangat solid diktum-nya. Yang kedua (Keppres Tahun 2022) kurang solid," katanya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/3/2022).

Asvi berpendapat bahwa diktum pada Keppres 2/2022 perlu ditambah dengan peran Soeharto dan Syafruddin Prawiranegara pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

"Saya kira lebih baik bila disebutkan serangan umum dilaksanakan di bawah pimpinan overste Soeharto dan terjadi pada periode PDRI (pemerintahan darurat republik indonesia) yang diketuai Syafruddin Prawiranegara," jelasnya.

Terpisah, sejarawan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Kuncoro Hadi berpendapat bahwa kejadian tersebut tidak menjadi permasalahan.

"Penelusuran sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 sudah dilakukan pascareformasi dan memang Sultan HB IX punya peran besar dalam menggagas serangan ini, dan Soeharto menjadi pelaksana," kata dia.

Kuncoro menjelaskan, selama Orde Baru, glorifikasi atas peran Soeharto paling banyak ditonjolkan.

"Puncaknya melalui film Janur Kuning yang selalu diputar di TVRI yang memang menonjolkan kepahlawanan Soeharto," ungkapnya. Menurutnya, polemik Keppres 2/2022 yang terjadi sekarang tidak seolah-olah menghilangkan sejarah kepahlawanan Soeharto.

"Saya meyakini keppres itu juga tidak dimasukkan untuk sepenuhnya menghapus peran pak Harto," kata Kuncoro.

Adanya kehebohan ini menunjukkan bahwa cara pandang masyakat atas pahlawan harus dibenahi.

Selama ini yang disebut pahlawan, imbuhnya adalah sosok individu yang punya peran signifikan, masyarakat tidak pernah sekalipun mengusulkan atau menempatkan kepahlawanan kolektif.

"Ini seolah hilang dalam historiografi Indonesia. Kepahlawanan itu selalu individu, bukan kolektif," ujar Kuncoro.

Kepahlawanan kolektif penting untuk dijadikan sebagai sebuah wacana, agar masyarakat tidak terjebak pada pahlawan individu.

"Maka masyarkat hanya akan berdebat tentang sosok yang paling berperan dan berjasa atas satu peristiwa sejarah," kata dia.

"Hasilnya, begitu narasinya diubah sedikit saja, berdebatan akan muncul, persis seperti yang hadir atas keluarnya keppres itu," lanjutnya.

Kuncoro menjelaskan, rezim kekuasaan juga memiliki peran besar dalam membentuk sejarah yang diyakini pada setiap generasi tertentu.

"Nah dititik ini maka menjadi wajar, orang-orang yang mungkin tidak memahami sejarah, atau belajar sejarah, hanya mendapat narasi sejarah dari bacaan sekilas," jelasnya.

"Misal generasi Orde Baru pasti mendapat narasi sejarah versi Orde Baru yang terus menerus ditanamkan dan itu yang dipahami dan sepertinya sampai sekarang itu yang masih kuat beredar dimasyarakat, bereaksi ketika Soeharto tidak disebutkan dalam keppres itu," lanjutnya.

Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Sejarah dan Tujuan Hari Penegakan Kedaulatan Negara dan tayang di Kompas.com dengan judul: "Keppres Serangan Umum 1 Maret Tak Cantumkan Nama Soeharto, Ini Kata Sejarawan"

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved