Keraton di Cirebon
Ada Tulisan yang Dipercaya Pesan Sunan Gunung Jati di Masjid Kuno yang Jauh di Luar Keraton Cirebon
Jika benar tulisan itu pesan dari Sunan Gunung Jati, maka ini jadi salah satu jejak sejarah Kerajaan Cirebon yang punya banyak keraton di Cirebon
TRIBUNCIREBON.COM - Jika benar tulisan itu merupakan pesan dari Sunan Gunung Jati, maka ini menjadi salah satu jejak sejarah terkait Kerajaan Cirebon yang memiliki banyak keraton di Cirebon.
Sebelumnya disebutkan bahwa jejak sejarah Kesultanan Cirebon tidak hanya ada di dalam lingkungan keraton, tapi ada juga di luar keraton Cirebon. Seperti halnya Masjid Merah Panjunan dan Masjid Al-Karomah yang masih perlu penelitian lebih dalam.
Selain kedua masjid tersebut, nun jauh di luar keraton yakni di Jalan Cilincing Lama II, Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, terdapat sebuah masjid kuno yang diduga ada kaitannya dengan Cirebon karena adanya tulisan yang diduga sebagai pesan Sunan Gunung Jati.
Baca juga: Masjid Merah Panjunan Cirebon, Jejak Syiar Syekh dari Bagdad yang Dipercaya Pangeran Cakrabuana
Tulisan itu ditulis dengan huruf Jawa kuno yang berbunyi “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”, yang artinya Aku Titipkan Masjid dan Fakir Miskin.
Diyakini kata-kata itu, seperti dilansir Tribuncirebon.com dari Dit, PCBM https://kebudayaan.kemdikbud.go.id, merupakan bahasa Cirebon dan merupakan wasiat Sunan Gunung Jati.
Pesan itu diyakini sebagai pesan dari masa lalu agar masyarakat tetap memakmurkan masjid dan menyantuni fakir miskin.
Pesan yang ditulis di ukiran kayu itu terdapat di masjid kuno yang bernama Masjid Jami Al-Alam Satu atau Masjid Al-Alam Cilincing.
Nama masjid tersebut sering tertukar dengan Masjid Al-Alam Merunda, karena sama-sama menyandang nama Al-Alam.

Masjid yang dibangun oleh Fatahillah ini berada di tengah kampung nelayan Cilincing. Beralamat di Jalan Cilincing Lama II RT 005/RW 004, Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Letaknya tidak jauh dari tempat pelelangan ikan. Sebelum memasuki gerbang masjid, akan terlihat di depannya deretan perahu berwarna-warni yang sedang menepi dan kesibukan para nelayan di atasnya.
Ada beragam informasi mengenai waktu pendirian masjid tersebut. Ada pihak yang menyebut waktunya adalah abad ke-17. Namun, ada kisah yang terungkap dari keterangan yang disampaikan pengurus masjid. Pendirian masjid diperkirakan memiliki waktu yang sama dengan peristiwa sejarah lahirnya Kota Jakarta.
Baca juga: Sejarah dan Keunikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan, Dibangun Hanya Satu Malam
Sunda Kelapa dikuasai oleh Portugis pada 1511. Fatahillah kemudian diutus oleh Wali Songo untuk merebut kembali Sunda Kelapa.
Sebelum melakukan pengusiran terhadap Portugis, Fatahillah dan pasukannya membuat tempat peribadatan sekaligus tempat peristirahatan. Satu di antaranya adalah Masjid Al-Alam Cilincing.
Pada 22 Juni 1527, Portugis berhasil diusir dari Jakarta. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta. Walaupun demikian, perlu diadakan penelitian secara intensif dari sisi sejarah dan arkeologi untuk mengetahui jejak pendirian masjid ini.

Sudah jadi Cagar Budaya
Pada 1972, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta melakukan pemugaran dengan mengganti dinding bata setinggi 100 cm. Bagian atasnya yang berupa dinding bersusun bambu tetap dipertahankan keasliannya.
Kusen-kusen jendela dan pintu juga mengalami penggantian dan sudah tidak asli lagi. Selain itu, ada juga pembuatan pelataran parkir di sisi selatan dan barat.
Untuk menyelamatkan tempat bersejarah ini, gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya.
Pada 1989, kembali dilakukan pemugaran terhadap masjid dengan perluasan serambi timur dan utara, serta pembuatan tempat wudhu dan toilet.
Walaupun sering diperbaiki karena bencana banjir akibat pasangnya air laut (rob), bangunan masjid yang utama masih dipertahankan keasliannya.
Masjid Al-Alam memiliki lima pintu. Serambi terletak di sisi selatan, timur, dan utara. Pembangunan serambi untuk menampung jamaah masjid yang sering membeludak.
Selain itu, bangunan ini juga ditinggikan untuk menahan banjir. Pada sisi timur serambi yang seperti pendopo ini terdapat dua kentongan kayu dan dua bedug, yang masing-masing bentuknya ada yang besar dan kecil. Lantai keramik masjid berwarna merah hati.
Ciri khas
Bambu menjadi ciri khas lain dari masjid ini. Ruang utamanya yang merupakan bangunan asli dari masjid sebelum dilakukan pemugaran masih menggunakan konstruksi kayu dengan plafon dan dinding terbuat dari susunan bambu. Namun, karena terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, bangunan masjid ini sering mendapat perbaikan.
Ruangan utama ini berbentuk bujur sangkar dan berukuran 10 x 10 meter persegi. Di dalamnya, terdapat mihrab dan mimbar yang sudah dilapisi keramik putih.
Atapnya yang tinggi ditopang empat tiang kayu jati yang cukup kokoh sebagai saka guru. Terlihat di tengah langit-langit masjid ada susunan kayu untuk tempat keluar masuk udara. Bagian atap yang miring dilapisi anyaman bambu.
Ada delapan jendela kayu yang dibuka saat waktu shalat akan tiba. Baik jendela maupun pintu sengaja dibuka, walaupun tidak semuanya, agar ruangan menjadi sejuk dan tidak gelap. Cahaya alami yang datang dari luar membuat ruangan terasa lapang dan terang.
Ciri khas masjid ini adanya dua mustoko atau kubah khas Jawa yang dapat ditemukan di masjid berarsitektur Jawa. Mustoko menjadi penanda bahwa bangunan itu adalah masjid atau mushala.
Dua mustoko berbentuk mahkota di Masjid Al-Alam Cilincing ini letaknya satu di puncak bangunan utama masjid, dan yang satu lagi di puncak bangunan kecil yang menjadi tempat mimbar dan mihrab.
Di belakang bangunan masjid juga dapat ditemukan pemakaman warga setempat. Tidak ada makam keramat seperti di Masjid Al-Alam Marunda. Penduduk sekitar masjid merupakan warga yang banyak berasal dari pantai utara Jawa, seperti Cirebon dan Indramayu. Rata-rata mereka bermata pencaharian sebagai nelayan.
Fatahillah itu sama dengan Sunan Gununh Jati?
Dilansir Tribuncirebon.com dari Kompas.com, mengenai asal-usul sosok Fatahillah terdapat banyak pendapat dan riwayat yang dikemukakan oleh para sejarawan.
Salah satu pendapat mengemukakan bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang memilih untuk hijrah ke Mekkah setelah tanahnya dikuasai Portugis. Setelah beberapa tahun di Mekkah, Fatahillah kembali ke tanah air, tetapi bukan ke Aceh, melainkan ke Jawa, tepatnya di Kerajaan Demak.
Selain itu, ada pendapat yang meyakini bahwa Fatahillah adalah keturunan raja dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad, yang kemudian menikahi putri Raja Pajajaran. Pendapat lain menyebutkan bahwa Fatahillah lahir pada 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda dan Nyai Rara Santang.
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda disebut sebagai pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim, sedangkan Nyai Rara Santang adalah putri Raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Soal hubungan keluarga, banyak yang meyakini Fatahillah merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati. (*)