Herry Wirawan Dituntut Hukuman Mati, Panglima Santri Jawa Barat Turut Angkat Bicara, Begini Katanya
Wakil Gubernur Jawa Barat, yang juga sebagai Panglima Santri Jabar, Uu Ruzhanul Ulum pun turut angkat bicara terkait tuntutan jaksa tersebut.
Ia mengatakan dari sisi kemanusiaan, harus ada kebijaksanaan dan pertimbangan-pertimbangan lain dari sanksi untuk Herry tersebut. Apalagi dalam Pancasila, salah satunya ditekankan mengenai kebijaksanaan.
Kebijaksanaan ini, katanya, akan membuat sanksi yang dijatuhkan kepada Herry tidak melukai hati dan kedamaian masyarakat umum. Namun demikian, ia mempercayai langkah dan dasar kuat yang telah ditempuh para aparat penegak hukum dalam mengadili Herry.
"Kami serahkan kepada aparat penegak hukum. Jangan sampai emosional atau ada intrik lain. Kami percaya aparat penegak hukum melakukannya dengan murni. Karena hakim harus netral, tanpa tekanan politik, publik, atau birokratik," ujarnya.
Jika merujuk pada hukum Islam, katanya, kebijaksanaan aparat penegak hukum menjadi salah satu yang utama. Dalam kasus pembunuhan sekalipun, kata Uu yang juga Panglima Santri Jabar ini, masih ada kemungkinan pelaku lolos hukuman mati jika dimaafkan keluarga korban.
"Ini memang negara demokrasi, ada yang suka atau tidak suka dengan hukuman mati. Tapi kami yakin dengan keilmuan yang dimiliki aparat penegak hukum, hasilnya adalah yang paling adil untuk semua pihak," katanya.
Melalui perbandingan ini, ia pun menekankan kondisi para korban dan keluarga korban pun harus menjadi pertimbangan. Ia pun yakin pengadilan akan menetapkan vonis seadil-adilnya bagi Herry tanpa menimbulkan polemik lebih lanjut.
Sebelumnya dalam sidang pembacaan tuntutan itu, terdakwa Herry hadir langsung mendengarkan tuntutan. Sidang digelar di ruang satu PN Bandung secara tertutup.
Asep N Mulyana mengatakan ada beberapa hal yang dinilai memberatkan Herry hingga jaksa menuntut hukuman mati dan kebiri kimia.
Pertama, kata dia, Herry menggunakan simbol agama dalam lembaga pendidikan sebagai alat untuk memanipulasi perbuatannya hingga korban pun terperdaya.
Kemudian, kata dia, perbuatan Herry dinilai dapat menimbulkan dampak luar biasa di masyarakat dan mengakibatkan korban terdampak secara psikologis.
"Terdakwa menggunakan simbol agama dalam pendidikan untuk memanipulasi dan alat justifikasi," ujar Asep.
Selain menuntut pidana mati dan kebiri kimia, jaksa juga meminta hakim untuk memberikan tambahan berupa denda senilai Rp 500 juta subsider satu tahun kurungan
Selain itu, pihaknya juga meminta agar Yayasan milik Herry dan semua asetnya dirampas untuk diserahkan ke Negara.
"Yang selanjutnya digunakan untuk biaya sekolah bayi korban," katanya.
Herry dituntut hukuman sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.