Guru Bejat Herry Wirawan Miliki Karakter Psikopat, Ini Dijelaskan oleh Pakar Kejiwaan Teddy Hidayat
Ternyata guru bejat Herry Wiriawan (36), pelaku rudapaksa 13 santriwati, ini memiliki karakter psikopat.
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nazmi Abdurahman.
TRIBUNCIREBON.COM, BANDUNG - Ternyata guru bejat Herry Wiriawan (36), pelaku rudapaksa 13 santriwati, ini memiliki karakter psikopat.
Hal ini dijelaskan oleh psikiater atau pakar kejiwaan, Teddy Hidayat melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/12/2021).
"Pada pelaku ditemukan super ego lacunair yang karakteristik untuk Psikopat. Seseorang dengan Psikopat dapat dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dimuka hukum yaitu di pengadilan anak yang dilakukan secara tertutup," ujar Teddy.
Baca juga: PENAMPAKAN Terbaru Herry Wirawan Guru Bejat Hamili 8 Santri Setelah di Rutan, Masih Bisa Tersenyum
Dokter spesialis kedokteran jiwa dan konsultan di RS Melinda 2 Bandung ini juga memberikan catatan penting untuk jaksa dan majelis hakim di pengadilan, bahwa pada psikopat tidak ada penyesalan atau rasa bersalah.
"Pada Psikopat sulit belajar dari pengalaman dan tidak ada rasa bersalah, sehingga cenderung akan mengulangi perbuatannya," katanya.
Selain itu, kata dia, Herry juga mengalami judgement atau gangguan penialaian sehingga tidak mampu membedakan yang benar dan tidak.
"Semua aturan, disiplin dan norma yang berlaku dilanggar untuk memuaskan dorongan id atau nafsunya. Super ego atau hati nuraninya dikuasai oleh id atau nafsunya. Pada pelaku ditemukan superego lacunae yang karakteristik untuk psikopat," ucapnya.
Kekerasan seksual pada anak, kata dia,
banyak terjadi di masyarakat, namun tersembunyi seperti gunung es. Bila ada satu kasus yang dilaporkan, ujar Teddy, sebenarnya masih ada sembilan kasus lain yang tidak terlaporkan.
Pelaku kekerasan seksual juga, kata dia, umumnya dilakukan orang dewasa yang dikenal oleh korban, dapat anggota keluarga yang dipercaya, pengasuh, guru baik di sekolah formal maupun pesantren.
"Semua pihak yang senantiasa berdampingan dengan anak seperti orang tua, pengasuh, guru, lingkungan sekolah harus mengenal dan mampu menditeksi kekerasan seksual pada anak," katanya.
Seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual, kata Teddy, akan mengalami dampak fisik, psikis, sosial yang bekepanjangan.
"Stimulasi seksual dan perkosaan adalah faktor predisposisi terhadap gangguan psikiatrik di kemudian hari, fobia, cemas, tidak berdaya, depresi (rasa malu, bersalah, citra diri buruk, perasaan telah mengalami cedera permanen), pengendalian impuls, merusak bahkan terjadi bunuh diri," ucapnya.
Dalam kondisi seperti ini perlu intervensi terhadap korban oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan anak.
"Kondisi fisik termasuk penyakit menular seksual dan HIV dan gangguan jiwa harus dilakukan penatalaksanaan," katanya.
"Intervensi psikis tidak hanya dilakukan sekitar peristiwa itu terjadi, tetapi diperlukan pendampingan sepanjang hidupnya, meliputi mengembangkan strategi koping, terapi perilaku, psikoterapi, latihan keterampilan sosial dalam lingkungan yang aman," tambahnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/cirebon/foto/bank/originals/menyesal-seumur-hidup-guru-pesantren-cabul-terancam-dikebiri-terungkap-awal-mula-aksi-bejat-herry.jpg)