Peristiwa Mencekam G30S PKI

Firasat Kematian Jenderal Suprapto Sebelum Diculik dan Dibantai Saat G30S/PKI Diungkap Sang Anak

Sehari sebelum peristiwa penculikan G30S/PKI, Ratna menangkap ada perilaku aneh dari sang ayah, Soeprapto.

Editor: Mumu Mujahidin
(Istimewa/Tribun Pekanbaru)
7 jenderal TNI korban kekejaman PKI: Firasat Kematian Jenderal Suprapto Sebelum Diculik dan Dibantai Saat G30S/PKI Diungkap Sang Anak 

TRIBUNCIREBON.COM - Firasat Jenderal Suprapto sebelum meninggal atas kekejaman G30S/PKI.

Peristiwa G30S/PKI menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia.

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan peristiwa sejarah G30S/PKI terjadi pada 56 tahun yang lalu.

Meski begitu, sejarah terkait G30S/PKI masih ramai dibahas hingga sekarang.

Terlebih pada aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Salah satunya yakni Mayjen R Suprapto, yang menjadi korban dalam G30S/PKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Mengenang sejarah G30S/PKI, mari kita mengenal tentang sosok Mayjen R Suprapto.

Profil

Letnan Jenderal (Anumerta) Raden Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 20 Juni 1920.

Suprapto lahir dari pasangan R Pusposeno dan RA Alimah.
Ia lahir sebagai anak kesepuluh, sekaligus yang terakhir dari keluarga tersebut.

Suprapto memiliki lima saudara laki-laki dan empat saudara perempuan.

Keluarga Suprapto merupakan keluarga yang religius.
Hal itu kemudian tercermin dalam watak dan kepribadian Suprapto ketika dewasa.

Ia mengawali pendidikan di Hollandsch lnlandsche School (HIS = Sekolah Dasar) di Purwokerto.

Kala itu usia Suprapto masih tujuh tahun.

Ketika duduk di bangku MULO, setara SMP, Suprapto gemar membuat gambar alat perang seperti kapal terbang, meriam, senapan, dan lain sebagainya.

Karena ketertarikan pada militer, di kemudian hari Suprapto mengikuti latihan militar, baik era Belanda dan Jepang.

Semasa kecil, ia juga dikenal pandai mengarang.

Ketika belajar di AMS, ia mengikuti sebuah sayembara mengarang.

Kemudian, karangan Suprapto yang berjudul Mijn Ideaal (Cita-Citaku) memperoleh nilai yang terbaik.

Karangan itu selanjutnya diterbitkan di majalah Vox yang diterbitkan AMS Yogyakarta.

Ada Firasat akan Meninggal Dunia

Sehari sebelum peristiwa penculikan G30S/PKI, Ratna menangkap ada perilaku aneh dari sang ayah, Soeprapto.

Ratna merasakan keanehan itu saat berbincang-bincang di ruang kerja sang ayah.

"Bapak menyodorkan sebuah pertanyaan yang terasa mengentak, 'Kamu sedih tidak kalau Bapak meninggal dunia?'" ujarnya.

Karena terkejut, Ratna tak menjawab pertanyaan tersebut.

"Bapak omong apa, sih?" timpal Ratna singkat.

Dialog itu tak berlanjut.

Ratna dan Soeprapto pun sibuk dengan urusan masing-masing.

Hingga akhirnya Jumat dini hari itu Soeprapto meninggalkan rumah, pergi untuk selamanya.

Selain Ratna, empat anak Soeprapto adalah Sri Lestari, Pudjadi Setia Dharma, Asung Pambudi Budhidarma, dan Arif Prihadi Adjidharma.

Mayjen R Suprapto
Mayjen R Suprapto (Wikipedia)

Pendidikan Militer

Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS pada 1941, Suprapto memasuki pendidikan militer Belanda.

Pada waktu itu situasi di tanah air turut terdampak perang dunia II.

Untuk mengantisipasi menjalarnya perang ke Indonesia, pemerintah Hindia Belanda merekrut pemuda indonesia untuk bergabung dalam pasukan militer.

Pada mulanya, kalangan pergerakan kurang menyetujui rencana ini.

Akan tetapi ancaman Jepang juga dapat membahayakan Indonesia.

Kala itu, Suprapto masuk di Koninklijk Militaire Akademie (KMA) di Bandung.

Pendidikan tersebut belum sempat diselesaikan lantaran Belanda menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Setelah kedatangan Jepang, pasukan Belanda menjadi tawanan.

Sebagai seornag taruna akademi militer, Suprapto turut ditawan.

Kemudian ia berhasil melarikan diri dan kembali ke Purwokerto.

Ketika masa pendudukan Jepang, Suprapto mnedorong agar pemuda berlomba memperbaiki nasib bangsa.

Ia tertarik terhadap masalah sosial, terutama kepemudaan.

Karena hal itulah ia mengikuti kursus Cuo Seinen Kunrensyo.

Setelah itu, ia bekerja di kantor Pendidikan Masyarakat Desa Banyumas, di Purwokerto.

Suatu hari ia berkenalan dengan Soedirman, yang kelak menjadi Panglima Besar.

Kala itu, keduanya sepaham tentang cara memajukan pemuda.

Selanjutnya, keduanya aktif menyumbangkan tenaga di bidang yang sama.

Suprapto juga mengikuti pelatihan seperti Keibodan, Seinendan, dan Suisyintai.

Pelatihan tersebut dilakukan seperti latihan militer.

Oleh karena itu, Suprapto dapat memetik manfaat.
Karier Militer

Ketika Soekarno membacakan proklamasi, Suprapto berada di Cilacap.

Sejak saat itu, ia turut aktif melakukan usaha perebutan senjata Jepang.

Saat ini lah yang menjadi titik dimulainya karier Suprapto.

Setelah terbentuk Divisi V TKR Purwokerto, Suprapto diserahi jabatan sebagai Kepala bagian II Divisi V, dan diberi pangkat kapten.

Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan latar belakang pendidikan Suprapto.

Sementara itu, Soedirman memimpin Divisi V.

Pada pertempuran Ambarawa, Suprapto turut mendampingi Soedirman.

Setelah pertempuran Ambarawa berakhir, Pemerintah melantik Soedirman sebagai Panglima Besar TKR.

Ketika itu, Jenderal Sudirman mengangkat Suprapto sebagai ajudannya.

Pada masa ini, Suprapto menikahi Julie Suparti pada 4 Mei 1946.

Di kemudian hari, dari pernikahan ini lahir dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.

Seiring dengan berjalannya waktu karier Suprapto semakin meningkat.

Tercatat ia pernah menjabat sebagai Wakil KSAD hingga Deputi Administrasi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Meninggal

Suprapto turut gugur dalam peristiwa G30S/PKI.

Atas pengabdiannya, pemerintah menganugerahi Soeprapto gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.

Pangkat Suprapto secara anumerta dinaikkan menjadi Letnan Jenderal TNI.

Sang Survivor

Jalan hidup Soeprapto nyaris selalu lekat dengan maut.

Ia pernah ditawan tentara Jepang, kemudian bertaruh nyawa saat turut melucuti senjata serdadu Dai Nippon tak lama setelah proklamasi kemerdekaan.

Tak lama berselang, Soeprapto ikut bertempur bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman di Ambarawa menghadapi pasukan sekutu yang persenjataan dan pengalamannya berlipat-lipat lebih baik.

Dari semua aktivitas berisiko tinggi itu, Soeprapto selalu mampu bertahan dan selamat.

Sampai akhirnya, ia termasuk salah satu petinggi Angkatan Darat yang menjadi korban tewas dalam Gerakan 30 September (G-30S) 1965 dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding sebagai aktor utamanya.

Berita lain terkait Peristiwa G30S/PKI

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved