Human Interest Story
Kisah Iing Sayuti Si Macan Festival Tari Kontemporer di Indramayu Melanglang Hingga Mancanegara
Berbagai panggung pun sudah ia coba, baik nasional maupun internasional, seperti menari di Malaysia dan Thailand.
Penulis: Handhika Rahman | Editor: Machmud Mubarok
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Handhika Rahman
TRIBUNCIREBON.COM, INDRAMAYU - Tubuh Iing Sayuti (50) terus menari, lihai meluapkan semua emosi yang ingin ia sampaikan lewat karya seni tari kontemporer yang menjadi andalannya.
Termasuk dalam pertunjukan memperingati Hari Ulang Tahun Dewan Kesenian Indramayu (DKI) ke 20 tahun di Gedung Kesenian Mama Soegra di Jalan Veteran Indramayu, Minggu (11/4/2021).
Pertunjukan ini sekaligus dalam rangka memperingati International Dance Day atau Hari Tari Internasional yang jatuh setiap tanggal 29 April.
Pada kesempatan itu, Iing Sayuti mencoba membawakan tari kontemporer yang ia beri judul ingsun, karya terbarunya.
"Karya tari ini terinspirasi dari pengalaman empirik koreografer soal keadaan, tekanan, hiruk pikuk kehidupan yang dipenuhi dengan cercaan, perbandingan dan juga penghianatan yang pernah dialami," ujar dia di sela-sela penampilannya.
Baca juga: Profil Ezra Walian Penyerang Persib Bandung yang Mencetak Gol Super Cepat Saat Melawan Persebaya
Baca juga: Nick Kuipers Bawa Persib Bandung Unggul Sementara 3-0 Atas Persebaya Surabaya
Iing Sayuti menceritakan, kariernya sebagai seorang penari memang tidak mudah, banyak cercaan hingga hinaan yang sudah ia terima.
Terlebih, diakui Iing Sayuti, hinaan itu datang seiring dengan keterbatasan yang ia miliki.
Sejak lahir, Iing Sayuti menderita kelainan pada sistem saraf yang mempengaruhi otot berbicaranya.
Hal inilah yang membuat, pria yang tinggal di Kelurahan Lemahmekar, Kecamatan Indramayu itu tidak jelas dalam berbicara.
"Jadi ponari mungkin ini cara Allah agar saya bisa lebih dihargai," ujar dia.
Tidak berhenti di situ, Iing Sayuti yang merupakan seorang lelaki sangat ditentang oleh keluarga untuk menari.
Keluarganya takut, bilamana Iing Sayuti terus menari akan membuat karakternya gemulai seperti perempuan.
"Mereka ketakutan saya jadi banci karena gelai-gemulai, terus saya coba yakinkan, saya itu laki-laki, walau pun tarian gemulai tapi itu hanya di panggung, di luar saya laki-laki," ujar dia.
Bukan hanya penghinaan dan cercaan, Iing Sayuti pun menceritakan, dirinya sering mengalami penghianatan selama bergelut di dunia seni yang satu ini.
Rekan sesama senimannya, pernah saling sikut hingga saling menjatuhkan. Ia pun tidak jarang menerima kritikan pedas soal karyanya.
Pantauan Tribuncirebon.com, Iing Sayuti menari tanpa diiringi musik, dalam senyap ia menari dengan membawa bunga sebagai ungkapan penghinaan yang menyakiti dirinya.
Sembari menari, bunga itu ia pukul-pukul pada tubuhnya yang telanjang dada hingga membuat kembangnya berguguran.
Iing Sayuti ingin menyampaikan kepada penonton betapa pedihnya pengalaman yang ia alami selama berkarir di dunia tari.
Namun, dibalik itu, Iing Sayuti menyampaikan pesan agar seburuk apapun kejadian yang dialami harus diterima dengan lapang dada, hinaan itu harus dijadikan motivasi untuk terus bangkit.
"Karena seburuk apapun karya yang kita buat itu tidak sepantasnya dihina, sejelek apapun harus dihargai," ujarnya.
Kepada Tribuncirebon.com, Iing Sayuti menceritakan, awal mula bisa menari karena belajar secara otodidak, ia sudah jatuh hati dengan karya seni tersebut sejak duduk di bangku sekolahan.
Bahkan saat SMA, ia sempat dijuluki macan festival karena selalu menjuari lomba menari.
Iing Sayuti menceritakan, ia rutin menari setiap waktu walau tanpa bimbingan, ia berlatih di ruang tamu, kamar, hingga balai desa saat aktivitas sudah sepi.
"Di keluarga, hanya saya saja yang menari, tidak ada garis keturunan penari," ujar pria kelahiran Cirebon 3 Oktober 1970 itu.
Setelah lulus sekolah, komitmen Iing Sayuti menggeluti dunia tari semakin kuat. Ia bahkan menolak tawaran orang tuanya, padahal untuk kuliah, orang tuanya tergolong mapan karena merupakan seorang pengusaha rokok.
Saat itu, Iing Sayuti mencoba meyakinkan orang tuanya untuk pergi ke Jakarta, di sana ia bergabung dengan grup penari latar yang biasa mengiringi banyak artis top nasional, seperti Elvy Sukaesih, Ikke Nurjanah, Iis Dahlia, Rita Sugiarto, dan masih banyak lagi.
Setelah bergelut menjadi penari latar selama 10 tahun di Jakarta, ia memutuskan pindah ke Kabupaten Indramayu.
Iing Sayuti lalu bergabung dengan Dewan Kesenian Indramayu (DKI) untuk mengembangkan tari di daerah Pantura Jabar tersebut pada tahun 2010.
Berbagai panggung pun sudah ia coba, baik nasional maupun internasional, seperti menari di Malaysia dan Thailand.
"Seharusnya saya juga menari di China, India, Singapura, dan Malaysia, tapi harus diundur karena pandemi Covid-19," ujarnya.