Kampung Mati

Setelah Majalengka & Kuningan, Kini Viral Kampung Mati di Ponorogo, Ditinggal Warga Karena Mistis?

Awalnya kampung yang dikenal dengan nama Sembulan tersebut dihuni oleh 30 kepala keluarga. Namun sejak lima tahun terakhir, kampung tersebut mati

Editor: Machmud Mubarok
(KOMPAS.COM/MUHLIS AL ALAWI)
Salah satu rumah kosong yang ditinggal pemiliknya di Sumbulan, Desa Plalangan, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. 

TRIBUNCIREBON.COM - Saat ini terus bermunculan kampung-kampung mati di sejumlah daerah. Selain di Majalengka dan Kuningan, muncul pula kampung ati di Ponorogo, Jawa Timur.

Keberadaan kampung mati di Kabupaten Ponorogo menjadi perbincangan di media sosial. Kampung mati tersebut ada di Dusun Krajan I, Dukuh Sumbulan, Desa Plalang, Kecamatan Jenangan, Ponorogo.

Awalnya kampung yang dikenal dengan nama Sembulan tersebut dihuni oleh 30 kepala keluarga. Namun sejak lima tahun terakhir, kampung tersebut sama sekali tidak berpenghuni.

Seluruh warganya pindah hingga disebut kampung mati. Sumarno mengatakan mayoritas penyebab warga Kampung Sumbulan pindah karena akses jalan yang sulit.

Dibangun pondok pesantren pada tahun 1850

Sumarni salah satu mantan warga Kampung Sumbulan bercerita, pada tahun 1980 di kampung tersebut berdiri sebuah pondok pesantren.

Baca juga: Pemuda di Majalengka Ajak Pacar Nginap, Bersetubuh karena Iming-iming Menikahi, Dilaporkan ke Polisi

Baca juga: Gara-gara Pamer Punya Mobil Berpelat Nomor TNI, Wanita di Bandung Ini Diciduk Polisi Militer

Baca juga: INI Sosok Dadang Subur, Pecatur Asal Bandung yang Kalahkan Gamer Catur Dunia, Akunnya Diblok

Pondok tersebut didirikan oleh Nyai Murtadho seorang anak ulama dari Demak.

Sejak saat itu, banyak warga yang datang dan belajar agama di pondok pesantren tersebut.

Bahkan warga yang datang banyak yang berasal dari luar daerah Ponorogo. Namun setelah Nyai Murtadho dan keluarganya meninggal, pondok pesantren semakin sepi.

Sejak saat itu, satu per satu warga di Kampung Sumbulan pindah dari wilayah yang memiliki luas sekitar tiga hektare.

 Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Desa Plalangan, Ipin Herdianto. Dia mengatakan sejak lima tahun terakhir, kampung itu sudah tak lagi berpenghuni.

Padahal di kampung tersebut ada empat bangunan rumah permanen yang masih layak huni. Ia bercerita, sebelum kampung itu kosong, ada dua kepala rumah tangga yang tinggal. Seperti warga lainnya, mereka memilih pindah.

“Dahulu masih ada dua kepala keluarga. Tetapi, empat atau lima tahun lalu sudah tidak lagi yang tinggal di lingkungan tersebut,” kata Ipin, yang dihubungi Kompas.com, Kamis (4/3/2021).

Ia menjelaskan kampung tersebut sempat ramai dikunjungi oleh orang untuk menimba ilmu di Desa Plalang.

Namun lambat laut, warga memilih pindah mengikuti keluarga ke kampung lain. Ipin membantah bila warga meninggalkan kampung itu karena persoalan mistis.

Ia meyakini seluruh tempat pasti memiliki cerita mistis masing-masing. Warga banyak meninggalkan kampung tersebut karena kondisinya sepi.

"Dulunya banyak penghuninya. Karena tempatnya tidak ramai ada yang sudah nikah ikut pasangannya. Kemudian, yang punya anak ikut anaknya," kata Ipin.

Walaupun kampung itu kosong, masih ada musala yang masih dimanfaatkan warga utuk menjalankan ibadah shalat zuhur dan ashar. Mereka yang datang adalah petani yang memiliki sawah di dekat lingkungan tersebut.

“Musala masih sering dipakai untuk beribadah. Dan selalu dibersihkan setiap hari,” kata Iping.

 Ipin mengatakan hingga saat ini, tidak ada satu pun warga yang ingin kembali ke kampung tersebut karena mereka sudah memiliki rumah sendiri.

Namun sesekali mereka datang ke kampung mati karena masih memiliki aset. Kepemilikan tanah di kampung tersebut sebagian besar dikuasai beberapa ahli waris.

Serta mereka datang untuk menggelar acara peringatan hari wafatnya pendahulu yang meninggal di kampung tersebut.

Kampung mati tersebut sempat ditawar oleh pengembang untuk dijadikan komplek perumahan.

Namun pemilik tanah menolak tawaran tersebut. Mereka hanya akan menjual tanah mereka jika untuk membangun pesantren.

"Namun, bila dibeli untuk pembangunan pesantren ahli waris menerimanya," ujar Ipin.

Setelah kampung mati itu viral di media sosial, banyak orang yang datang ke kampung tersebut karena penasaran.

Kampung Mati di Majalengka

Blok Tarikolot di Desa Sidamukti, Kecamatan/Kabupaten Majalengka kian viral lantaran kini tak berpenghuni ditinggal oleh para warganya.

Para warga meninggalkan kampung itu lantaran khawatir bencana pergerakan tanah kembali menimpa yang pernah terjadi beberapa tahun silam.

Masyarakat telah direlokasi di tempat lebih aman, yakni di Blok Buahlega.

Banyak masyarakat yang menyebut Blok Tarikolot dengan sebutan 'kampung mati' karena nyaris tak ada aktivitas kehidupan di dalamnya.

Rumah-rumah yang terdapat di area tersebut tampak kumuh dan kotor.

Blok Tarikolot, Desa Sidamukti, Kecamatan/Kabupaten Majalengka yang sudah ditinggal oleh para pemilik rumahnya. Kini kesan kumuh dan angker menghinggapi Kampung yang terdapat 30 rumah itu.
Blok Tarikolot, Desa Sidamukti, Kecamatan/Kabupaten Majalengka yang sudah ditinggal oleh para pemilik rumahnya. Kini kesan kumuh dan angker menghinggapi Kampung yang terdapat 30 rumah itu. (TribunCirebon.com/Eki Yulianto)

Situasi itu mendapat respon dari Kepala Desa (Kuwu) Desa Sidamukti alias yang memiliki wilayah di area tersebut, Karwan.

Karwan menilai, viralnya perkampungan yang ada di desanya perlu diluruskan.

Pasalnya, banyak informasi yang diterimanya sebutan 'kampung mati' lebih mengerucut ke desanya, bukan bloknya.

Padahal sebenarnya, hanya di salah satu blok, bukan di keseluruhan Desa Sidamukti.

"Saya merasa perlu meluruskan viralnya sebutan desa mati. Sebab, sebutan itu kurang tepat. Karena tidak semua penduduk Desa Sidamukti pindah meninggalkan kampungnya," ujar Karwan, Selasa (2/2/2021).

Baca juga: Kisah Sebuah Kampung di Majalengka Yang Ditinggal Pergi Penghuninya, Suasananya Jadi Angker

Baca juga: Subsidi Gaji Rp 600 Ribu Bagi Karyawan Tidak Dilanjutkan di 2021, Begini Kata Ida Fauziah

Ia menjelaskan, di kawasan itu terdapat sekitar 180 rumah.

Yang mana ditinggalkan oleh 253 Kepala Keluarga (KK).

Saat ini, kondisi rumah tersebut kebanyakan rusak parah.

"Namun jika menyebut Desa Sidamukti-nya salah," ucapnya.

Masih disampaikan dia, pergerakan tanah pertama kali terjadi pada tahun 2006.

Ketika itu, sebagian warga sudah memilih mengungsi.

Para warga mengungsi ke Blok Buahlega oleh pemerintah setempat pada 2009 sampai 2010 lalu.

"Kalau sekarang masih ada yang tinggal disitu, sekitar delapan KK lah. Karena mereka masih mengelola lahan pertanian dan perkebunan mereka," jelas dia.

Baca juga: Sebelum Meninggal Mendadak di Bank, Nasabah yang Terekam CCTV Tidak Sempat Makan Tapi Minum Ini

Baca juga: Istri Dibakar Suami Hidup-hidup hingga Tewas, Bela Anaknya Sang Ayah Usir Warga dengan Parang

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Muhlis Al Alawi | Editor : Robertus Belarminus)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kampung Mati di Ponorogo, Berawal dari Pembangunan Pesantren Tahun 1850 hingga Warga Pindah karena Sepi", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/03/05/05100081/kampung-mati-di-ponorogo-berawal-dari-pembangunan-pesantren-tahun-1850?page=all#page2.

Editor : Rachmawati

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved